Jumat, 18 November 2011

Dan...

Orang bilang... hidup itu tidak pernah adil. Semuanya berlangsung seperti itu agar kita mau berusaha menjadi manusia yang lebih baik. Sedang mereka yang pasrah... akan hilang terlindas roda kehidupan. Adilkah itu ? Takdir yang menentukan kemana kita melaju. Tapi nasib ada di tangan kita yang membelokkan setirnya. mau banting ke kiri ? atau ke kanan ?


Hujan merintik bumi. Sepuluh tahun yang lalu aku mengintipnya dari jeruji teras rumah. Rintik-rintik menitik, dari atap rumah dan dari angkasa. Jemariku mengetuk kayu jendela mengikut bunyi tetesan air yang jatuh ke teras. Terlihat di bawah sana, ada pemulung sedang mengorek sampah. Umurnya masih sangat muda. Pakaiannya tipis compang camping, dengan karung yang hampir dua kali besar tubuhnya. Tak ada payung apalagi jas hujan. Hanya topi dekil warna biru lebam, lengkap dengan jahitan di sana-sini. Sesekali matanya melirik ke arahku dengan malu-malu. Tak berani menatapku lama. Mungkin takut aku melapor pada Mama. Tak berselang lama, anak itu beranjak setelah mengorek apa yang dibutuhkannya dari tempat sampah. Seharusnya tak ada yang berharga di sana. Tapi aku sempat melihat matanya berbinar-binar seketika sebelum akhirnya ia membungkuk mengambil sesuatu dan bergegas pergi. 

Mama menghampiriku dengan sepiring pisang goreng hangat dan teh manis kesukaanku. Rasanya tak ada yang lebih menyenangkan dari pisang goreng ditemani teh hangat di cuaca dingin ini. Aku merasa sangat beruntung lahir di sebagai anak Mama. Setidaknya aku tak seperti pemulung tadi. Entah kemana dia pergi dalam guyuran hujan yang tak juga berhenti. Hujan tampaknya tak bersahabat pada pemulung kecil yang aku lihat tadi. Semoga saja ia segera menemukan tempat berteduh. 

Hujan masih terus mengguyur dua jam kemudian. Aku mendengar kegaduhan dekat rumah. Tampaknya ada maling ketahuan oleh warga. Ramai sekali sampai suara petir pun hampir terabaikan. Ya ampun, ternyata bocah pemulung itu. Warga menyeretnya. Menjambak rambutnya hingga pantat ratanya menggerus tanah berlumpur. Ia menjerit dan menangis memohon iba dari kerumuran warga yang nafasnya memburu dengan mata menyala-nyala bagai malaikat pencabut nyawa. Aku terdiam melihatnya. Warga menyeret bocah malang itu ke depan rumah kami. Ada apa gerangan.

"Bu Lastri... Tolong keluar sebentar." teriak pemimpin rombongan warga berwajah keji. 

Tak lama Mama pun turun dan mencari tahu ada kejadian apa sebenarnya. Aku melihat mama terlihat iba pada bocah yang disiksa rombongan pria dewasa. Warga menuduhnya telah mencuri dari rumah kami. Ada anting emas di tangannya ketika terlihat meninggalkan rumah kami, kata warga saling bersambung. Seolah mereka semua melihat langsung kejadiannya. Begitulah warga kita, setiap ada perkara maunya jadi saksi mata. Padahal matanya tak berada di tempat terjadinya peristiwa ketika sedang berlangsung kasusnya. 

Mama terlihat bingung dan meminta anting yang dimaksudkan warga. Tampaknya Mama mengenali antingnya yang hilang. Tapi Mama yakin anting itu hilang sudah beberapa hari yang lalu, bukan hari ini. 

"Ampun Bu, Ampun... Sumpah saya tidak mencurinya. Saya menemukannya dalam bungkusan sampah." Bocah itu mengiba.

"Diam kamu. Mana ada maling ngaku maling." Pria bengis yang memimpin rombongan membentaknya lalu menampar pipi bocah malang itu beberapa kali hingga ia terdiam dengan bibir berdarah.

"Sudah Pak, sudah... mungkin anting saya terjatuh waktu sedang membereskan sampah. Sudah... saya ikhlas Pak." Mama berusaha menenangkan suasana, walaupun sudah terlambat bagi bocah itu tentunya. Luka di bibirnya tak bisa ditarik kembali.

