Selasa, 24 Agustus 2010

Cerita Ayah

Ayahku bukan orang yang suka bercerita. Juga bukan orang yang mau terlalu dekat dengan anak-anaknya secara fisik. Ia mendekati kami dengan perhatiannya lewat bahasa cinta yang sesungguhnya. Tapi ketika ia melihatku semakin jauh dari dunia nyata, saat itu juga ia melepas ego yang ia pegang erat dan merelakan harga dirinya dikoyak. Semua demi aku, anaknya.

Aku adalah anak yang sulit bersosialisasi. Aku sekarang duduk di bangku sekolah dasar. Setiap pulang sekolah, kisah hidupku hanya berkutat seputaran rumah. Bermain dengan kakak-kakakku, kemudia bermain dengan diriku, dan ketika semua itu semakin menjauh, aku hanya bermain dengan imajinasiku. Ayah yang selama ini terlihat cuek ternyata memperhatikan aku. Ia tahu ada yang salah denganku, tanpa perlu bertanya pada Ibu ataupun saudara-saudaraku. Cerita ini terjadi beberapa hari sebelum imlek, empat belas tahun yang lalu. Saat itu cuaca cerah. Aku duduk di atas ranjang yang menghadap ke jendela. Lebih tepatnya aku sedang duduk memandang jendela yang mengarah keluar rumah. Di luar sana ada beberapa anak tetangga sedang bermain bola. Aku hanya duduk dan menikmati dunia khayalanku. Dari dulu aku tak pernah suka permainan yang mengutamakan kerja sama sebuah regu. Termasuk diantaranya adalah sepak bola, basket, dan permainan sejenis. Aku bahkan tak sadar ketika Ayah duduk di sampingku. Kehadirannya baru kusadari ketika tangannya yang kasar mendekap pundakku sambil bertanya "Kok melamun ?", dan aku cuma tersenyum seperti biasa. Aku tak suka bicara pada orang yang kurasa kurang dekat. Salah satunya adalah Ayah.

Hari itu, ayah bercerita sambil menyisipkan nasehat. Dan aku ingat benar isi ceritanya.

Suatu hari, ada seorang anak laki-laki yang sangat kesepian. Dia kesepian, tapi tak berani melihat dunia. Semua orang terlihat asing untuknya. Anak itu diam-diam menangis sendirian dan terus berharap teman-temannya akan datang mengajaknya bermain. Tapi tidak terjadi, karena ia menangis di tempat yang tidak terlihat oleh teman-temannya.
Kemudian, suatu hari anak itu memutuskan untuk membuat dunianya sendiri. Dunia yang berisi semua yang dia suka. Karena ia merasa diabaikan oleh teman-temannya, maka dunia itu tak terlihat dan tak bisa dimasuki oleh orang lain selain dia. Setiap hari, ia menghabiskan waktu bermainnya di sana. Ada teman imajinasi yang selalu tersenyum untuknya, walaupun ia hanya menceritakan sebuah kisah yang membosankan sekalipun. Anak itu sangat bahagia.
Suatu hari, anak itu mendapat tetangga baru, seorang gadis cantik dan galak. Gadis itu bisa melihat dunia imajinasi anak itu, tapi tak bisa memasukinya. Maka, gadis itu menarik anak itu keluar. Mengajaknya melihat dunia nyata yang bisa dinikmati bersama.
Sejak saat itu, mereka bermain bersama. Gadis itu membuatnya sadar, dunia imajinasi memang indah, tapi bukan berarti kita boleh terus menerus berada di sana.
Anak itu lalu mengunci pintu menuju dunia ciptaannya, dan berjanji hanya akan ke sana bila dunia nyata telah menolaknya. Kunci itu ia titipkan di hati gadis yang kelak menjadi pasangan hidupnya.


Baru sekarang aku sadar bahwa Ayah sedang bercerita tentang dirinya. Ayah dulu juga sama sepertiku, takut pada dunia. Takut dunia menolak kehadiranku, padahal aku bahkan belum sempat mencoba bertanya. Sejak itu, aku mengunci dunia imajinasiku, dan menitipkan kuncinya pada Ayah. Aku keluar bermain, dan mereka menerima kehadiranku. Ayah nampak senang, aku bisa melihat ia tersenyum puas.

***
Setelah aku menitipkan kunci pada Ayah, aku pergi keluar kamar dan berjalan menuju pintu keluar. Pintu menuju dunia nyata di luar rumah. Tapi aku lupa berterima kasih pada Ayah, jadi aku melangkah kembali ke kamar. Saat membuka pintu, aku melihat Ayah sedang masuk ke dunianya sendiri. Ternyata selama ini Ayah punya kunci cadangan dan tak pernah lepas dari dunia khayalannya. Saat itu juga aku membuat kunci cadangan. kalau-kalau aku bosan dengan dunia ini dan ingin bersembunyi.


Tidak ada komentar: