Senin, 25 Juli 2011

Coklat

Coklat, makanan favoritku sejak kecil. Satu-satunya hal di dunia ini yang tak mungkin kubagi walau dengan adik kandungku sendiri. Coklat adalah segalanya buatku, dan aku memuja orang yang pertama kali menemukan makanan selezat coklat.

"Duh,lapar... Mama belum pulang juga. Ada makanan gak ya di dapur."
Mengendap-endap, adik menuju dapur. Takut membangunkan kakaknya yang menderita cacat mental. Sebenarnya tidak ada yang perlu ditakutkan dari kakak. Hanya saja, adik selalu merasa tidak nyaman saat berada di dekat kakaknya yang selalu bertingkah aneh. Seperti boneka, yang berjalan dengan tanpa roh di dalamnya.

Setelah membuka lemarinya dan lemari Ibu, adik tak menemukan makanan sekecil apapun. Mata bulatnya melirik ke lemari kakak. Kaki mungilnya berjalan pelan ke sana, lalu mundur lagi. Maju lagi, lalu mundur lagi. Adik sangat berhati-hati dengan barang kakak. Ibu selalu berpesan untuk tidak menyentuh apa pun barang kakak di rumah ini, karena kakak akan marah kalau barang-barangnya dipakai oleh orang lain selain dirinya. Tapi perut adik sangat lapar. Setelah melihat sekeliling dan memastikan tak ada kehadiran kakak, ia memberanikan diri untuk membuka lemari kakak dan mengintip ke dalamnya. Setelah berjinjit dan meraba-raba, adik menemukan sebatang coklat di sana. Adik segera menelan ludah, merasa lega setidaknya masih ada makanan di rumah ini. Matanya segera berputar ke belakang, melihat kalau-kalau kakaknya muncul. Segera diletakkannya coklat itu ke tempat semula, lalu berjalan pelan ke depan pintu kamar kakaknya. Sambil menahan nafas, adik membuka pelan pintu kamar kakaknya. Sangat pelan seperti di film-film horor yang suka ditontonnya bersama Ibu. Setelah terbuka celah yang cukup untuk mengintip, adik mendekatkan matanya ke sana. Ternyata kakak sedang tidur menghadap ke dinding. Adik menutup kembali pintu kamarnya dengan sangat hati-hati, lalu menguping apakah ada suara gesekan kain di dalam. Adik ingin memastikan bahwa kakak tidak terbangun.

Setelah cukup lama berdiri mematung dan menguping di depan pintu kamar kakak, adik kembali ke dapur dengan langkah sangat pelan tak bersuara. Dibukanya lemari kakak dan segera melahap coklat batangan yang ditemukannya. Adik duduk di kursi sambil melahap coklat itu. Dalam hatinya, adik meyakinkan diri kalau nanti ibunya sudah pulang, ia akan segera meminta ibu untuk membelikan gantinya coklat ini di warung dekat rumah. Adik memakannya dengan sangat pelan. Entah karena takut terdengar oleh kakak, atau takut coklatnya habis terlalu cepat. Batangan coklat itu habis dalam sepuluh kali gigit. Setidaknya perut adik sudah terisi sedikit makanan untuk dicerna. Adik segera turun dari kursi untuk membuang bungkus coklat ke tempat sampah di dekat bak cuci piring. Saat berbalik, ia kaget dan pucat pasi. Kakaknya sudah berdiri di pintu dapur dengan tatapan kosong.

***
Jam tujuh malam. Seharusnya aku pulang lebih awal hari ini. Andai Ranti tak mengajakku arisan di warung depan kantor. Kasihan anak-anakku di rumah belum makan. Entah bagaimana laparnya adik dan kakak di rumah. Seharusnya aku menitipkan mereka ke rumah mama. Sayangnya, mama tak pernah berhenti mengomentari kondisi kakak yang tidak normal. Berulang kali mama memaksaku memasukkan kakak k rumah sakit jiwa. Tapi bagaimana mungkin aku melakukan tindakan keji macam itu pada anakku sendiri. Mama pernah melahirkan aku, tentunya mama tahu betapa sulitnya perjuanganku untuk menghadirkan kakak ke dunia. Bahkan suamiku pun tak mampu menerima keistimewaan kakak dan meninggalkan kami. Mungkin cuma alasannya saja, agar bisa memiliki istri lain yang lebih segalanya dariku. persetan dengan suamiku. Aku pun bergegas ke supermarket terdekat, membeli beberapa bahan makanan dan dua kotak roti untuk anak-anakku. Setidaknya roti-roti ini bisa menahan lapar mereka selama aku menyiapkan makan malam.

Aku tiba di rumah dan segera bergegas ke dapur. Kulihat dari pintu dapur, kakak sedang nonton tv dengan adik di pangkuannya. Tak biasanya adik seakur itu dengan kakak. Baguslah, setidaknya ada kemajuan di rumah ini. Aku memanggil kakak untuk mengambil roti di meja makan dan membaginya bersama adik. Kakak segera berlari ke dapur dengan wajah girang, bibirnya belepotan coklat. "Kakak, mulutnya kok belepotan gitu ? kamu bagi coklatnya ke adik gak ?" kulihat anak gadisku tersenyum manis dan mengangguk. Rasanya penat dan lelahku hilang tersapu ombak yang tak nampak. Benar-benar sebuah kemajuan. "Yasudah, itu rotinya di meja, kamu bagi sama adik ya." Kakak mengangguk dan mengambil roti-roti di meja. Kakak berhenti di pintu dapur, lalu menyerahkan satu roti ke tanganku, kemudian berlari ke ruang tamu, lanjut dengan acara tv-nya. Aku cuma bisa tersenyum puas, dan segera bersiap untuk masak makan malam. Kupikir aku perempuan paling malang di dunia, sudah dikaruniai anak cacat mental, tidak mendapat dukungan keluarga, ditinggal suami pula. Tapi melihat senyum anakku, rasanya semua itu terbayar lunas. Aku menitikkan air mata, tapi bukan air mata sedih. Aku merasa malu, kenapa baru sekarang aku menyadari itu.

Selesai masak, aku segera menyusul anak-anakku ke ruang tamu dengan makan malam di kedua tanganku. Kakak nampak sedang lahap menggigit roti sambil menggoyangkan kakinya, sedangkan adik tidur di pangkuannya dengan tenang. Mereka sedang menonton siaran anak kesukaan kakak. Andai saja aku bisa meluangkan lebih banyak waktu untuk menikmati saat-saat seperti ini bersama mereka. Kuharap segera ada laki-laki yang bersedia menerima janda beranak dua sebagai pendamping hidupnya, aku pasti segera melamarnya. Aku meminta kakak agar membangunkan adiknya untuk makan malam. Tapi sepertinya kakak masih asik dengan roti di tangannya yang belum habis digigit. Aku pun berjalan ke sana, untuk meletakkan makanan di meja ruang tamu dekat tempat sofa. Aku melihat adik ternyata tidak sedang tidur. Matanya terbuka, dan mulutnya menganga dengan coklat belepotan keluar. Kuperhatikan lagi, sepertinya ada yang aneh. Kenapa mata adik jadi putih begitu. Makan malam pun jatuh dari tanganku, menjilat lantai ruang tamu.

***
Adikku menyebalkan. Sudah tahu aku benci barangku disentuh kenapa masih nekad juga coklatku dimakan. Kali ini harus kuambil kembali, biar tahu rasa.

Kakak membuka paksa mulut adik dan memasukkan tangannya ke sana untuk mengambil coklat yang telah dimakan adik. Setelah coklatnya keluar, kakak memakannya. Berulang kali, sampai adik terdiam. Kakak pikir adik marah, jadi kakak mengajak adik nonton tv bersama sambil menunggu Ibu pulang.


3 komentar:

Anonim mengatakan...

LOL

-Iko-

Anonim mengatakan...

Ini.... baca cerita2 mu buat saya mikir... @.@

Anonim mengatakan...

Mikir apa, anonim... :))

-Ony