Senin, 13 September 2010

Penipu Ulung

Tentang rasa, tak ada yang tahu kebenarannya. Hanya si pemilik dan rasa itu sendiri yang mengetahui seperti apa dan bagaimana.

Tentang hati, mereka berbicara dengan bahasanya sendiri yang tak dimengerti orang lain. Bahkan kadang pemiliknya sendiri tak mampu menerjemahkan isinya dengan benar.

Tentang kawan, Tempat berbagi cerita, walau kadang pelampiasan emosi juga pada mereka. Kawan itu semacam tempat hiburan di saat kita jenuh.

Tentang sahabat, satu tingkat di bawah ikatan darah. Yang menyatukannya adalah rasa. Tak lebih kuat dari ikatan darah, tapi juga tak serapuh tali perkawinan.

Tentang cinta, luar biasa. Kadang membuatmu bimbang saat harus membelanya dari sahabat. Tapi cinta punya tempatnya sendiri di bilik nomor 4 dalam sekat hari :p (VIP room, heheheh)




"Rin, kamu yakin dengan keputusanmu ini ?" pria itu berbicara dengan suara serak menahan air mata. Mungkin juga kedinginan setelah berlarian di bawah guyuran hujan malam ini.

"Dy, kita sudahi saja. Aku sudah gak nyaman dengan hubungan seperti ini. Dua puluh tahun cukup kan, Dy ? Cukup untuk persahabatan kita. Buatku, sahabat gak mungkin jadi pacar." Gadis itu berbicara tanpa melihat ke arah lawan bicaranya.

Hujan terus menyiram mereka dengan buasnya. Nampaknya tak ada pilihan lain selain menikmati dingin malam ini. Tak ada tempat berteduh. Rina, gadis yang terus menyangkal perasaannya sebagai wanita, kini harus menerima kenyataan bahwa persahabatannya dengan Andy telah berubah menjadi cinta. Rina lebih memilih untuk lari dari kenyataan dan meninggalkan Andy di belakang.



***
Rina gemetaran di balik pintu rumahnya, terduduk lemas memeluk erat kedua lututnya. Kepalanya tertanam ke dalam pelukan. Telinganya ditajamkan untuk mendengar apakah ada suara Andy di luar rumah. ternyata tidak. Ia merasa aman sekarang, tapi tidak dengan perasaannya. Dalam tubuh yang meringkuk tak berdaya itu terdapat jiwa yang bergejolak. Bagaimana mungkin ia mengubah perasaannya terhadap Andy, tak pernah terbayang olehnya. Bukan berarti Andy adalah lelaki yang mudah menyakiti perasaan wanita. Rina sudah mengenalnya sejak kecil. Tapi kenangan itu jauh lebih bermakna dibandingkan cinta yang ditawarkan Andy padanya. Tidak, tak lebih berarti sedikitpun. Rina menangis, air matanya bercampur dengan air hujan yang membasahi lengan bajunya.



***
"Rin... yuk kita rampok mangga-mangganya Pak RT, udah matang semua tuh." Andy kecil berteriak dari atas sepedanya.
"Okay bos... aku ambil kantung dulu, bawa pisau sama garam gak ?" Rina kecil menyahut dari balik pagar rumahnya.
Kedua bocah itu melesat secepat tuyul beraksi, memetik beberapa kilo mangga ranum dari rumah Pak RT tanpa ketahuan pemiliknya, lalu menghabiskannya di pinggir sawah sambil tertawa cekikikan. Rumah Rina tepat di belakang rumah Andy. Tak heran keduanya sering bermain bersama. Andy tinggal bersama ibunya. Ayahnya sudah lama meninggalkan mereka. Ibu Andy bekerja sebagai penjaja cinta, tak heran keluarga mereka dikucilkan oleh warga kampung. Tapi Rina kecil tak menghiraukan omongan orang. Sahabat Andy dari kecil hanya Rina seorang. Gadis itu tomboi dan selalu melindungi Andy bahkan ketika harus melawan anak-anak kampung yang posturnya lebih besar dari mereka. Senjata andalan Rina adalah ketapel buatan kakaknya. Tak jarang orang tua korban ketapel Rina mendatangi kediamannya untuk mengadu. Tapi dasar Rina kecil yang tak pernah mau kalah, semua aduan itu tak mempan padanya. lama kelamaan, hanya ada Rina dan Andy. Tanpa gangguan dari anak-anak kampung lainnya. Mereka asyik dengan dunianya. Setiap hari adalah petualangan yang seru. Berlarian di sawah, bermain layangan, mencuri buah. Semua petualangan mereka berlanjut bahkan hingga bangku kuliah di Jakarta.

Ada satu kebiasaan lucu yang dilakukan Andy setiap kali mereka bertengkar. Andy akan pulang tanpa alas kaki, meninggalkan sandalnya di tempat mereka berpisah. Sandal itu (kalau tidak hilang diambil orang) adalah tempat mereka bertemu lagi keesokan harinya. Setiap kali bertengkar, Andy akan kabur dari rumah. Karena terlalu seringnya, Rina sampai hafal kemana harus mencari Andy. Tentu saja, di tempat yang tak jauh dari lokasi alas kaki itu berada. Andy akan terus menunggu di sana sampai Rina kembali.



***
Rina masih meringkuk di balik pintu, tak berani beranjak dari situ sebelum air matanya benar-benar kering. Tiba-tiba ia teringat, Andy.

Rina segera menghapus air matanya, berlari ke luar rumah secepat yang ia bisa, menuju ke tempat terakhir Andy berdiri tadi. Dengan nafas tersengal ia melihat sepasang sepatu di sana, sepatu milik Andy. Ia melihat ke sekeliling, taman kota. Tak ada siapa-siapa di sana, hanya Rina dan sepasang sepatu di depannya.

"Andy, keluar !!! Aku tahu kamu ada di sini. Keluar !!!"

Dan sampai hujan berhenti, sampai matahari terbit, tak ada Andy yang muncul menghadap Rina. Gadis itu berdiri membeku di sana dengan bibirnya yang membiru kedinginan. Matanya bengkak, entah karena menangis semalaman atau kemasukan air hujan. Kedua mata bengkak itu menatap lurus ke sepasang sepatu yang ditinggal Andy.



***
Tiga tahun berlalu, Andy tak pernah kembali ke sana. Setiap akhir pekan, Rina duduk di kursi taman dekat tempat terakhir ia melihat Andy malam itu. Perasaan Rina, ya, Tak ada yang tahu rasa dalam hatinya selain dirinya dan rasa itu sendiri. Baginya, sahabat tak mungkin menjadi kekasih. Tak ada jembatan yang bisa menghubungkan kedua kubu yang letaknya berseberangan dan saling berlawanan. Rina takut suatu saat nanti ia akan kehilangan Andy. Sebagai sahabat, hubungan mereka kekal tak tersentuh ruang dan waktu. Tapi percintaan selalu berakhir pada perpisahan. Sahabat yang terpisah ruang dan waktu bisa bertahan karena ikatannya tak mungkin dilukai oleh cinta. Sebaliknya, sepasang kekasih menggantungkan hubungannya di atas tali cinta yang mudah goyah, dengan mudahnya putus karena marah. Tak bisa dipisahkan walau hanya sebentar saja. Ia tak ingin kehilangan Andy tapi pada akhirnya, perasaan sahabatnya juga yang menjadi pemisah. Andy tak lagi menganggap Rina sebagai sabahat. Andy mencintainya.

Rina sibuk menelusuri buku yang baru saja dibelinya. Langit mendung, tapi cukup cahaya untuk menerangi buku dalam pangkuan Rina. Keasyikan itu akhirnya harus berakhir saat langit mulai mengucurkan gerimis. Rina segera memasukkan buku ke dalam tas, bergegas pulang. Beberapa langkah dari sana, ia berbalik melihat ke tempat sepatu Andy diletakkan.

"Dy, hari ini terakhir kalinya aku datang. Tiga tahun cukup untuk aku menyadari perasaanku. Aku sayang kamu, tiga tahun tanpa kamu pun aku bisa. Pasti kamu juga bisa hidup tanpa aku." Rina mengeluarkan sepasang sepatu yang ia pungut tiga tahun lalu, meletakkan di tempat ia mengambilnya. Menitipkan salam untuk sahabat yang ia sayangi, juga setitik air mata yang tulus.

Dalam perjalanan pulang, Rina mampir ke semua tempat yang dulu sering didatanginya bersama Andy. Untuk kali terakhir, karena besok Rina akan pindah ke Yogya. Jakarta sudah terlalu penuh, padat penduduk, dan kenangan. Terlalu sesak untuk terus tinggal di tempat ini. Hari ini, untuk pertama kalinya Rina merasa tak sendiri setelah tiga tahun terakhir. Puas dengan jajanan dan semua hiburan, Rina pun pulang. Saat membuka pintu rumahnya, terselip selembar surat.

"Rin, tadi aku ke taman. Aku melihat sepatu itu masih ada. Tiga tahun dan kamu masih mau mencariku. terima kasih, Rin. Selama tiga tahun ini aku mencoba melupakan kamu tapi gak bisa. Aku kembali ke Singapore tempat ayah kandungku berada. Sore ini aku kembali ke sana dan mungkin tak akan kembali lagi. Aku melihat kamu menangis, dan aku tahu jawaban dari semua ini. Rasa memang gak bisa bohong Rin. Begitu juga dengan rasa dalam diriku. Salam dariku yang menghilang di malam itu, malam ketika air mata langit bercampur dengan air matamu. Malam tiga tahun lalu di taman kota. Cinta ini kutinggal bersamamu di sini. Andy"

Dunia menjadi sunyi tanpa suara. Kaki Rina sekali lagi berlari ke taman kota. Sama seperti waktu itu, gelap tak ada siapapun di sana. Hanya sepasang sepatu yang akrab di matanya.

"Dy... Rasa ini sama seperti rasa yang ada di dirimu ! Kenapa kamu gak nunggu ? Kenapa !!!"
Gadis itu menangis, menjerit, dan hancur.



***
"Rin, kalau sudah besar nanti, kamu harus nikah sama aku ya !" Andy kecil mengacungkan kelingkingnya, menautkan dengan kelingking Rina.

"Janji ?" Rina kecil tersenyum malu.

Keduanya bersepeda pulang ke rumah masing-masing tanpa mengetahui takdir yang menunggu mereka di kemudian hari. Semua orang terlahir dalam keadaan polos, tanpa pernah tahu apa pun nanti. Malam itu keduanya tidur dengan senyum paling manis.



***
Sepuluh tahun berselang, Rina adalah wanita karir yang kini menjabat manager di perusahaan swasta. Wanita lajang dengan sifat menyenangkan, tak terhitung berapa banyak pria yang berusaha mendekat. Tak satu pun dari mereka berhasil melewati dinding tinggi yang mengelilingi hati wanita ini. Bahkan di kantor, beredar gosip bahwa Rina adalah seorang lesbian. Apalagi, ia jarang sekali memakai rok kecuali terpaksa.

Jam makan siang, semua karyawan meninggalkan kantor untuk menikmati santai sejenak di kafe terdekat. Rina memilih tempat makan yang tak jauh dari kantor. Restoran cepat saji kegemarannya. Sepotong ayam, segumpal nasi, dan kentang goreng. Belum sempat tangannya mengoyak paha ayam, seorang pria meletakkan sepasang sepatu ke kursi di sampingnya.

"Kamu mirip sekali dengan orang yang kukenal." Pria itu menyapa.

"Maaf, aku bukan wanita lajang. Tapi aku suka sepatu itu. Aku rela selingkuh dengan pemiliknya untuk mendapatkan sepatu yang ada di sana." Rina menggodanya.

Keduanya larut dalam perbincangan panjang, samar-samar terlihat benang merah di kelingking mereka telah bertaut. Janji mereka semasa kecil dulu nampaknya segera terwujud.



Tak ada siapapun yang mengerti tentang perasaan melebihi rasa itu sendiri, dan juga pemiliknya. Walau hati menyangkal berulang-kali, rasa akan bertahan lebih lama dari waktu dan menembus sekat ruang. Dinding-dinding pemisah akan roboh pada waktunya nanti. Seperti bendungan yang payah. Waktu akan mematangkan segalanya, termasuk cinta.

Tidak ada komentar: