Sabtu, 08 Mei 2010

Sawang

Masih pagi saat aku bangun dari perjalanan mimpi. Bukan karena alarm yang berdering, tapi karena berisiknya berita di televisi. Aku sering nonton tv sampai pulas tertidur. Kebiasaan jelek yang sulit di ubah. Pada dasarnya, segala sesuatu yang melanggar "aturan" biasanya menyenangkan batin kita. Itulah mengapa kita sulit menghindari kegiatan tak baik itu sampai akhirnya menjadi kebiasaan. Pepatah jawanya "Witting Tresna Jalaran Saka Kulina" yang artinya "Rasa suka tumbuh karena terbiasa". Sebaliknya, kalau kita terbiasa melakukan hal positif, tentu kita juga akan hidup dalam kebiasaan itu. Sayangnya aku terlanjur menikmati gaya hidupku sendiri.

Bangun pagi juga bukan kebiasaanku, justru aku lebih sering tidur setelah pagi menjemput. Berita di TV belakangan ini membuat tidurku terganggu. Huru-hara dan berita tak guna aneka macam seperti jajanan di pinggir jalan. Murah meriah, walau belum tentu ada gunanya. Masyarakat kita hidup seperti makhluk gurun yang haus akan kubangan air. Sering kali terjebak fatamorgana. Andai kita lebih pintar dan tak perlu berjalan puluhan kilometer jauhnya hanya untuk mencapai fatamorgana. Kita cukup duduk dekat kaktus untuk mencuri titik-titik embun, yang tentu saja lebih berguna. Pandai-pandailah mencari informasi. Jangan terpengaruh oleh berita di TV yang bahkan reporternya kadang tak tahu kebenaran yang terjadi sesungguhnya. TV bukanlah media Tuhan untuk bicara tentang keberana. TV hanyalah media komersil yang butuh tumbal manusia-manusia ternama untuk menghasilkan uang. Mereka yang ternama dan sedang sial akan ditarik satu per satu untuk dijagal. Kita, konsumen yang haus berita dibuai oleh tuduhan-tuduhan tak jelas yang menggilas kehidupan seseorang. Anehnya, kita terbius dan ketagihan. Tak lagi sadar bahwa yang sedang disudutkan juga adalah manusia. Lagipula, coba sebutkan satu manusia mana yang lepas dari kesalahan. Kita adalah penikmat produk komersil itu. Ujungnya adalah uang sebagai alasan untuk kekejaman yang mengorbankan kita, manusia.

Bukan hanya berita yang menjadi masalah dalam sejarah TV Indonesia, sinetron tentang percintaan picisan yang penuh intrik murahan dengan cerita super panjang (hampir tak ada akhirnya) demi memenuhi minat pemirsa menjadi sajian memuakkan yang harus ada setiap sore tiba. Bodohnya lagi, rating mereka dikatakan meledak gara-gara pembantu yang doyan cerita-cerita murahan. Tak salah, karena selera mereka memang tak bisa ditawar lagi. Mana ada orang miskin yang senang melihat sinetron tentang kehidupan yang mereka jalani setiap hari. Tentu saja mereka ingin melihat aktor dan aktris cantik yang berperan sebagai keluarga kaya raya. Lalu pemirsa akan menonton sambil berkhayal mereka lah yang menduduki posisi aktor dan aktris tersebut. Kasihan.

Aku adalah peminat sinetron (lebih sopan kalau disebut serial) luar yang lebih banyak menyorot kehidupan sehari-hari tanpa polesan yang berlebihan. Contoh saja DAAI TV yang belum lama ini menyuguhkan drama Keluarga Parikin. Parikin dalam cerita bukanlah orang kaya dengan kendaraan mewah. Pemainnya juga bukan aktor super tampan, tapi ceritanya mampu membuat pemirsa berurai air mata. Itulah keindahan sinetron yang sesungguhnya. Memperlihatkan kenyataan bahwa kemiskinan itu bisa berubah hanya dengan keteguhan dan tindakan. Berusaha dengan cara yang jujur. Selain drama Keluarga Parikin, masih banyak lagi serial-serial Taiwan yang serupa. Andai produser dalam negeri mau mengubah haluan ke arah yang lebih baik, bukannya mengajarkan kekerasan dalam sinetron yang isinya tak lain adalah perebutan kekayaan, balas dendam, dan rebutan cinta. Lalu dari sebuah cerita singkat yang mengharukan, dipaksakan menjadi cerita panjang yang dilebih-lebihkan dengan adegan yang sama di beberapa sinetron. Kecelakaan dan lupa ingatan menjadi tren tersendiri.

Dalam sehari, berita dan cerita yang sama bisa tersiar terus menerus dari pagi hingga malam dan berlanjut hingga esok harinya. Sementara berita dari kaum miskin di pinggiran kota dianggap tak berharga dan tak layak disiarkan. Bagaimana dengan masyarakat pedalaman yang mungkin telah menemukan ramuan awet muda. Tak ada yang memperhatikan. Karena hanya orang ternama yang layak diberitakan.

Sama seperti sawang di sudut kamar ini yang makin lama makin menumpuk. Aku harus terus membersihkannya, walau sering ingin membunuh makhluk jahanam yang mengotori kamarku. Tapi toh makhluk itu hanya mencari makan. Sama seperti reporter yang terpaksa meliput demi uang bulanan. Kalau mau membinasakan reporter itu demi menghilangkan berita murahan, terlalu kejam juga.

Pada akhirnya aku hanya bisa diam, melihat laba-laba centil itu menyulam sawang perlahan untuk menjaring makan.



Nb : Sawang adalah istilah dalam bahasa jawa untuk menyebut jaring laba-laba yang mengotori sudut kamar.

1 komentar:

Anonim mengatakan...

mendengar laba-laba dan sawang disebut.... hihihi jangan begitu kejam kepada dunia, sudah cukup kekejaman. biarkan saja orang-orang bodoh itu terjerat jaring mimpi, toh terkadang menjadi miskin dan bodoh hanya bisa mengharapkan mimpi untuk penghiburan

-IKO-