Senin, 05 September 2011

Burung Pipit

Pagi selalu datang lebih awal ketika sepi membentang menjadi jembatan untuk kedatangannya yang sering kali tak diundang. Bukan salah pagi yang datang tanpa undangan, karena memang sudah hukum alam. Tuhan menentukan begitu. Tak ada siapa pun juga yang bisa menolak aturan itu. Tak juga takdir, ataupun waktu. Tak juga aku, ataupun kamu.


Terlalu mudah untukmu mengucapkan itu. Ijin pergi satu tahun untuk mendalami ilmu di tempat yang bahkan belum pernah kita singgahi. Seakan satu tahun itu begitu singkat. Ya, memang terasa cepat saat kamu ada di sisiku. Tapi waktu tidak berkawan dengan kesendirianku. Aku tak rela hidup dalam penantian satu tahun. Aku menolak meloloskan ijin dari hatiku yang paling dalam. Tapi lagi-lagi bibir ini berdusta. Ya, bibirku meluncurkan ijin laknat itu. Dan kamu pun tak melihat kepingan kristal di mataku yang berbinar. Seolah aku tak lebih penting dari kebohongan yang ingin kau dengar. Kamu senang sekali waktu mendengar ijin itu diucapkan. Seperti merpati lepas dari kandangnya yang usang dan lama ingin ditinggal.

Seperti yang aku bilang, denganmu waktu begitu cepat melintas. Kepergianmu tiba secepat angin lewat. Aku ingin mencegah, tapi bibirku tersenyum puas karena berhasil mengalahkan isi hatiku. Kau pun pergi tanpa mendengar senandung perih hatiku yang memanggil namamu.

Berselang satu hari dari kepergianmu, waktu mulai menjajah batin dan jiwaku. Sudah pagi kah ini, atau kah malam yang menyamar dalam terangnya lampu kamar. Aku bingung. Waktu tak lagi bersahabat seperti ketika denganmu. Tanpamu, waktu tak lagi jelas bagiku. Seminggu berlalu dan aku sudah tak tahu kapan siang dan kapan malam. Semua keseharianku berlangsung setengah sadar. Tubuhku terus bergerak tanpa roh yang menjalankan. Seperti zombi yang bergerak karena ada kebutuhan. Satu bulan dan aku bukan lagi diriku. Semua berubah. Dunia melihatku sebagai manusia baru yang begitu dingin dan acuh. Ini semua karena kamu.

Tiga bulan dan aku menjadi pecandu musik yang tak henti berdendang di telingaku. Pemutar musik tak pernah lepas dari tanganku dengan headset menempel hampir dua puluh jam tanpa henti. Tanpa musik aku merasa sepi. Tanpa musik aku teringat kamu yang terlalu jauh dariku.

Enam bulan dan aku mulai kehilangan pendengaranku. Hanya musik yang terngiang di kepalaku walau telingaku tak ditutup headset. Musiknya begitu pilu dan sekarang tak ada lagi tombol untuk menghentikannya. Aku bisa gila. Di sela musik pilu itu masih bisa kudengar suara hatiku yang bertanya-tanya kapan kamu akan pulang.

Sembilan bulan, aku mulai rehabilitasi. Mama bilang aku sudah tak waras. Kemarin aku melempar kucing dari lantai lima hanya karena kucing itu tak mau lagi kupeluk. Bukan salahku kalau aku marah dan melemparnya. Sialnya kucing itu saja, kenapa punya majikan yang tinggal di lantai lima. Kalau di lantai dua mungkin kucingku cuma patah tulang. Tapi aku tetap menyalahkan tetanggaku yang memasang pagar berujung tombak. Kucingku mati bukan karena aku melemparnya dari lantai lima. Kucingku mati dengan perut ditembus pagar berujung tombak. Ini salah tetanggaku. Ini salah tetanggaku dan itu sudah pasti. Tak ada yang berhak menyalahkan aku.

Bulan ke sebelas setelah kepergianmu, aku dinyatakan waras dan boleh kembali ke hidup yang normal. Padahal aku tak pernah merasa sakit di jiwa. Yang sakit hatiku. Sakit karena ditinggal olehmu. Aku pasti bisa bertahan satu bulan lagi menyambut kepulanganmu.

Tepat satu tahun setelah kepergianmu, seharusnya kau sudah pulang. Aku berdandan cantik dan bergaun putih. Seperti pengantin yang ada di televisi. Aku mau tampil secantik bidadari untuk menyambut kepulanganmu. Aku begitu senang hingga menari di teras lantai lima. Tepat di bawah matahari yang bersinar cerah. Waktu kembali menjadi pengecut dan takluk. Siang pertama dalam setahun ini yang benar-benar kusadari. Kurasa dan kupeluk erat seolah ini pertama kalinya aku merasakan hidup. 

Tak sengaja, cincin pemberianmu terlempar ke sisi teras. Untung tak jatuh ke bawah. Aku meringkuk dan meraihnya. Cincin berhias batu merah delima. Cincin pemberianmu satu-satunya. 

Merpati anak sebelah tiba-tiba terbang dan mengejutkanku dengan kepak sayapnya yang bau unggas. Di sela-sela sayapnya mengandung debu dan kotoran kering. Mataku yang malang terasa perih terkena debu tak jelas. Aku berusaha menghindar hingga hilang keseimbangan.

Hari pertemuan kita setelah satu tahun berpisah. Hari dimana perutku terkoyak pagar tetangga yang berujung tombak. 

Aku masih bertanya-tanya kapan kamu akan kembali, sayang. Bahkan ketika kau menangis di sisi nisan bertulis namaku, aku tak merasakanmu. Aku kehilangan kamu. Satu tahun yang lalu.








Tidak ada komentar: