Senin, 30 Agustus 2010

Lelembut

Malam menyimpan sejuta misteri, dan yang disebut misteri itu tak akan bermakna bila rahasianya telah diketahui. Tapi sejuta bukanlah jumlah yang sedikit. Maka, manusia pun berlomba-lomba menyelesaikan teka-teki untuk menjawab misteri. Seperti hal-nya misteri lelembut penghuni malam yang kini kerap diusik untuk kepentingan komersil tanpa memperdulikan perasaan objek yang menjadi topik. Berikut ini adalah curhatan lelembut itu padaku.

"Ny, kow tengok lah tuh, batang pohon nangka kesukaanku ditebang sama Pak Haji. Aku kan bingung mau tinggal di mana sekarang. Dasar Haji gak tau diri. Gua sumpahin anak gadisnya bakal ikutan jadi kunti !" si Kunti (kuntilanak) hampir menjerit gemas di akhir katanya.

"Sabar Mbak Un, di sekitaran sini kan masih banyak pohon-pohon lain. Pindah aja ke salah satunya. Lagian, kamu kan juga cuma numpang di pohon nangkanya Pak Haji."

"Yo ndak bisa toh Ny... kow kira pohon-pohon lain gak ada penghuninya apa ? Tuh di depan kos kamu, markasnya trio Poci (pocong) seng doyan orak-arik rambutku. Emoh aku deket-deket mereka." si Kunti protes dengan tampang sewot.

"Ya sudah Mbak Un, gimana kalau kamu pindah ke pohon pisang di belakang ?"

"Lah, opo maneh kuwi... ono sainganku si Susi (Sundul Bolong), jijik aku liat punggungnya. Hiiiiii"

"Kalo pohon jambu di kos depan gang gimana ?" tanyaku sambil menahan tawa.

"Oh... gelem wae aku, tapi kan ada si ganteng Gendi (Genderuwo), isin aku. Kow comblangke aku toh... ben aku ora sering-sering curhat dimari." kata si Kunti sambil tersipu tapi tetap pucat mengerikan.

"Loh, aku mana kenal. Selama ini yang suka usil mampir-mampir kan cuma kamu. Pake acara curhat semalaman pula." protesku.

Si Kunti menunduk murung, membuat bulu kudukku merinding. Tampangnya sekarang sama seperti yang ada di film-film horor Indonesia. Aku curiga, yang bikin film itu terinspirasi dari wajah kunti-kunti merana. Tapi kasihan juga nasib mereka, kalau tergusur cuma bisa curhat. Karena tak punya surat kontrak dan tak bayar juga, terpaksa terima nasib saja. Sama seperti manusia-manusia lemah yang rumahnya disita pemerintah. Kasihan nasib mereka. Apa daya, orang tak punya.

"Ny... tolongin aku toh... Moso kow ora melas karo aku ? Aku ni udah gak hidup loh, urip-ku mbiyen yo ora penak loh. Moso wes mati tetep sengsara. Ayo donk.." Si Kunti memelas.

Tidak tega juga melihat nasibnya. Kalau aku tolak, bisa-bisa kamarku jadi makin seram dengan kehadirannya tiap malam. Segan tapi tak ikhlas.

"Ya sudah, nanti coba aku bicarakan dengan Pak Haji, mungkin saja Pak Haji mau tanamkan satu pohon baru buat kamu." Aku berusaha menghibur, biar si kunti cepat-cepat menyingkir dari ranjangku.

"Tenan yo Ny... awas klo kow ampe boong, tak tindih kamu saben bengi. Kikikikikikikikikikikik." Ancamannya bikin merinding.

Tak lama kemudian si kunti menghilang dengan cara menembus tembok. Malam ini nampaknya dia tinggal di tiang listrik seberang kos. Samar-samar masih terdengar senandungnya yang mengerikan.

***
"Pak Haji, lelembut penghuni pohon nangka yang Bapak tebang semalam protes ke tempat saya, minta dibuatkan rumah baru. Apa Pak Haji bisa bantu ?" Aku terpaksa minta bantuan Pak Haji yang terkenal kikir.

"Boleh. Asal, kamu yang bayar pajaknya, bayar bibit pohonnya, dan biaya penanamannya. Terus, nanti kalau pohonnnya berbuah, itu jadi hak saya. Gimana ?"

Dalam hati, kumaki-maki tua bangka tak tahu diri itu. Tapi demi si kunti yang baik hati, saya sanggupi saja. Seperti biasa, segan dan tak ikhlas. Dua puluh empat jam kemudian, pohon nangka baru telah ditancapkan di atas tanah tempat rumah lama si kunti berada. Sambil ngomong ke kunti (seperti ngomong sendiri karena tak ada siapa-siapa) aku pun pamit pulang.

Malamnya, si kunti balik lagi. Kelihatan lebih segar mukanya, walau tetap pucat tanpa darah di pembuluhnya. Ucapan terima kasih dan sebuah lagu didendangkan di kamarku. Hadiah yang sama sekali tak diharapkan. Semoga saja anak-anak kamar sebelah tak mendengarnya.

Aku pikir masalahnya selesai sampai di situ. Tak disangka-sangka, si kunti masih saja sering curhat tentang hubungannya dengan si Gendi. Apa ini karena segan dan setengah hati ya ?

"Mbak Un... tolong dong, cari kuping lain buat kamu curhatin." akhirnya aku beranikan diri berjujur ria padanya.

"Loh, kok gitu toh ? tak pikir kow ini konco ku loh. Sakit ati aku." Si Kunti nampak sedih.

Sejak itu kamarku jadi sepi. Tak ada lagi tangis dan cekikik Mbak Un, yang konon telah mendapat sohib baru di rumah sebelah. Anak Pak Haji yang sekarang dandanannya makin mirip Mbak Un. Mungkin saja sumpahan Mbak Un bakal jadi kenyataan, dan bertambah satu kunti di komplek perumahan ini.



Tidak ada komentar: