Kamis, 29 Juli 2010

Tangisan Bulan

Cerpen 21+
Yang merasa belum cukup umur mohon tahu diri untuk tidak membaca.
Nama tokoh dan lokasi adalah fiksi semata. Bila ada kesamaan, tolong jangan ke-Ge-Er-an.




***
Pagi. Bukan tanpa alasan aku membenci pagi. Setiap masalah dimulai ketika pagi. Aku benci pagi. Mataku membuka dengan malas, menantang sorot tajam matahari yang menikam tepat di pelupul mata. Korden jendela lupa aku tutup semalam, larut dalam khayalku bersama bulan. Selimut yang menutup hanya setengah tubuhku kini kutendang jatuh dengan emosi tanpa perlu selimut itu mengandung dosa ataupun salah. Semua benda mati memang nasibnya menjadi objek emosi makhluk bernyawa. Untuk itulah mereka diciptakan.

Aku duduk dari tidurku, melihat jam meja, masih terlalu pagi. Benny tak akan pulang sepagi ini. Kekasihku yang jalang sudah tak di sini sejak semalam. Tiap akhir pekan ia bebas bergumul dengan pelacur jahanam, sabtu malam sampai malam berikutnya. Demikian perjanjian awal kami yang kini kusesali. Menyesal pun tak memberi jawaban yang pasti. Antara meneruskan hubungan yang tak jelas ini, atau kesepian tujuh hari penuh. Aku memilih ditemani lima hari dan melepasnya dua hari.

Tiga tahun bukan waktu yang sesaat, juga bukan waktu yang cukup untuk aku melihat setiap detail di diri Benny kekasihku. Sebagian ruang dalam hatinya masih abstrak. Dan aku hanya bisa menunggu waktu memperlihatkan setiap detail ruang itu. Menyerah pada waktu.

Bergegas kuangkat pantat ini sebelum jasadku menempel seutuhnya ke ranjang. Dengan malas aku melangkah ke jendela yang membatasi ruang ini dengan beranda. Apartemen kami di lantai dua puluh lima. Angka kesukaanku dan dia. Berandanya cukup untuk tempat kami bercinta tanpa perlu takut dilihat orang di bawah sana. Kalau tetangga, biarlah mereka menikmati pertunjukan gratis yang tak seberapa.

Kordennya kututup dengan gaya setengah nyawa. Lemas tak bertenaga. Sebenarnya tenaga itu ada, tapi tak cukup bergairah untuk mengeluarkannya. Mau makan pun malas, anggap saja diet satu hari. Rokok yang biasa membuatku tenang kini terlihat seperti frenchfries murahan yang tergeletak di atas meja samping ranjang. Apartemen ini terdiri satu ruang tanpa sekat, sebuah ranjang besar untuk kami berdua di tengah-tengah kamar, menghadap langsung ke jendela yang selebar dinding. Lebih tepatnya, kamar kami tak punya dinding luar. Antara kamar dengan langit di luar sana hanya terhalang jendela kaca. Di belakang ranjang adalah pintu di sudut kiri, dapur ada di sebelah kanan, lengkap dengan meja makan yang menyatu dengan kitchen-set. Selain itu adalah dinding dan dinding. Kamar mandi dan lemari pakaian ada di balik dinding. Ruang ini terlampau kosong di akhir pekan. Mungkin aku perlu membeli sebuah manekin untuk menggantikan kehadiran Benny di sini. Tapi manekin tak secentil Benny yang doyan cuap-cuap gombal. Aku suka dimanja dan Benny memang rajanya.Tubuhku kubanting ke ranjang lembut yang serba putih. Aku suka putih, walau hatiku tak sesuci warna putih. Sebagian besar benda di ruang ini berwarna putih. Aku memejamkan mata memikirkan wajahnya, wajah kekasihku yang kucinta.

***
Malam minggu waktu buatku berpesta. Bukannya aku tak punya rasa, tapi aku lelaki yang banyak gairah. Kekasihku pun boleh berlaku sama, seperti perjanjian kami di awal bersama. Tempat favoritku diskotik kota yang didatangi daun muda. Berondong istilahnya. Perawakanku masih bisa menjadi modal untuk menikmati tubuh mereka semalam dua malam. Tentu saja tanpa biaya.

Malam ini aku melihat dia, yang paling bersinar di antara kawanannya. Aku mengirimkan sinyal lewat sudut mata dan dia menanggapinya. Lima menit setelah pesan diterima, berondong itu mendekat tanpa perlu diundang. Kami berkenalan singkat.
"Panggil aku Brondy (sebutan lain untuk berondong), kalau memang cocok baru aku beri nama asli." , "Gak masalah. Berapa umurmu ?" tanyaku.
"Delapan belas tahun malam ini. Dan masih perawan." bocah itu menggodaku dengan kedipan nakal. Membuatku tak yakin dengan pengakuannya itu.
Percakapan dan berbagai kalimat gombal diluncurkan ke jantung hatinya. Seperti biasa, dengan mudah aku menguasai mereka. Sama seperti mantra yang membuat kekasihku terikat padaku.

Canda dan kedipan mata berlanjut ke sentuhan-sentuhan ringan di wajahnya. Lalu ciuman dan pelukan, makin larut dan sentuhan-sentuhan itu semakin binal. Aku yakin malam ini dialah pemenangnya. Musik membawa kami bergoyang, hingga penutupan. Tapi kisah kami tak selesai sampai di sini. Aku di ajak ke tempatnya tinggal sekarang, sebuah kontrakan. Tak bisa dibandingkan dengan apartemen tempat kekasihku dan aku tinggal selama ini, tapi aku tak akan berlama-lama di sini. Begitu pikirku semula. Tanpa banyak kata dan kami saling melucuti pakaian, bergumul dalam gelora asmara, yang palsu adanya. Rintihan, sentuhan, dan sesekali ia meringis kesakitan. Ternyata memang dia perawan, dan aku semakin senang.

***
Sulit sekali mempertahankan bayang wajah kekasihku, padahal sebelum tinggal bersama, dengan mudahnya wajah itu muncul setiap waktu. Inikah gejala yang disebabkan waktu ? penyakit bosan dan hilangnya rasa rindu. Bukan, aku bukannya tak rindu. Aku cuma kecapaian terus menunggu. Andai Benny berubah dan memutuskan perjanjian itu. Andai dua hari itu juga menjadi milikku. Aku ingin dia hanya untukku.

Tiga tahun, dan baru sekarang aku merasa dibodohi, sementara kekasihku telah tidur dengan entah berapa banyak pelacur lain di luar sana. Aku kembali duduk dari tidurku dan berjalan mengitari ruangan tanpa alas kaki, hanya kemeja yang kupakai tidur dan celana pendek berwarna hitam. Aku mendekat ke korden dan mengintip dunia luar. Masih terang benderang, matahari belum menurunkan panji perang.

Bosan, tak tahu mau kemana. Aku tak ada tujuan. Mau jalan-jalan juga tak ada niat. Teman-temanku yang dulu dekat sudah punya pasangannya sendiri-sendiri. Akhir pekan mereka tentu bersama pasangannya masing-masing. Terbalik denganku yang justru ditinggal sendiri di akhir pekan. Tapi tak masalah, karena aku kadang menikmati kesendirian ini. Teriknya matahari membuat pikiranku gerah walau suhu kamar ini normal-normal saja.

Pejamkan mata sejenak, berjalan tanpa melihat. Lalu aku tiba di sudut kiri ruangan, tempat sebuah sofa merah diletakkan, di depannya adalah televisi layar datar, lengkap dengan sound system, dan DVD player. Di samping kanan televisi adalah lemari kepingan CD dan DVD, ke sana lah aku menuju. Sebuah kepingan berisi instrument Beethoven, salah satu pujaanku. Tapi yang ini bukan permainan Beethoven melainkan Myleeene Klass. Yang paling kusuka darinya tentu saja "Moonlight Sonata", dan tanpa perlu melihat tombol di remote, aku menekan angka yang sudah biasa kutekan. Angka lima. Aku sangat suka angka lima. Dan musik favoritku mengalun menemani tubuhku yang kini menari berputar sendiri sambil melepas kancing kemeja ini satu per satu. Sebelum akhirnya kulucuti celana pendek tanpa celana di dalamnya.

***
Satu kali tak pernah cukup untuk pemula. Malam ini tiga kali kami bergumul. Yang pertama agak menyakitkan buatnya tapi dia minta aku mengulangnya. Membuatku bangga pada keahlianku memuaskan pasangan. Tapi kekasihku sendiri tak pernah meminta lebih dari sekali. Ah, mungin karena bocah ini baru pertama merasakan kenikmatan dunia. "Jadi, apa aku sudah pantas mengetahui siapa namamu sebenarnya, Brondy ?" tanyaku, menangkis tatapannya yang tanpa jedah. "Aku Tony. Tony Mulyadi." jawabnya.
"Oh, nama yang bagus, Tony. Aku Benny, dan itu nama asliku."
"Jadi, bagaimana ? apa kamu suka ?"
"Tentu, Tony. Thanks kamu sudah memberiku malam pertama." jawabku dengan senyum menggoda.
Bocah itu tersenyum manis sekali, mengingatkanku pada kekasihku. Bibir mereka seksi sekali. Dan aku kembali mengulum mesra bibir bocah ini sambil terus membayangkan kekasihku, membuat gairahku kembali memuncak. Dan kami kembali bergumul, seolah dikejar waktu. Tapi bocah ini tak tahu bahwa aku sudah punya kekasih yang menungguku pulang malam nanti.

***
Tubuhku telanjang bulat bersama lantunan "Moonlight Sonata", terus menari dan berputar seperti boneka dalam kotak musik pemberian mama. Musiknya sama. Lalu tarianku terhenti setelah musik mengulang lagi dari awal. Hanya satu musik ini yang kuputar berulang-ulang. Tak khawatir kepingannya akan rusak atau mesinnya meledak, karena aku masih punya beberapa salinan lagu ini di berbagai tempat. Dengan langkah seperti penari balet sungguhan, aku melangkah ke balik pintu kamar mandi di balik dinding. Menyalakan air ke dalam bathtub. Lagi-lagi, dengan mata terpejam sambil merasakan aliran air. Setelah air dingin cukup terisi, aku menyalakan keran air panas, lalu melangkah ke luar kamar mandi untuk mengeraskan suara musik. Saat kembali, aku mematikan keran air dan mencelupkan ujung kaki ke dalamnya, menikmati sensasi getaran yang merambat dari ujung kaki hingga ujung rambutku. Sensasi yang tak bisa kudapat dari mana pun selain sentuhan paling lembut (ralat, selain sentuhan kekasihku) dari permukaan air bathtub.

Tanganku melayang gemulai mengikuti lantunan musik mengambil sejumput garam mandi di dekat wastafel, memercikkannya ke dalam bathtub putih kesayanganku. Berputar beberapa kali, lalu memasukkan seluruh tubuhku ke dalam air hangat. Menahan nafas sambil berusaha membayangkan wajah Benny, berharap ia melakukan hal yang sama sekarang juga.

***
Pagi datang terlalu cepat, rasanya belum puas aku menikmati tubuh bocah ini. Tapi sesuai perjanjian, tubuhku boleh nakal tapi hatiku tetap terjaga untuk kekasihku. Jadi aku hanya bisa meraung dalam sangkar, berharap kekasihku sudi menerima kehadiran satu orang lagi di antara kami. Tapi aku tak cukup berani menyakiti hati kekasihku, karena aku tahu hatiku telah disimpan rapat dalam jiwanya. Aku benar-benar mencintainya. Dengan kata lain, bocah ini harus rela menjadi gundik yang bisa dilepas kapan saja.

Aku mengusap pelan poni di wajah Tony yang menghalangi kepolosan wajahnya. Wajah seorang malaikat kecil yang manis. Lagi-lagi, aku terbayang wajah kekasihku. Ada apa gerangan. Mirip pun tidak wajah mereka berdua. Aku kembali terlelap sambil memeluk Tony.

***
Mataku masih terpejam, mendengarkan alunan musik sambil melihat ke luar. Di hadapanku adalah jendela kaca seperti di ruang kamar, Sinar matahari tak mampu menerobos tirai bambu yang memang bertugas menghalangi pasukan terik itu, dan aku puas dengan kerja mereka. Alunan musik masih terus bergulir tanpa lelah. Kalau itu betul Beethoven yang sedang mainkan piano, kujamin jari-jarinya tentu sudah kram sejak tadi.

Mataku membuka pelan, memaksa otakku mencerna satu keputusan, antara terus ataukah akhiri saja hubungan yang menyakitkan ini. Aku tak butuh kelamin bekas ribuan pelacur tak tenar. Tapi aku butuh hati seperti kekasihku. Walau tubuhnya ternoda banyak dosa, hatinya putih untukku. Mataku terpejam dan jutaan suara-suara menjerit dalam kepalaku. Ada yang menertawakan, ada yang menghina, ada yang memberi semangat walau lemah. Terakhir, aku mendengar suara mama.

***
Tony membangunkanku dengan usapan lembut di pipi, lalu turun ke dada dan terus meluncur ke bawah. Bocah ini sama denganku, gairahnya liar menggebu-gebu. Aku pun tak mau kalah binal, tanganku menyentuh tengkuk lehernya, menarik tubuhnya yang seputih pualam itu mendekat, menempel jadi satu. Lalu kulayangkan ciuman di sekujur tubuhnya. Aku mendengar ia mendesah, mengerang tak tertahan. Tentu saja siksaan ini masih harus diterimanya sebagai hukuman telah membangunkanku dari tidur yang lelap. Dan saat tubuhku sedang larut dalam dosa, hatiku berlari pulang pada kekasihku di rumah. Sedang apa dia sekarang, apakah ada lelaki lain yang tengah menyentuhnya, asal bukan di ranjang kami saja. Perjanjiannya memang begitu, boleh bercinta asal tak di ranjang yang sama.

Bocah ini menggeliat tak mampu menahan siksaan yang kuberikan. Tapi aku memang tak punya perasaan, tak kubiarkan ia melawan. Tangannya kupegang erat lalu kuhentakkan ke ranjang. Matanya berbinar menyalakan api peperangan. Dia liar.

Aku pun mengalah dan membiarkannya berada di atas, bermain bebas dengan tubuhku yang polos tanpa sehelai benang. Bocah itu cepat belajar, dia sudah tahu kemana harus mencari titik rangsang. Dan aku telah menemukan pelacur idaman, yang benar-benar membuatku puas. Wajah kekasihku kini bias, terhapus desah menahan nafas.

***
Akhirnya, matahari menyerah juga dan menarik mundur pasukannya. Aku mulai menggigil kedinginan. Entah berapa lama aku berendam sambil melamun panjang. Untung Beethoven gadungan masih setia memainkan musiknya. Setidaknya itu membuktikan bahwa aku masih di alam sadar. Kulihat, telapak tanganku telah menampakkan keriputnya, lalu mataku tertuju pada kedua putingku yang juga telah membiru dan mengkerut, menjijikkan sekali bentuknya saat kedinginan. Seperti buah kurma bentuknya. Aku menyentuhnya dengan penasaran, apakah masih berfungsi saraf perasanya. Geli, tapi enak. Dan tanganku mulai menari-nari di atasnya. Pelan-pelan, mengikuti alunan musik.

Mataku berputar ke belakang seperti orang kerasukan, tubuhku mengencangkan otot-ototnya untuk dilemaskan kemudian. Ini kenikmatan yang biasa kudapat dari Benny. Tapi seorang Benny sekali pun tak akan tahu kapan harus meletakkan rangsangan di titik yang tepat. Hanya aku dan tangan-tangan pemberian Tuhan ini yang tahu. Mendesah, menggeliat dalam bathtub sambil membayangkan kekasihku yang sekarang entah di mana. Sekitar lima belas menit dan tubuhku menuntut penuntasan. Aku bangun dari bathtub dengan malas, melayang (berjalan dengan pikiran dan tatapan kosong) menuju ruang tidur, berguling sebentar di ranjang, lalu menggerakkan tanganku ke laci meja di seberangnya, mencari-cari benda pusaka hadiah dari Benny di ulang tahun 'pernikahan' kami yang kedua, aku ingat benar apa katanya. "Pakai ini saat aku tak ada." Dasar laki-laki bajingan, seenaknya saja menyuruhku bermain dengan benda mati sementara dia di luar sana menikmati hangatnya tubuh lelaki. Aku juga lelaki yang hangat, kenapa tak ia minta kehangatan itu dariku saja. Tak habis pikir, tapi tubuhku sekarang tak mau kompromi. Harus segera di beri jatah. Aku mengambil batang itu dari dalam laci, lalu berguling menjauh dari ranjang. Membuka jendela dan berjalan ke beranda, bergaya bak penari erotis di pembatas lantai yang tingginya sedikit lebih tinggi dari pantatku. Lalu kulumat batang palsu itu, memainkannya dengan lidahku, membasahinya lalu menariknya turun melewati dada dan perutku. Aku mendesah sambil membayangkan kekasihku. Kuharap ia pun sedang membayangkan aku.

***
Aku bersusah payah membalikkan bocah itu ke bawah, berusaha menyelipkan tanganku ke selangkangannya. Ia pun akhirnya menyerah pasrah. Saat itu juga kubalikkan tubuh tak berdaya itu dan memasukinya dari belakang. Punggungnya melengkung mengundang kecupan bibirku. Aku pun tak pelit untuk yang satu itu. Ia mendesah begitu kerasnya seolah baru saja menerima nafas kehidupan setelah sekian lama. Aku bergoyang, dan ia mengikuti iramanya. Bocah ini benar-benar cerdas. Cepat belajar dan tangkas.

***
Lantunan musik membawaku pada klimaks. Mataku terpejam dan punggungku menekuk ke belakang. Tepat bersamaan dengan semprotan hangat dari dalam genggamanku. Ini klimaks yang kudapat dengan sempurna. Klimaks yang seorang Benny pun tak akan pernah bisa berikan. Sudah kubilang, tak ada yang mengerti kebutuhanku selain diriku sendiri. Malam ini aku mencapai puncak bersama "Moonlight Sonata" dan bulan di belakang kepalaku. Aku mendorong tubuhku ke belakang untuk melihat lebih jelas bulan yang sempurna itu. Begitu bulat. Lalu kedua kaki-ku terlepas dari lantai, kepalaku menyesatkan aku dengan kata-kata dalam suara kekasihku. "Tenang saja, di bawah sana adalah ranjang kita"

***
Kami mencapai klimaks bersamaan, dan aku mendengar ia terisak. entah kesakitan, atau keenakan. Dan lebih lucunya, aku pun menitikkan air mata tak jelas dengan maksud apa. Keringat kami bercucuran tapi tak menghalangi aku untuk memeluknya dari belakang.

***
Aku ingat telah jatuh dari beranda dengan kepala hancur di tanah. Tapi kenapa justru hatiku yang merasakan sakitnya, melihat kekasihku telanjang bersimbah keringat dengan kelaminnya masih berada dalam tubuh pelacur tak ternama. Apa aku telah kalah dari pelacur bau kencur yang sedang dipeluknya ? dan roh-ku menitipkan air matanya dalam ruang lembab bersama kekasihku yang jalang.

***
Sekilas aku seperti melihat kekasihku duduk di atas meja sedang menatapku tajam lalu menghilang. Mungkin aku terlalu mencintainya sampai terbayang-bayang.




1 komentar:

Anonim mengatakan...

miris...
aku terhanyut, hanya itu...

-IKO-