Setelah Mama berulang kali memohon akhirnya kemarahan warga mereda. Walaupun beberapa di antara mereka tetaplah manusia yang merasa paling benar dan tak punya dosa, tetap memukuli kepala bocah malang itu. Mama segera membawanya masuk ke rumah sebelum tubuhnya semakin parah dihakimi massa yang dari tadi membawa-bawa nama Tuhannya saat menghakimi si bocah. 

"Nak, kamu tinggal di mana ? Kamu sudah gak apa-apa ? Ibu antar pulang ya." Mama berusaha menenangkan bocah itu.

Aku melihatnya dari jarak dekat. Mama dan bocah pemulung itu terduduk di teras. Mama memeluknya sama seperti saat Mama memeluk aku. Biasanya aku akan marah saat melihat Mama memeluk anak lain selain aku. Tapi kali ini aku tahu, kemarahanku tak akan membuat Mama melepaskan pelukannya dari bocah itu. Mama menitikkan air matanya, dan aku tahu bocah itu lebih membutuhkan pelukan Mama sekarang ini.

Tak lama, bocah itu tak sadarkan diri. Mama sangat khawatir dan mengangkatnya ke kamar tamu. Setelah itu Mama berlari ke kamar dan mencari baju ganti dan obat-obatan seadanya. Baru sekali ini aku melihatnya begitu gugup, begitu khawatir. Padahal yang ada di hadapannya bukanlah anak kandungnya. Mama memang wanita yang luar biasa. Aku kagum padanya.

Bocah itu demam dan terus mengigau. Memohon ampun, mengatakan bahwa anting itu akan dijual untuk membeli beras. Bahwa ia sama sekali tak ada niatan jahat untuk mencuri. Aku melihat tubuhnya penuh memar waktu Mama mengganti pakaiannya tadi. Perlahan Mama mengelap tubuh kurus bocah itu. Melepaskan noda lumpur bercampur darah. Betapa kejam siksaan warga tadi padanya. Seolah bocah ini bukan manusia di mata mereka yang tadi sempat meneriakkan nama Tuhan-nya. Sinting. Menabung dosa sambil memanggil Tuhan.

Semalaman Mama menemani bocah malang itu di kamar. Subuh hari aku mendengar Mama menangis di samping ranjangku. Ia terlihat begitu kusam dan letih. 

Sesekali ia terisak "Masih begitu polos dia Tuhan, kenapa begitu cepat... Ini tak adil." 

Aku tak mengerti dan kembali tertidur ketika paginya aku mengetahui bocah malang itu telah menghembuskan nafas terakhirnya semalam. Mama pasti sedih sekali dan membayangkan bagaimana bila aku berada pada posisi bocah malang yang nyawanya direnggut pada usia begitu muda. Aku peluk Mama dengan erat, membiarkannya menangis di pundakku hingga lega.

Sore hari pun tiba, hujan seperti kemarin. Seorang ibu tua datang ke rumah untuk mengambil jasad bocah itu. Mama memberinya satu amplop yang aku yakin berisi uang. Tapi aku melihat mata merah yang sama seperti yang aku lihat menyala-nyala di rongga mata warga. Perempuan tua itu menggeram pada Mama.

"Kamu seharusnya bisa menolong anakku. Tapi apa yang kamu perbuat ? Kamu cuma melihat anakku direnggut manusia-manusia zadam itu. Aku tak sudi terima apa-apa dari kalian." Suaranya menggeram penuh dendam.


Mama menangis dan terduduk lemas. Andai perempuan itu tahu bagaimana Mama telah berusaha merawat anaknya. Tapi Mama memilih diam. Aku pun diam. Kami hanya melihat perempuan tua itu menaikkan tubuh anaknya ke dalam gerobak reyot, lalu menariknya seorang diri di tengah guyuran hujan yang makin deras. Aku melihat mata perempuan itu meredup menjadi sayu. Aku tak melihat ada kehidupan di sana.

Dan... semuanya berlalu tergilas roda waktu. Mama berusaha melupakan kejadian itu, walau aku tahu dalam hatinya selalu ada penyesalan yang menancap kuat dan berakar. Aku pun tak pernah mengungkit peristiwa kematian seorang bocah di dalam rumah kami. Mama sudah cukup terluka untuk melihat kematian seorang bocah di depan matanya. Tanpa sedikitpun ia berdaya untuk menolong bocah yang bahkan kami tidak pernah tahu siapa namanya.

1 komentar:

Anonim mengatakan...

Rumit @.@