Senin, 07 November 2011

Matinya Rasa...

Matinya rasa... Strawberry ? Pisang ? Aku suka sekali Banana Choco Muffin.


Waktu adalah tema yang tak pernah habis untuk dibahas setiap detiknya. Bahkan pecahan-pecahan yang lebih kecil dari detik yang begitu singkat. Sedangkan hati, selalu lupa diri. Sesungguhnya hati jika dibahas akan melebihi luasnya semesta alam. Bahkan hati yang belum setengah abad berdetak di dunia fana ini. Seperti sebuah cerita... tentang matinya rasa.
Orang bilang hati gak pernah bohong pada tuannya. Tapi itu fitnah. Hatiku selalu berbohong bahkan memendam sakit dan kecewa berlebih yang menumpuk menjadi sampah yang siap meledak kapan saja. Mungkin perasaan seperti ini yang disebut sesak di dada yang bukan gara-gara asma. Ya, sesaknya beda dengan asma, tapi sama-sama menyiksa. Sesak yang ini tak ada obatnya, dan bertahan lebih lama tersembunyi di balik dada. 

Aku selalu bilang bahwa tak akan ada asap kalau tak ada api. Tak akan ada api kalau tak ada percikan emosi. Emosi itu menimbulkan rasa, dan rasa menimbulkan masalah. Karena rasa lah kita menjadi marah. Rasa cemburu, rasa kesal, rasa kesepian dan rasa-rasa lainnya. Tak ada yang bisa menjelaskan rasa-rasa itu karena memang berbeda dengan apa yang bisa dikecap oleh indera tubuh kita. Rasa yang hanya bisa dimengerti oleh jiwa kita sendiri. Rasa yang bahkan kadang begitu sulit digambarkan lewat kata-kata. Akhirnya, rasa ini menjadi pemicu tumbuhnya sesak di dada. Lalu bagaimana caranya mengakhiri penderitaan akibat rasa sesak yang tak ada obatnya ini. Tentu saja aku harus membunuh rasa-rasa yang tak bisa dikecap itu.

Bukan belati yang bisa menipiskan rasa. Bukan juga kertas amplas untuk menghaluskannya. Jawabannya adalah dengan hati. Hati itu luar biasa. Ketika berhasil mengendalikan hati, sama dengan mengendalikan hidupmu sendiri. Bagaimana kuatnya hati yang mampu menghentikan tangisan seketika itu juga. Atau hati yang membuat seorang wanita mampu mengiris ikan hidup tanpa ampun. Hati adalah sebuah mesin luar biasa. Tapi hati yang dimaksud bukanlah organ dalam tubuh kita. Hati ini adalah sebentuk benda astral dalam tubuh kita yang seolah-olah ada di rongga dada sebelah kiri. Tapi tak dapat kita raba, tak dapat kita terawang. Tapi ia ada dan selalu di sana, mengendalikan kita. Menunggu kapan kita akan cukup kuat untuk bisa mengambil alih kendali tubuh kita. Tak lagi menjadi mesin yang digerakkan oleh hati. 

Suatu hari, sebuah rasa hinggap di dekatku, mencoba untuk masuk dalam hatiku. Saat itu hatiku sudah penuh, hingga akan meledak seketika rasa itu berhasil masuk. Aku menolaknya, tapi rasa itu tak juga menyerah. Semakin aku menolak, ia semakin mendesak. Ketika itulah aku mengambil alih hatiku agak tak lagi dijajah. Aku menikam rasa itu dengan hatiku, mencabik-cabik hingga ia menjeritkan kata ampun. Tapi aku bukan lagi manusia yang digerakkan hati. Aku lah manusia yang menguasai hati. Saat aku tak ingin memberi ampun, rasa itu tak akan mendapatkan ampun. Pelan-pelan aku menghabisinya, sama seperti Mama memotong ayam untuk memuaskan rasa lapar anak-anaknya. Sesungguhnya, setiap Ibu adalah manusia bahagia yang telah belajar mengendalikan hati seketika mereka memiliki anak. Hatinya mampu mengendalikan rasa-rasa itu demi anaknya. Sebaliknya, para Ayah tak pernah sehebat itu sehingga mampu mengalahkan hatinya sendiri.

usai dengan rasa yang mengganggu itu, aku menarik keluar parasit-parasit rasa yang menyesak di dadaku. Dan setiap kali aku menarik satu keluar, aku melihat yang lainnya berusaha kabur namun saling menginjak dan akhirnya jatuh ke dasar hatiku. Tak ada satu pun rasa itu yang mau saling mengalah. Bukti bahwa mereka memang tak pantas ada. Tempat untuk mereka adalah tempat sampah, bukan di dalam hatiku.

Waktu demi waktu berlalu. Dan hatiku menjadi begitu lapang ketika rasa-rasa tak penting itu akhirnya habis terbunuh. Memang benar kata orang, waktu bisa menyembuhkan segalanya. Tapi waktu pun tak berdaya bila kita tak ingin mengakhirinya. Bukan mengakhiri hidup, tapi mengakhiri kelemahan kita yang selalu kalah oleh hati. Kita lah pemilik hati, bukan manusia yang dikendalikan oleh hati. 

Tak perlu berlama-lama menunggu hatimu mantap untuk mengakhiri rasa-rasa itu, karena hatimu sendiri suka bohong. Percaya lah bahwa dirimu tak perlu menunggu lebih lama lagi hanya untuk mati oleh rasa.




Tidak ada komentar: