Rabu, 03 Februari 2010

Pulang

Pulang, kata yang merangsang rinduku mengerang. Sebuah ilusi nyaman tentang suatu tempat dimana aku merasa nyaman. Tempat jiwaku bersandar ketika rapuh. Saat aku butuh belaian tangan mama, aku hanya perlu meluangkan waktu untuk melakukan perjalanan pulang.

Sekali ini kuputuskan pulang dengan kereta-api. Kendaraan nostalgic seperti dalam mimpi-mimpi. Gerbongnya yang agak karatan tak mengurangi rasa kagumku. Aku lupa kapan pertama kali naik kereta-api, tapi aku ingat rasa setiap rasa gembira yang kukemas dalam kotak-kotak ingatan ketika berada di gerbongnya. Aku pernah naik kereta dalam kota, yang kursinya berada di sisi-sisi dekat jendela, seperti dalam trans-jakarta sekarang ini. Lalu kereta kelas business yang beran
gin-angin anyir, lalu kereta kelas executive yang paling nyaman. Kali ini aku pulang dengan cara paling nyaman. Sengaja kupilih kursi dekat jendela, paling dekat dengan hamparan hijau kegemaranku. Walau paling nyaman disini berarti tak bisa menghirup langsung udara segar menembus jendela. Tapi aku puas, setidaknya aku bisa melihat warna hijau sepanjang perjalanan pulang. Melihat zamrud khatulistiwa.

Sambil asyik mendengar musik, mataku terus mencari penampakan-penampakan apa saja yang nanti bisa kumasukkan dalam buku kumpulan cerita. Tak perlu lama mencari rupanya. Di pematang sawah sudah tersedia cerita jenaka. Tentang Pak tani yang nongkrong di balik semak-semak sedang asyik membuang hajat. Langsung terbayang dalam kepalaku, apa mungkin orang-orang yang mengagumi hijaunya zamrud khatulistiwa ini sadar kalau ternyata zamrud khatuslitwa ini hanyalah jamban para petani yang terlalu sibuk bertani sampai-sampai tak sempat pulang buang hajat. Sekilas aku menahan tawa membayangkannya. Penumpang disebelah pasti menganggap aku gila. Pak tani juga pasti tak mengira ada orang dalam kereta yang melihat aksinya. Nampaknya ia asyik saja bertengger disana. Tak jauh dari Pak tani ada lapangan yang disekat pohon-pohon tinggi. Di sana beberapa bocah kampung aneka umur sedang bermain bola. Terik tak menghanguskan mereka kiranya. Atau mereka sudah terlalu gosong untuk dihanguskan lagi. Yang jelas mereka terlihat senang. Di atas mereka ada awan yang membelah. Kereta-api memang hebat, awan pun terkejar. Jangankan awan, Matahari yang semula di depan kini berada jauh di belakang kami. Dari dalam kereta, awan nampak aslinya. Begitu rapuh, hanya segumpal asap yang dapat kulihat setiap dimensinya. Bagian depannya terlihat begitu kokoh, tapi bagian belakang membaur dan hilang. Alam memang luar biasa indahnya. Aku melihat sepuluh sawah, dan semua seolah berkata merekalah yang terbaik. Dan mereka memang pantas menyandang gelar terbaik.

Sambil mengetik cerita ini, aku teringat semut-semut di bawah mejaku sudah resah menunggu kemana remah roti ini kubuang. Kuserahkan beberapa detik untuk berbagi dengan alam. Setidaknya mereka akan punya cukup makanan untuk bertahan hidup.

Lanjut pada perjalananku adalah sebuah menu. Lapar sekali perutku saat itu, sedangkan makanan dalam kereta tak menggugah selera. Aku memilih tahan lapar sampai di rumah nanti
. Aku tahu mama pasti masak yang enak-enak kesukaan anaknya ini. Mama memang selalu begitu kalau ada diantara kami anak-anaknya yang akan pulang. Kurasa semua mama juga akan begitu. Tapi mama kami luar biasa. Luar biasa hebohnya (hehehe... karena mama memang the best nya bagian heboh-hebohan).

Perjalanan ini tak berasa lelah kalau ditempuh pagi hari. Memandang alam yang membuatku terkagum-kagum menghapuskan rasa lelah itu. Mungkin bagi penumpang lain, tak ada yang lebih menyenangkan selain moment ketika tubuh mereka tiba di tujuan. Tapi bagiku, setiap perjalanan menyimpan cerita tersendiri. Walau berapa kali pun kami melewati tempat yang sama, berapa kali pun kereta yang sama kunaiki, tetap ceritanya tak akan pernah sama.

Makin dekat dengan rumah, rasanya makin berdegup kencang. Seakan jantungku tahu rumahnya sudah dekat. Mungkin otakku yang terlalu ember, membocorkan berita kemana-mana. Salah mataku juga yang tak mampu menahan berita sampai ke otak. Tapi aku senang, setidaknya mereka sehat dan saling berbagi. Seperti mereka yang berbahagia di bawah sana. Walau agak lusuh, tapi aku melihat kegembiraan di wajah mereka. Mungkin m
ereka terlalu kecil, terlalu suci. Mereka tak merasa miskin. Memang mereka tak miskin kebahagiaan. Walau sandang dan pangan pas-pasan tapi kebahagiaan mereka melimpah ruah. Mengingatkanku pada kebahagiaan masa kecilku. Saat masih tinggal di rumah kecil di kota Bagan. Tempat sebagian hidupku menuliskan kisahnya. Rumah yang masih teringat jelas setiap ruangnya dalam benakku. Aku ingat jembatan kayu tempatku bermain, tiang kayu di teras tempatku berpegangan sambil melihat rintik hujan di pekarangan kulit kerang putih, Masuk dari pintu depan ada ruang tamu yang tak seberapa luas, ada meja altar. Sebelah kanan meja altar adalah lorong yang tembus ke ruang keluarga, dapur, dan lebih ke belakang adalah teras belakang, dekat dengan dapur dan kamar mandi. Kamar mandi ada di sebelah kiri, berupa sumur yang cukup dalam dan disamping sumur adalah bak air yang hanya berupa bak semen, tanpa ada keramik. Lalu toilet berada di seberang kamar mandi, berupa satu ruang kecil, terdiri dari jamban jongkok dan lagi-lagi bak kecil dari semen untuk menampung air. Gayung plastik menjadi alat satu-satunya di toilet. Kamar mandi kami bersih, mama rajin membersihkannya. Mama sangat perhatian pada anak-anaknya, terutama aku yang masih kecil. Mama selalu mengambilkan air dari sumur, takut kami terjatuh. Mama memang wanita super. Semua pekerjaan rumah diselesaikannya. Kenakalanku tak menjadi alasan untuk mengabaikan pekerjaan rumah. Di belakang teras belakang ada satu lahan kosong tempat mama memelihara ayam dan itik. Lalu ada pohon jambu biji yang buahnya sangat manis. Kebahagiaan masa kecilku yang tak bisa digantikan dengan mainan mewah macam apa-pun. Sebuah kenangan yang membuatku merasa bahwa saat ini aku perlu menghindar dari keseharianku sejenak. Melakukan sebuah perjalanan spiritual. Mengenal kembali kebahagiaan terbesar yang terlupakan olehku. Sebuah kenyataan hidup, bahwa aku bukanlah mereka yang selama ini ada di hadapanku. Aku adalah aku, dengan segala apa yang ada padaku, semua yang menjadi milikku dan semua yang tak ada padaku. Aku mencari kebahagiaan itu dalam perjalananku. Sebuah bentuk kesadaran bahwa hidupku akan jauh lebih bermakna ketika aku membuka diri untuk menerima kenyataan bahwa inilah sejatinya aku. Sudah sepantasnya kita bahagia menjadi diri kita apa adanya.

Tak berasa, aku pun tiba. Stasiun yang kini terlihat berbeda. Begitu bersih dan nyaman. Jauh berbeda dengan stasiun kereta zaman dahulu kala. Kota ini sudah banyak berubah. Tapi satu yang tak pernah beda adalah rumah. Tempat dimana Kehangatan selalu ada kapanpun aku tiba. Aku sudah pulang sekiranya.




4 komentar:

Anonim mengatakan...

rumah...
ah tak sabar rasanya menanti tanggal sebelas nanti...
kaw temanku yang bangsat, curahan hatimu semakin mencakar hatiku untuk segera pulang tapi tak mengapa karna sebentar lagi aku tiba di rumah :P

-IKO-

Ony mengatakan...

Pulang dan rasakan sensasinya
;)

Unknown mengatakan...

Apa hangatnya tempat yang kau sebut rumah itu jon?? lah bobonya di kasur tipis gt?? yg ada sakit punggung kali? hihihi..

Ony mengatakan...

Ada elusan tangan mama waktu aku tdr.
Ada rasa sayang mama yang menyentuh hatiku.
Trus ada rasa itu... rasa aman dan nyaman, hangat perasaanku mengingat masa kecilku.

Sesuatu yang gak bisa kamu bandingkan dengan hangat yang jasmani.