Jumat, 03 September 2010

Bola

Penyesalan tak pernah datang lebih awal.
Ia tercipta untuk membunuh korbannya
dengan racun yang sama
yang telah membunuh cinta


Mengeluh dan mengeluh. Setiap hari dan setiap waktu. Keluhan diluncurkan bertubi-tubi dari bibirnya yang kini keriput tak terurus. Ibu ku yang dulu cantik kini telah renta. Sifat angkuhnya berubah drastis bertepatan dengan terakhir kali darah menstruasi keluar dari lubangnya. Menopause ternyata mengubah sifat orang. Mungkin karena perubahan hormonal. Entahlah, terlalu banyak rahasia Tuhan yang belum diketahui manusia. Begitu juga dengan Ibu. Tak ada yang tahan berlama-lama di rumah saat ibu ada. Kecuali anjing kesayangan Ibu tentunya. Namanya juga anjing, terlahir dengan kutukan untuk setia pada majikan (bahkan kalau majikannya gemar menyiksa dirinya. Anjing malang...). Kami memilih diam, atau pura-pura tak dengar. Biarlah Ibu menumpahkan kekesalannya yang tanpa alasan jelas itu hingga ia puas atau kerongkongannya telah kering. Kesempatan kami untuk kabur adalah ketika Ibu berjalan ke dapur untuk membasahi tenggorokannya dengan segelas air. Saat Ibu kembali, hanya ada bangku kosong, atau siapa pun yang sedang sial dan menjadi korban berikutnya.

Kadang aku merasa di rumah ini, semua orang telah hidup dalam dunianya sendiri-sendiri. Tak ada lagi yang namanya keluarga di sini. Lebih mirip teman satu atap, seperti di kos-kosan. Rumah berisi manusia-manusia yang berlainan sifat dan beda pendapat, tapi tetap tunduk pada Ibu pemilik kos yang dulu aku dan teman-temanku sebut dengan istilah 'Ratu'. Semua perintahnya wajib di dengar. Hukuman bagi pembangkang adalah duduk manis mendengarkan ceramah yang durasinya diatur sesuka si-Ratu. Untuk kriminalitas, hukumannya bersih-bersih toilet (tahu sendiri lah toilet kos anak cowok seperti apa) atau hukuman paling berat adalah diusir dari istana si-Ratu. Rumah ini mengingatkanku pada masa-masa itu. Bedanya, rumah ini berisi teman-teman yang sedarah denganku. Sisanya sama saja.

Aku tak pernah membantah apa pun yang diucapkan Ibu. Tak pernah juga protes kalau kata-katanya menyakitiku. Biar bagaimana juga, dia adalah Ibu yang telah merawatku. Yang menyekat amarahku adalah kenangan manis saat Ibu masih muda dulu. Saat tangannya dengan lembut membelai rambutku. Saat ia menyuapi aku dengan nasi hangat dan ikan pedas kesukaanku. Betapa besar pengorbanannya untuk merawat kami anak-anaknya. Aku masih ingat saat kehidupan kami masih susah. Ibu bahkan rela mengipasi kami saat suhu panas (saat itu kipas angin hanya ada satu, dan anak Ibu ada empat) dan menjaga kami satu per satu agar tak digigit nyamuk. Beda dengan anak tetangga yang kulitnya penuh bekas gigitan nyamuk, kami terlihat mulus dan terawat. Ibu memang wanita yang tegar dan luar biasa. Aku sangat mengaguminya.

Walau mulutnya kadang menusuk, tapi terlihat kesepian dari sinar matanya. Mungkin kesal karena kami terus menerus mengabaikannya. Pelan-pelan, semua itu menjadi kebiasaan dan terbawa hingga sekarang. Tapi tak satu pun dari kami mau berubah. Tak ada keajaiban yang datang tiba-tiba.

Ibu perlahan makin murung dan emosinya makin menjadi. Bahkan duduk diam di ruang tamu adalah dosa terbesar di matanya. Teriakannya makin hari makin garang. Terakhir, kakak pertama ku tak lagi tahan berlama-lama di sini. Ia yang pertama meninggalkan rumah. Lalu kakak kedua, ketiga, bahkan pembantu pun kabur tanpa meminta gaji bulan terakhirnya. Ibu ku memang luar biasa.

***
Hujan turun membasahi kaca jendela. Aku duduk di kursi sambil menatap pekarangan rumah sakit, menunggu Ibu yang terbaring di ranjang. Sudah tiga hari Ibu terbaring di sini. Rawat inap karena penyakit lama. Di saat seperti ini, aku justru merindukan kebawelannya. Aneh rasanya duduk di sini tanpa mendengar celoteh Ibu. Bahkan kakak-kakakku menangis di hari pertama mereka mendapat giliran jaga. Sedangkan aku, sudah lama mati rasa. Tak lagi ada sedih, tak juga senang. Tak ada rasa, seperti boneka yang memang tercipta untuk duduk manis tanpa ekspresi. Atau mungkin 'pura-pura' ini sudah terlalu lama bersarang di tubuhku hingga menjadi kebiasaan. Lebih tepatnya menjadi satu dengan diriku. Sama seperti Ibu yang karena dibiarkan bawel, maka bawel itu pun menyatu dengan kesehariannya. Aku takut benar-benar mati rasa. Tapi aku juga tak bisa mengubah apa yang sudah menjadi kebiasaan ini secepat yang kukira. Yang jelas, ini bukan akting.

Bosan, duduk tanpa suara memandang hujan. Aku bermain-main dengan bola bekel (bola dari bahan karet yang mudah memantul) yang suaranya ternyata membangunkan Ibu dari lelapnya. Matanya sayu, menyampaikan pesan yang lebih menyakitkan dari kesepian yang selama ini terlihat darinya. Aku melihat penyesalan.

Ibu memanggilku agar mendekat. Aku pun menurut seperti biasa. Tangannya berusaha menggapai kepalaku. Aku pun menunduk, merebahkan kepalaku dekat bahunya. Ibu membelai rambutku, dan aku merasa kehangatan itu masih ada dalam setiap sentuhannya. Ibu berbicara dengan suara yang jauh lebih pelan dari suaranya selama bertahun-tahun terakhir. Ibu berkata bahwa aku sudah besar sekarang. Tapi tetap saja aku adalah anak kecil baginya. Anak yang akan selalu ia jaga hingga akhir hayatnya.

"Bu, jangan bicara yang aneh-aneh. Ibu sebentar lagi sembuh, bisa bawel seperti biasanya." aku berusaha menghibur.

"Kamu tahu, Ibu sudah hidup jauh lebih lama darimu. Ibu tak perlu dihibur dengan kebohongan seperti itu." katanya.

Tangan ibu terus membelai rambutku. Sambil menceritakan masa-masa kecilku, seperti menceritakan dongeng pengantar tidur buatku. Dulu Ibu tak pernah mau didekati saat sedang sakit. Takut kami tertular penyakitnya. Tapi kali ini, aku beruntung bisa berlama-lama sedekat ini dengannya, di saat-saat terakhir Ibu berada di dunia.

***
Tiga tahun setelah Ibu tiada, aku kembali ke rumah (setelah ibu meninggal, aku pindah ke luar kota). Rumah ini masih sama seperti terakhir aku melihatnya. Baunya masih sama. Aku menelusuri setiap sudut ruang, sambil mengingat kenangan-kenangan yang tergores di sini, di setiap senti dinding-dinding ruangan ini. Dapur tempat aku melihat Ibu meracik makanan dengan terampil. Toilet yang sempat beberapa kali membuatku kelabakan karena mampet. Ruang tamu tempat aku dan kakak-kakakku dulu bercanda, tertawa, dan bertengkar. Kamarku yang penuh mural. Terakhir adalah kamar Ibu. Bau Ibu masih bersisa di sana. Bau yang sama seperti yang terngiang di kepalaku, Bau seorang Ibu yang menenangkan anaknya dalam gendongan. Wangi khas seorang Ibu yang tak mungkin dilupakan anak-anaknya. Aku sendirian di kamar Ibu, menyentuh setiap peninggalan Ibu dengan penuh rindu. Lalu aku menemukan kotak penyimpanan benda-benda kesayangannya. Saat kubuka, ada ari-ari yang diawetkan. Aku lupa, itu punya siapa, tapi itu adalah pusaka Ibu. Lalu ada pensil alis (heran, benda seperti ini kenapa bisa dianggap istimewa), kunci yang entah akan membuka pintu kemana, dan ada bola bekel. Bola bekel yang dulu sering aku mainkan. Ternyata Ibu menyimpannya setelah aku buang. Lalu ada foto keluarga.

Semua benda kesayangan ibu kupeluk erat-erat sambil meringkuk di ranjang Ibu. Tak lama, aku menangis hingga tertidur di sana. Aku berharap bisa mendengar suara Ibu sekali lagi. Walau berisik, aku rela. Aku ingin mendengar Ibu berceramah seperti Ratu kos. Aku ingin kepalaku dibelai lembut. Aku ingin kehangatan tangan Ibu. Hanya sentuhan tangannya yang membuatku sadar bahwa aku bukan boneka. Tangannya mengingatkanku bahwa aku adalah anaknya. Anak yang telah ia jaga hingga akhir hayatnya.


Bola itu terus memantul di dinding hatiku
Selalu kembali sejauh ia terhempas
Bola berisi kenangan bersama Ibu


Tidak ada komentar: