Jumat, 17 September 2010

Satu Yang Tak Boleh Lepas

Sembilan dari sepuluh adalah kamu
Sisa satu adalah aku
Sembilan dari sepuluh milikmu
Sisa satu tak boleh kau sentuh

Satu itu adalah harga diriku


***
Tengah malam aku duduk sendiri, menatap cermin yang pecah kutinju dengan kepalan tanganku. Bukan aksi pelampiasan emosi, hanya muak dengan apa yang kulihat dipantulannya.

Sepenggal lagu pengisi film favoritku melantun memasuki setengah telingaku yang masih tertinggal di kamar ini.

Midnight workings, weather down the storyline
I try to find the truth between all the lies
When Bleeding is feeling and feeling ain't real
Will I see you when I open my eyes?
Will I see you when I open my eyes?

(Megan McCauley - Wonder)

Memar di pipi kiri, dan sobekan perih di sudut bibir kanan. Mataku bengkak sebelah kanan, kepalaku sobek di kiri. Untung jiwaku sudah terbiasa dengan siksaan seperti ini. Cuma hati saja yang belum terbiasa menerima kepahitan bertubi-tubi. Cintamu menyakitiku, tapi cintamu segalanya buatku. Tanpamu aku tak merasa hidup, tapi denganmu hidupku tak lebih baik. Dilema yang tak henti-hentinya meracuni pikiranku untuk bunuh diri.

Tanganku tak tahan untuk terus menyentuh luka di wajahku. Saat ku sentuh, luka di bibirku berdarah lagi. Perasaan yang sejak tadi kutambal kini kembali terkoyak. Bukan karena perihnya luka di bibir tapi perasaanku di hati. Dengan ogah kuangkat pantat ini dari kursi, berjalan setengah sadar ke lemari mengambil pakaian ganti dan handuk bersih. Secepat itu juga tubuhku pasrah diguyur air hangat dari pancuran. Perih di kulit buatku sudah biasa. Aku menggigil justru saat teringat eksperimu ketika menghajar aku, kekasihmu, istrimu yang tak sah di mata hukum. Mungkin memang salahku mempercayakan hidupku di tangan lelaki sepertimu. Seharusnya aku menurut nasehat Ibuku, lelaki sepertimu hanya manis di awal saja. Tapi aku menyerah pada kutukan wanita yang sedang jatuh cinta. Aku pasrah cintaku kau ambil dan tubuhku tersakiti. Aku tetap cinta.

Beberapa tetes darah menitik setelah keran kuputar. Nampaknya mandi tak menghentikan pendarahan di bibirku. Semoga saja bentuknya tak berubah seperti bibir unta. Sempat-sempatnya aku nyengir saat bibirku menjerit pedih tersiram air. Selesai mengeringkan tubuhku dengan sangat pelan, takut memar di sekujur tubuhku histeris tersentuh benda asing, aku segera mencari kotak P3K untuk mengobati ala kadarnya. Kekasihku tak akan pulang malam ini, seperti biasanya dia akan pergi menginap ke rumah Ibunya dengan alasan sedang bertengkar denganku. Bukan alasan juga sebenarnya karena kami memang sedang bertengkar. Tapi menjadi tak masuk akal karena aktingnya seolah-olah aku ini istri laknat yang suka menyiksa suami. Andai mertuaku ada di sini menyaksikan kelakuan anak semata wayangnya. Agak merinding juga membayangkan sifat asli wanita yang melahirkan anak cacat mental seperti suamiku itu, jangan-jangan otaknya beberapa derajat lebih miring dari lelakiku itu. Aku jarang bertemu mertuaku, hanya beberapa kali sejak resepsi pernikahan ala kadarnya yang dihadiri beberapa keluarga pihak pria saja. Tak ada teman atau saudara dari pihak wanita. Yang disebut pernikahan pun hanya nikah siri, tak pernah tercatat sah secara hukum.

Selesai mengobati luka-luka dan memar di sekujur tubuhku, aku bergegas ke dapur untuk mengambil segelas bir. Ternyata dia sedang duduk sambil menekan kepalanya dengan kedua tangan. Kupikir malam ini dia kabur ke rumah Ibunya. Tubuhku gemetaran, bukan karena dingin yang menyerangku. Walau sekarang aku tak mengenakan sehelai pun benang, tapi aku merinding karena ketakutan. Memikirkan kemungkinan malam ini tubuhku harus rela ditumpangi beberapa tambahan luka lagi. Aku masih diam terpaku saat matanya menjilati tubuhku dengan api kemarahannya. Tubuhku disergap olehnya, terjatuh dan membentur lantai. Kali ini aku memilih pasrah. Pertama adalah tendangan tepat di lambung. Sakitnya bukan main. Aku ditendang tanpa belas kasihan, seperti binatang. Sementara jeritanku tertahan oleh rasa sakit, tendangan berikutnya mendarat di dada kananku. Oh Tuhan, besok pasti dadaku bengkak sebelah. Pikiranku sudah agak kacau nampaknya, bukannya berusaha mencari pertolongan malah asik memikirkan kondisi tubuhku esok hari. Masih syukur kalau nafasku bersambung sampai matahari terbit.

Sakiti aku semaumu
Sakiti sampai aku mati
Tapi jangan ambil harga diriku


***
Malam ini pertama kalinya ia berusaha menyetubuhiku. Aku tak terima itu. Perjanjian dari awal adalah aku tak akan pernah mau disetubuhi oleh lelaki mana pun. Tak terkecuali suamiku. Selama ini dia bebas mencari wanita atau pria mana yang dia suka. Pernikahan kami hanya kedok saja. Lelaki yang kucintai ini bukan manusia yang mau terikat batin dengan manusia yang terikat fisik dengannya. Baginya, aku adalah kekasih yang semurni air, suci seperti malaikat Tuhan. Tak sekali pun kami melakukan kontak fisik yang berhubungan dengan syahwat. Aku adalah manekin cantik yang selalu tampil menarik di pesta-pesta kantornya (kecuali saat wajahku yang cantik ini rusak oleh hantamannya). Sedangkan aku, wanita yang terlahir dengan kelainan psikis. Takut yang berlebihan terhadap kelamin laki-laki. Atau mungkin aku ini lesbian yang takut menerima kenyataan. Pernikahan ini kujalani agar kedua orang tuaku tak lagi membesar-besarkan statusku yang masih sendiri walau sudah cukup usia untuk dinikahi pria. Terkutuk dengan mereka yang memaksaku menerima hidup semacam ini. Tak seharusnya aku jatuh cinta pada hidupku yang begini. Seharusnya aku akhiri saja hidupku dari awal aku disakiti. Aku meringkuk dan menangis dengan pisau di tangan dan sekujur tubuhku bersimbah darah dari tubuh lelaki yang paling kucinta.

Sekali ini aku boleh bangga dengan keberanianku yang telah mengalahkan kekuatan seorang laki-laki. Pertama kali dalam hidupku, aku benar-benar menang dalam pertarungan menghadapi lawan jenis. Aku telah bangkit dengan gagah berani menghunuskan pedang menerjang musuh. ini lah aku yang selama ini bersembunyi dari keramaian, mengurung diri dalam tubuh lemah, yang terus diam walau disakiti berulang kali. Atau mungkin juga aku ini menikmati setiap rasa sakit itu hingga sengaja menyembunyikan keberanianku. Yang jelas, tak kuijinkan siapa pun termasuk dia yang paling ku cinta. Tak akan pernah kuijinkan harga diriku direnggut dariku.

Sempat beberapa kali aku melihat tubuhnya, berharap ada sedikit tanda kehidupan darinya. Harapan yang sia-sia setelah pisau ini kutancapkan sembilan puluh tiga kali ke tubuhnya. Hebat juga, aku sempat menghitung jumlahnya.

Isi kepalaku sekarang adalah bagaimana menjelaskan pada polisi tentang semua ini. Bagaimana menjelaskan keperawananku yang terjaga setelah tiga tahun tinggal satu atap bersama suamiku. Bagaimana menjelaskan pada mertuaku. Bagaimana aku harus meneruskan hidup, bagaimana dan bagaimana. Berbagai pertanyaan yang terus melintas hingga ketika polisi menemukan aku dalam keadaan shok dan telanjang bulat menggenggam pisau sambil gemetaran.

Aku memang lemah
Bukan berarti tanpa daya
Aku lemah karena terbiasa
Aku bisa berubah kapan saja
Seperti angin merontokkan bunga
Dengan mudahnya aku berubah

2 komentar:

Anonim mengatakan...

mencintai untuk disakiti...
akhirnya terbukti harga diri/ego tetap menang melawan cinta...

-Iko-

Ony mengatakan...

Manusia tanpa harga diri, sama saja tak punya hidup.
Bahkan pelacur pun punya.