Jumat, 18 November 2011

Pengaman

Ada yang bilang... Pelacur itu pekerjaan paling hina. Yang membingungkan, kenapa mereka banyak dipuja.


Cerita ini berlangsung di salah satu bilik kantor polisi. Tempat polisi menjalankan tugasnya, mencatat data-data tahanannya. Sore berselimut hawa yang bikin gerah, ditemani secangkir kopi murah dan kipas angin, dan tentu saja rokok dari warung sebelah. Polisi muda yang baru bekerja tak lama di kantor polisi ini sedang wawancara dengan seorang perempuan paruh baya, seorang pekerja seks komersil. Demikian tanya jawab yang berlangsung di antara keduanya.

"Nama ?"

"Suci." Jawab wanita itu dengan singkat.

"Nama lengkap Ibu ?"

"Sucilia Meilani Handayani. Tulis saja S-U-C-I seperti di KTP (Kartu Tanda Penduduk)." 

"Pekerjaan ?"

"Pelacur." (sambil mendengus, karena pertanyaan itu dianggap sangat tak perlu)

"Alamat ?"

"Ada noh, di KTP aku. Tapi kalau Mas mau cari saya mending ke rumah Mami, nanti saya kasih diskon." (sambil mengedip genit)

"Bu, Sudah berapa lama Ibu terjun di dunia prostitusi ? Memangnya Ibu tidak bisa mencari pekerjaan lain yang lebih halal ?"

"Saya (sambil menyentuh belahan dadanya dengan telunjuk) bukan terjun Mas, terseret arus. Bagi aku, pekerjaan apa aja halal selama bisa ngasi uang."

Polisi muda itu cuma bisa geleng-geleng, sambil jemarinya terus mengetik. Dalam benaknya, ada pertanyaan yang ia sendiri malu melontarkannya. Bagaimana mungkin wanita paruh baya dengan tubuh menimbun lemak di sana-sini seperti yang sedang duduk di hadapannya ini, bisa laku dipasarkan sebagai pekerja seks komersil. Separah itukah selera masyarakat kita ? Pertanyaan yang tak perlu di jawab juga nampaknya. Mungkin selama ada lubang dengan dua buah dada sudah cukup bagi mereka. Atau mungkin mereka terlalu merindukan kasih sayang seorang Ibu yang tak memberi mereka cukup ASI sewaktu kecil ? Mungkin juga karena alasan ekonomi yang membuat mereka tak sanggup membayar pelacur yang lebih seksi.

"Sebenarnya wawancara ini sekedar formalitas saja Bu, setelah ini Ibu silahkan mengikuti kelas ceramah oleh Ustad di ruang sebelah."

Wanita itu tak bergoyah dari kursinya, seakan ada yang ingin dilontarkan dari bibirnya yang meruncing setajam ujung pensil yang baru diasah. Matanya berkaca-kaca. 

"Ibu kenapa ? ada yang ingin disampaikan ?"

"Aku butuh pendengar, Mas. Kalau ada waktu buat aku bercerita, aku bakal berterima kasih banget." Wanita itu menitikkan air matanya.

Merasa kasihan, petugas itu pun meminta atasannya untuk memberi mereka waktu lebih lama agar wanita itu bisa bercerita. Keduanya duduk berhadapan di sofa, terhalang meja dengan dua cangkir kopi dan asbak untuk wadah dua batang rokok yang beradu cepat di dua bibir yang berbeda. Wanita pelacur itu pun mulai bercerita.

Suci memulai cerita perjalanan hidupnya dari usia belia. Keluarganya bisa dibilang cukup kaya. Hanya saja keluarganya tidak harmonis. Ayahnya punya istri simpanan dan Ibunya sangat temperamental dan ringan tangan. Suci terpaksa mencari kasih sayang di luar rumah dan hamil di usia muda. Pernikahan sederhana dengan sopir angkot membuat ia dibuang kedua orang tuanya. Tak jadi masalah juga karena dari dulu memang ia tak merasa punya orang tua. Yang menjadi perkara adalah kehidupan ekonominya yang tiba-tiba berubah drastis. Pernikahan mereka pun tak bahagia. Setelah melahirkan anak kedua, suaminya mati tertembak polisi karena kasus narkoba. Suci sempat bekerja di kedai kopi sebelum akhirnya terjerumus ke dunia prostitusi hingga saat ini. 

Sambil bercerita, wanita itu menangis terisak-isak hingga petugas terpaksa mendekapnya untuk memberi kekuatan. Suasana ruangan yang sepi dan degupan jantung keduanya yang seirama berlanjut ke gesekan-gesekan dari pundak hingga ke pantat. Keduanya tak lagi perduli malu atau umur. Dalam ruang sempit penuh asap dan aroma kopi murah, kini bercampur peluh dan desahan mesum yang ditahan takut terdengar. Air mata wanita itu kini berganti senyum sumringah penuh kepuasan.

Usai pergumulan singkat, keduanya segera berpakaian, takut ada petugas yang tiba-tiba mampir. Wanita itu menyeka air maskara dan make up yang luntur oleh peluh dan air mata. Petugas itu pun menyeka sisa-sisa di kelaminnya. Mereka lalu duduk dan tersenyum malu-malu seperti belia kasmaran. Pemandangan yang janggal di ruang yang salah, waktu yang salah. 

Satu tegukan untuk tetes kopi terakhir dan wanita itu pun pamit pulang. Petugas itu mengantarnya hingga ke pintu ruangan, lalu keduanya berpisah. Kedipan genit menjadi salam pisah dari si wanita. 

Segera setelah wanita itu keluar dari kantor dan terlihat tak ada pertanda bahwa dirinya akan kembali, rekan kerja petugas itu segera berbisik-bisik padanya

"Mas, kamu... habis main sama Ibu itu ?" tanya petugas yang lebih muda.

"Hush... jangan dipanggil Ibu, masih ok kok dia." jawab petugas itu sambil tersipu malu.

"Wah, gila lo mas... emangnya kamu gak tau kalau dia itu langganannya Pak Bos ?"

"Oh, biarin aja. Yang penting Bos gak tau kan. hehehe..."

Keduanya diam sejenak, petugas yang lebih muda masih memandangnya dengan muka penasaran dan mata kaku.

"Mas, yang kamu maksud Pak Bos tadi..." petugas yang lebih tua teringat sesuatu yang agak mengganggu.

"Iya mas, Pak Bos itu Pak Danu, yang kita semua tahu dia kena jengger ayam."

Seketika dunia terasa runtuh. Baru saja dirinya bercinta dengan pelacur atasannya tanpa kondom. Dan tentu saja, dunianya kini tak akan pernah sama seperti kemarin dan kemarinnya. Gosip terbaru segera beredar di kantor polisi tempat kerjanya sekarang. 
"welcome to the club" kata petugas yang lebih muda sambil tertawa kecil mengejek.


Tidak ada komentar: