Jumat, 29 Juli 2011

Nomor Ini

Bertemu denganmu di kedai kopi adalah pertemuan pertama kita. Rupawan dan penuh canda adalah kesan pertama yang kau tawarkan padaku. Aku terpana, tergoda. Tapi aku sudah ada yang punya.

Tiga minggu sudah aku tak disentuh lelakiku. Tiga minggu yang membuatku tak lagi merasa menjadi wanita nomor satu di hatinya. Waktu yang salah baginya untuk sibuk dengan rutinitas sosial. Sebenarnya tak menjadi masalah buatku, selama ia tak macam-macam dengan tubuh lain di luar sana. Aku bisa menunggu. Tapi tubuhku butuh sentuhan lembut kekasihku. Sekedar pelukan hangat yang membuatku lelap dan tertidur. Aku tak pernah menikmati kesendirianku, aku butuh pasanganku.

Satu-satunya hiburan yang bisa menjadi pengalih perhatian adalah buku sketsa yang selalu kubawa kemana-mana. Tentu saja secangkir kopi menjadi pelengkap utama. Siang ini, aku menuju kedai kopi yang tak jauh dari rumah. Pesananku tetap sama, es kopi hitam pekat dengan manis yang sedang. Minuman ini mengingatkanku pada masa kecilku dulu. Mama sering membuat satu cawan besar kopi manis. Saat itu belum banyak keluarga yang punya kulkas pribadi di rumah. Untungnya saudari Mama yang rumahnya tak jauh dari rumah kami saat itu memiliki kulkas. Aku suka sekali es kopi manis buatan Mama. Sampai sekarang, rasanya masih membekas jelas. Kedai kopi ini menawarkan rasa kopi yang mirip dengan kopi buatan mama. Selain kopi-nya, aku juga suka dengan suasana di kedai ini. Tidak terlalu ramai, tapi juga menawarkan pemandangan yang segar. Maksudku tentu saja pasangan muda-mudi yang sesekali bercanda mesra di depanku tanpa malu. Atau pasangan usia senja yang masih saja awet bergandengan tangan. Hanya aku, kopi, dan buku sketsa di tanganku yang iseng memperhatikan dengan serius ekspresi pelanggan di kedai ini sambil sesekali menggoresnya dalam bentuk sketsa. Lebih seringnya, yang muncul dalam sketsa adalah "iri" dan "sisi gelap" lainnya. Aku sering kali terbawa suasana dan menumpahkan semua perasaanku ke dalam sketsa. Kuperhatikan lagi sketsaku beberapa minggu belakangan ini. Suram, seram, dan kelam. Sebegitu gelapnya hatiku sekarang.

Laki-laki itu datang menghampiriku tanpa diundang. Membuka pembicaraan lewat pujian tentang sketsaku yang sangat menawan, katanya. Rayuan gombal yang datang entah dari mana. Atau mungkin laki-laki ini psikopat gila yang gemar mengoleksi gambar-gambar suram, pikirku. David namanya. Seorang penulis dan pecinta seni. Obrolan kami berawal seputar sketsa-sketsa yang kubuat, lalu beralih ke tulisan-tulisan David. Kebetulan aku suka juga dengan sastra. Menurutku, David cukup berbakat. Aku dengan mudahnya suka dengan cara dia berbicara. Waktu berlalu tanpa terasa, dan gelap mengikis sore di langit sana perlaha-lahan. Mataku terpaku parasnya yang rupawan. Bibirnya yang tak henti bercuap-cuap, menjalankan mesin di hatiku yang terus berdegup kencang. Aku merasakan rasa yang sama seperti ketika pertama kali aku jatuh cinta. Dari basa-basi kami beralih ke pembicaraan pribadi. Tentang aku dan kekasihku yang saat ini tak bersamaku. Tentang David dan kekasihnya yang meninggal karena kanker otak. Tentang hati kami yang menyatu di kedai kopi. Aku mengakui bahwa aku tak lagi sendiri. Tapi laki-laki ini tak mau melepasku pergi. Sedangkan hati ini masih menunggu laki-laki yang sekarang menjadi kekasihku. Tapi hatiku juga menginginkan David yang sekarang ada di hadapanku. Aku takut dan bergegas mengakhiri pembicaraan. David memberiku sebuah kartu nama. Diselipkan dalam saku jaket yang kukenakan. Ia mengantarku ke luar kedai dan menemaniku berjalan hingga beberapa blok dari rumah tempatku tinggal. Dengan satu lambaian tangan dan ciuman yang tiba-tiba menutup perjumpaan kami, David telah mencuri hatiku.

Sampai di rumah, aku terduduk lemas di atas ranjang. Pikiranku kosong dan air mataku bercucuran. Seperti orang yang baru saja hilang kesadaran, tubuhku lepas kendali. Roh ku sedang melayang jauh di atas sana. Aku bahkan tak sadar bagaimana aku sampai di kamar mandi dan terguyur air pancuran dengan pakaian masih lengkap. Tiba-tiba aku sudah ada di balik selimut sambil melamun, memikirkan David, juga memikirkan kekasihku yang belum pulang. Keduanya terus terbayang hingga aku terlelap.

***
"Ben, kamu ada perempuan lain ?" air mataku tak terbendung lagi. Kekasihku yang membuatku sendu tiga minggu terakhir, akhirnya memutuskan aku. Memutuskan nadi-nadi cinta di hatiku.

"Nita, cuma ada kamu di hatiku. Tapi aku tahu di hatimu sekarang bukan cuma aku kan ?"

Aku cuma bisa diam. Benny tak salah berkata begitu. Tapi aku juga tak pernah menyatakan perasaanku pada David. Bagaimana Benny bisa tahu tentang isi hatiku ? Sedangkan aku sendiri masih ragu.

"Ini yang terbaik, Nita. Aku mungkin gak bisa membahagiakan kamu. Sekarang kamu bebas untuk mencari laki-laki itu." Benny mengecup keningku dan bergegas meninggalkan rumah.

Aku masih diam dan tak tahu harus bagaimana. Aku ingin menghentikannya, tapi aku tahu semuanya sia-sia. Benny bukan orang yang mau mendengar saat emosinya belum reda. Walau seringnya ia marah untuk sesuatu yang salah. Aku tak pernah selingkuh darinya. Aku cuma tak bisa menghentikan debaran di dada. Cintaku masih untuknya, walau kini terpecah untuk laki-laki satunya. Aku masih berharap Benny akan membuat hati ini utuh. Tapi aku salah.

***
Sore ini aku pulang ingin memberi kejutan pada Nita kekasih hatiku. Tapi sayang ia tak ada di rumah. Aku tahu ia ada di mana, dan aku bergegas ke sana. Kulihat ia sedang asik bersama laki-laki lain di kedai kopi dekat rumah. Kubiarkan dan kulihat dari kejauhan. Hingga akhirnya kulihat lelaki itu mencium Nita tak jauh dari rumah. Hatiku hancur. Aku tak jadi pulang ke rumah, aku duduk menghabiskan satu botol vodka dan dua gelas bir di bar langganan kantor tempatku kerja. Aku tak pulang malam ini, menginap di hotel. Memuntahkan minuman yang tadi masuk kerongkonganku. Muntahkan semua kekesalanku tentang Nita dan kekasih barunya.

Esoknya aku pulang dan mendapati Nita terlelap sambil mengigau nama kekasihnya, David. Aku sangat terpukul. Tapi aku menahan rasa sakitku. Dalam saku Nita ada kartu nama laki-laki bernama David. Kurasa ini lah laki-laki yang semalam menciumnya. Mungkin salahku yang terlalu lama sibuk dengan rutinitasku. Nita, aku mencintaimu. Tapi cintaku tak untuk kau bagi dengan laki-laki lain. Kau tahu aku tak bisa terima itu.

***
Nita, perempuan cantik yang kutemui hari ini di kedai kopi. Hatiku berkata dialah perempuan dengan jiwa yang sama seperti kekasihku dulu. Aku merasa bisa jatuh cinta lagi. Sayang, hatinya sudah ada yang punya. Tapi aku berhasil mencuri sebagian hatinya. Aku berharap suatu saat nanti hati itu akan utuh menjadi milikku. Atau aku harus puas hanya mendapat sebagian hatinya dan satu ciuman penutup jumpa kami yang sangat singkat. Biarlah takdir yang menentukan.

***
Tiga bulan setelah perpisahanku dengan Benny, aku keluar dari rumah itu. Pindah jauh dari sana. Sedangkan David, aku kehilangan kontak dengannya. Nomor yang diberikan padaku hilang entah kemana. Mungkin Benny membuangnya. Atau mungkin kujatuhkan tanpa sengaja. Beberapa kali aku menunggunya di kedai kopi, tapi dia tak muncul di sana. Aku benar-benar sendiri sekarang.

Tiba-tiba ponselku berdering. Sebuah nomor asing menghubungiku. Aku menjawabnya. Ada suara laki-laki yang sangat kukenal. David. Sebuah kejutan besar buatku. Entah darimana dia tahu nomor ponsel yang tak pernah kuberikan padanya. Semua menjadi jelas setelah kami berbicara panjang lebar dari ponsel. Benny mengambil nomor yang ada di saku jaketku. Awalnya ia ingin membuangnya, tapi Benny terlalu sayang padaku. Ia menghubungi David beberapa hari setelah kami putus untuk menyampaikan bahwa aku dan dia sekarang telah berpisah. Ia ingin memastikan bahwa David akan menjagaku dengan baik. Sayangnya saat itu David sedang berada di luar kota untuk promo buku barunya. Baru sekarang ia kembali dan mendapati pesan suara dari Benny yang ditinggalkan untuknya. Benny meninggalkan nomorku untuk David pada akhir pesan suaranya. Aku terdiam dan menitikkan air mata. Bagaimana mungkin aku membiarkan laki-laki sebaik Benny lepas dariku. Aku mencintainya, dan tak pernah bermaksud menyakitinya. Aku mematikan ponselku. Aku belum siap untuk menerima laki-laki lain dalam hatiku.

***
Dua tahun sudah berlalu. Aku kembali ke kedai kopi bersama buku sketsa yang selalu menemaniku. Dua tahun yang panjang untuk menutup lubang di hatiku tanpa Benny dan David. Dua tahun aku menyendiri ke luar kota, agar aku bisa benar-benar melupakan mereka berdua. Menyesal, tapi aku merasa harus begitu. Sekarang aku kembali sebagai Nita, perempuan kesepian dan tanpa kekasih. Pemilik kedai masih ingat denganku, menawari aku segelas es kopi dingin dengan gula sedang. Aku tersenyum sebagai tanda senang karena ia masih mengingatku. Pemilik kedai adalah seorang wanita paruh baya. Kebetulan hari ini kedai agak sepi, jadi ia bisa menemaniku ngobrol dengan santai. Sesekali ia melihat buku sketsaku dan memperhatikan dengan seksama.

"Sketsa kamu kelihatan beda ya, dengan sketsa yang aku lihat terakhir kali."

"Oh ya ? Apa bedanya, mbak ?"

"Kelihatan lebih ceria." Perempuan itu tersenyum. Aku pun membalas senyumannya.

Pembicaraan kami seolah tak ada habisnya. Membicarakan perkembangan yang terjadi di sekitar kedai ini dalam dua tahun belakangan. Tentang petualanganku di luar kota, dan tentu saja tentang sejarah kedai kopi ini. Alasan kenapa aku suka sekali dengan kedai ini. Lalu muncullah dia, yang kuharap akan bertemu kembali di kedai ini. David muncul di hadapanku. Hati ini berkata sekarang ia siap menerima kehadiran laki-laki baru. Tapi mataku melihat ada cincin di jari manis laki-laki itu saat tangannya melambai padaku.




Tidak ada komentar: