Rabu, 15 Februari 2012

My Valentine

"Rin.. gimana ? Jadi kan ?" Panggilan Ranti mengagetkanku.

"Eh, entah, Ran. Aku mungkin tak seyakin kemarin."

Tangan Ranti menyelinap dari balik punggungku, mengarahkan tanganku yang sejak tadi gemetaran, mengarah ke botol racun tikus di rak paling atas.

"Rin, ingat... ini demi kamu dan bayi yang sedang kamu kandung." Ranti berbisik tepat di samping telingaku. Bisikan lembut yang menghipnotis aku untuk segera mengambil botol itu dan tanpa ragu meletakkannya ke dalam keranjang belanja.

***

Aku Rina, wanita biasa saja. Lahir dalam keluarga biasa, tumbuh seperti anak perempuan lainnya yang juga biasa saja. Tamat kuliah, aku sempat bekerja di perusahaan biasa. Hingga suatu hari aku bertemu pria luar biasa dan menikah dengannya. Sejak itu, kehidupanku menjadi luar biasa. Tapi aku... tetaplah Rina, wanita yang biasa saja.

Pernikahanku dengan Mas Randi berjalan baik-baik saja selama dua tahun pertama. Tapi, karena belum juga mendapat momongan, Mas Randi mulai berubah tabiatnya. Apalagi hasutan dari pihak mertua membuat Mas Randi kian hari makin menjauh dariku. Kehidupan luar biasa yang kunikmati bersama suamiku seketika raib diterpa badai prahara rumah tangga. Mas Randi kini terlibat cinta terlarang dengan sekretarisnya. Aku tahu, tapi memilih diam. Hingga ketika aku mengetahui kehamilanku, aku berharap ini akan menjadi awal yang baru buat aku dan Mas Randi. Tapi aku salah. Wanita simpanan Mas Randi telah lebih dulu mengandung. 

Meski Mas Randi tak pernah mengaku secara langsung padaku, tapi aku tahu sejauh mana hatinya telah berlabuh di hati perempuan itu. Sulaman cinta yang kami rangkai telah terburai, cerai berai. Lebih tepatnya, hanya aku sendiri yang terus berusaha menambal kerusakan itu dengan kesabaranku yang tak terbatas. Semuanya berubah ketika aku mengenal Ranti. Kehadirannya begitu tiba-tiba, tapi dalam waktu singkat kami menjadi begitu dekat. Ranti mengerti keadaanku, menjadi sahabat curhatku, dan menguatkan aku dari segala sisi ketika aku membutuhkannya. Ranti sosok sahabat yang sempurna di mataku. 

***

Usai membayar di kasir, aku bergegas pulang bersama Ranti. Ranti yang menyetir dengan aku duduk di sampingnya sambil memeluk plastik belanjaan. Jantungku berdegup kencang. Kami tak saling bicara selama perjalanan pulang. Ranti yang biasanya riang pun diam dan terlihat konsentrasi dengan kemudinya. Aku menerka-nerka apa yang ada dalam benaknya. Ranti... wanita yang menjadi kekasih pengganti suamiku. Kekasih yang membuatku merasa nyaman melebihi kedekatanku dengan pasangan hidupku.

Kebisuan yang terus menjaga jarak di antara kami berdua berlangsung sepanjang perjalanan pulang. Ini jedah terpanjang yang pernah ada di antara kami. Tak biasanya kami saling diam lebih dari lima menit. Ada saja perbincangan yang mempertemukan kedua batin dan raga kami dalam gelak tawa. Seandainya saja Randi memiliki sebagian dari Ranti. Padahal nama mereka hanya beda satu karakter. Kenapa juga aku membandingkan nama keduanya sementara aku tahu beda di antara mereka terlampau jauh dibanding sebuah arti nama.

Perjalanan pulang terasa lebih, lebih, dan lebih jauh dari biasanya. Tiga kali kelipatannya. Begitu aku membuka kunci pintu, Ranti mendesak tubuhku ke dalam. Bibirku terbungkam oleh sentuhan lembut bibir Ranti. Tangannya menggenggam tanganku, merapatkan tubuhku ke dinding rumah. Detak jantungku berdegup kencang, tubuh kami seolah membeku bersama ruang dan waktu. Air mataku menitik, mengaliri pipi, turun ke dagu dan akhirnya... menitik ke dada Ranti.


***

Aku telentang dan telanjang di atas ranjang. Ranti di sebelahku sedang sibuk menyentuh telapak tanganku sambil sesekali dikecupnya dengan lembut. Ranti juga telanjang, dan tak perlu kujelaskan apa saja yang terjadi satu jam sebelum sekarang. Aku bahagia. Sentuhan Ranti mengalahkan sentuhan Mas Randi saat malam pertama. Bagiku sekarang ini Ranti adalah belahan jiwaku, belahan dadaku, dan penemu belahan diriku yang sempat hilang.

"Jadi, rencana itu masih akan berlanjut ?" Ranti berbisik lirih dari balik telapak tanganku. Matanya menerawang ke langit-langit kamar dengan tatapan kosong.

"Demi anakku, iya." , "Dan demi kamu." jawabku

Aku merasakan senyuman puas membentuk di bibirnya, lewat sentuhan telapak tangan. Tak lama aku pun terlelap sambil memeluk tubuh Ranti.

***

Mas Randi mengajakku makan malam di rumah. Sesuatu yang ajaib, apalagi ajakan kali ini dengan nada sangat lembut. Bahkan sebelum aku menjawabnya, aku sudah tahu ia menginginkan sesuatu dariku. Benar saja, Mas Randi ingin menceraikan aku dan menikahi wanita sialan yang tengah hamil tua sama sepertiku. Lebih parahnya, Mas Randi tega meminta hak asuh anak dalam kandunganku dengan iming-iming jatah gono-gini. Sejak kapan suamiku berubah menjadi binatang menjijikkan seperti ini. Rasanya makan malamku sudah tak menggugah selera. Ingin kulempar ke mukanya, sekalian kusumpal paha ayam ke mulutnya biar mati tersedak.

"Terserah Mas saja. Aku nurut." jawabku sambil memalsukan senyum.

"Baguslah kalau begitu. Terima kasih, Rin." Mas Randi tampak lega. Ia tak tahu rencana apa yang menunggunya.

Usai makan malam, Mas Randi bergegas pergi ke rumah wanita sialan itu, tak sabar mengabarkan kemenangan mereka. Tentu saja mereka tak akan pernah menang dariku. tak mengapa, biarlah mereka senang-senang dulu. Aku pun perlu menenangkan emosiku agar rencanaku bersama Ranti tak menjadi berantakan. Aku bergegas ke kamar untuk mengistirahatkan penatku sejenak. Aku melihat ke arah jendela, sebuah celah kotak yang membatasiku dari dunia di luar kamar. Aku mengamati entah berapa lama hingga akhirnya mataku terlelap. Bulan mengantar tidurku menuju mimpi indah tentang Ranti yang aku cinta. Aku tak sabar menunggu hari kemenangan kami.

***

Dua hari setelah makan malam, Mas Randi sudah berani mengajak perempuan itu ke rumah. Katanya, ia tidak akan merasa lega kalau belum benar-benar mendapat restu dariku dengan memperkenalkan aku pada perempuan sundal yang kelak akan mengasuh anakku (yang menurut mereka, aku akan membiarkan hal itu terjadi begitu saja).

Sudah kuputuskan, malam ini adalah waktu yang tepat. Malam yang tenang, sangat cocok untuk menghabisi dua insan tak tahu diri yang telah berani meminta hak asuh anakku. Ranti telah kuhubungi dan bersedia membantu aku untuk mengemas mayat Mas Randi dan wanita simpanannya setelah kuhabisi malam ini. Racun tikus sudah ditabur dan diaduk rata bersama spaghetti isi jamur dan sapi cincang. Kusamarkan dengan lada hitam. Menu favorit Mas Randi.

Detak jantungku memburu sambil mataku tak lepas dari jam dinding hadiah perkawinanku dulu. Makin dekat dengan waktu yang telah disetujui, jantungku berdetak makin pelan. Tenang. Tak lama lagi semua ini akan berakhir bahagia. Penantianku yang panjang segera usai.

Bel rumah berbunyi tiga kali. Mas Randi tiba tepat waktu. Aku bergegas merapikan gaun sederhana berbahan sutra yang kubeli bersama Ranti. Senyum manisku menjemput calon-mantan-suamiku di pintu. Senyumku bahkan bertahan ketika aku menatap wajah perempuan itu. Tak ada lagi rasa kesal, tak juga rasa marah atau cemburu. Mungkin karena hatiku tak lagi pada Mas Randi. Segera kuajak mereka masuk dan duduk di meja makan. Perempuan itu tampak canggung seolah tak percaya aku akan semanis ini mempersilahkan dia masuk ke rumah. Seharusnya insting perempuan tak semudah itu percaya. Mungkin juga rayuan Mas Randi telah mematikan alarm radar perempuan ini.

Perkenalan singkat, senyum palsu dan jedah singkat sebelum makan malam kusajikan. Seperti yang telah kuduga, Mas Randi segera mengambil spaghetti dalam porsi besar ke dalam piringnya, wajahnya merona ketika sadar aku melihat kerakusannya itu. Segera ia mengambilkan porsi yang tak kalah banyaknya ke piring calon istri barunya. Ada sedikit percikan api dalam diriku, tapi segera kusadarkan diri bahwa yang dituang ke dalam piring perempuan itu adalah racun. Seharusnya aku senang dan puas.

Keduanya makan dengan lahap. Aku menatap jijik pada bibir mereka yang terus melahap sajian terakhir mereka. Saus spaghetti menempel di bibir mereka, saus kental berwarna putih yang tidak sepenuhnya putih dengan sentuhan bintik-bintik lada hitam. Aku tiba-tiba mual melihat mereka yang sedang lahap. Tiba-tiba mereka menatapku dan bertanya dengan wajah polos, kenapa aku tidak menyentuh makan malamnya. Aku beralasan sedang mual karena kehamilanku. Mas Randi mengerti, dan tak lama kemudian mereka menyelesaikan makan malam lalu pamit pulang. Aku bertanya-tanya dalam hati. Berapa lama waktu yang dibutuhkan racun itu untuk bereaksi.

Aku naik ke kamar, menyalakan keran air hangat ke dalam bak. Aku berjalan ke depan cermin di depan ranjang. Orang bilang, pantang meletakkan cermin tepat di hadapan ranjang karena berakibat ketidak-harmonisan dalam rumah tangga. Aku percaya itu. Tak penting juga untuk mengubahnya. Kemenanganku sudah di depan mata. Aku melepas pakaianku perlahan, menikmati setiap gesekan di kulitku. Aku telanjang bulat dan berjalan masuk ke kamar mandi. Mematikan keran, lalu menyentuh permukaan air di bak dengan telunjukku. Seolah aku sedang menunjuk pantulan wajahku di permukaan air. Telunjukku menusuk masuk ke dalam permukaan air, lalu permukaan itu menelan hampir seluruh pergelanganku. Hangatnya sesuai dengan yang kuharap. Aku pun mencelupkan setengah tubuhku ke dalam bak. Lalu merendam seluruh tubuhku. Menahan nafas selama yang ku bisa, sambil memejamkan mata. Seketika itu dalam benakku muncul wajah Ranti, kekasihku. Andai ia bisa hadir semudah dan secepat aku membayangkannya.

Tiba-tiba aku teringat janji Ranti yang bersedia membantu aku mengurus mayat Mas Randi dan perempuan itu. Segera kusudahi nikmatnya berendam air hangat, mengeringkan tubuhku dan mengambil ponsel untuk menghubungi Ranti. Aku mencari-cari namanya dalam daftar kontak. Ranti... Ranti... aneh, kenapa tak ada nama itu dalam kontak nama. Aku menelusuri dari awal hingga akhir, tak juga kutemukan inisial yang menyerupai namanya. Mungkinkah aku tak sengaja menghapusnya dari daftar kontak nama di ponsel ? Tak mungkin juga, karena aku selalu berhati-hati kalau menyangkut perkara Ranti. Aku cek pesan-pesan singkat terakhir darinya, tak ada juga. Aku mulai gugup. Mungkinkah Mas Randi telah mengetahui perselingkuhanku dengan Ranti ? Celaka...

Aku tak bisa tidur, berharap Ranti akan menghubungiku. Tapi penantianku sia-sia. Tak ada yang menghubungi ponsel maupun telepon rumah. Mataku tak sanggup terpejam lebih dari sepuluh menit. Jantungku berdebar-debar. Berulang kali aku bangun dari tempat tidur, mengintip ke luar jendela berharap akan ada Ranti di bawah sana yang menunggu kehadiranku. Tapi halaman rumah terlihat kosong. Tak ada siapa pun di bawah sana. Ada apa dengan Ranti. Mungkinkah Mas Randi telah menghubungi dan melarangnya untuk mendekatiku ? Tapi Mas Randi sama sekali tak menunjukkan emosi semacam itu saat makan malam tadi, seolah ia tak tahu apa pun. Bahkan aku tak melihat setitik pun kecemburuan di matanya. Apa mungkin Ranti melupakan janjinya padaku ? Seharusnya ia muncul malam ini untuk membantu aku. Kemana kamu, Ranti. Aku lebih mengkhawatirkanmu daripada racun tikus yang belum bereaksi di tubuh Mas Randi dan perempuan itu.

Tak terasa, siang sudah menjelang seperti wanita jalang yang tak tahu kapan waktunya ia boleh datang. Belum ada juga tanda-tanda kehadiran Ranti di rumah ini. Rasa cemas ini mulai bermutasi menjadi benci. Aku menyibukkan pikiranku dengan membayangkan proses mutasi dari cemas menjadi benci, kubayangkan cemas itu berwujud kelinci putih yang cantik dengan kedua mata merahnya yang sayu. Perlahan punggung kelinci itu mulai bergetar hebat. Tiba-tiba tulang punggungnya mencuat keluar, mengucurkan darah kemana-mana. Tulang punggungnya berubah menjadi duri tajam yang disusul suara remuk di bagian kaki dan tangannya, lalu bagian kepalanya. Kelinci putih kini menjadi seonggok daging terkoyak-koyak dengan isi perut terburai dan darah segar mewarnai bulu putihnya. Aku tersadar dari lamunan mengerikan itu, berlari ke kamar mandi dan memuntahkan isi perutku. Saat aku berbalik, aku melihat Ranti. Dalam cermin.

***

Sirine ambulance berbunyi nyaring, dikemudikan dengan terburu-buru sebagaimana seharusnya dan biasanya mobil ambulance itu meluncur di jalanan. Pengemudinya seorang pemuda akhir dua puluhan. Dari rumah sakit hingga tempat menjemput korban, ia hanya melambat ketika jaraknya hanya beberapa ratus meter dari tempat kejadian perkara. Di depannya sudah ada beberapa mobil polisi. Tampaknya mobil-mobil polisi itu kosong karena manusia-manusianya berjejer rapi mengelilingi sebuah mobil sedan mewah yang tampaknya menerjang pembatas jalan hingga terperosok dan menabrak sebatang pohon perkasa. Ada dua orang. Bukan, ada tiga orang polisi yang terlihat merapikan diri di belakang teman-temannya sambil berbisik. Mungkin mempersiapkan diri untuk wawancara dengan reporter TV. Seorang polisi tampak melangkah ke pohon yang agak jauh dari mobil ringsek itu dan muntah.

Seketika ambulance berhenti, beberapa orang petugas dari rumah sakit bergegas mengeluarkan tandu dan kotak P3K. Walaupun telah dilaporkan bahwa tak ada korban selamat dalam kecelakaan itu. Tapi tak ada salahnya menaruh sedikit harap demi rasa kemanusiaan. Petugas-petugas itu bagai prajurit surgawi yang datang untuk menyelamatkan manusia. Prajurit yang bekerja dengan jiwa satria, bukan demi uang semata. Setidaknya mereka masih lebih manusiawi dibanding polisi yang asik bersolek tadi.

Korbannya sepasang manusia. Tampaknya kecelakaan terjadi sejak malam hari, dan baru ketahuan dini hari. Seorang pengendara yang kebetulan lewat melaporkan kecelakaan tersebut. Yang pria kepalanya pecah terhantam setir, wanitanya terlihat pucat dengan darah mengalir dari bibirnya yang membiru. Keracunan. Sekali lihat dan petugas itu mengenali dengan pasti tanda-tandanya. Tapi semua harus melalui proses visum sebelum dinyatakan sebagai fakta. Dalam waktu dua jam, kedua korban berhasil dievakuasi. Kondisinya mengenaskan. Polisi menemukan dompet korban dan segera meluncur ke alamat si korban pria, sedangkan polisi lainnya meluncur ke alamat korban wanita. Dijamin, tak ada satu pun dari keluarga korban yang tak akan kaget menerima kabar mengenaskan di pagi buta.

***

Aku membatin. Apa-apaan ini. Ranti berada di hadapanku, di dalam cermin. Tidak, itu bukan Ranti. Itu aku yang berwujud Ranti. Aku menggaruk-garuk wajahku dengan cemas. Ada apa ini sebenarnya. Aku ketakutan, gemetaran, dan pucat. Segera aku berlari turun. Di bawah, di ruang tamu, pembantuku sedang duduk bersama seorang polisi. Aku tak sempat menanyakan apakah wajahku telah berubah menjadi Ranti pada pembantuku. Aku melihat air mata di wajah renta perempuan tua itu. Aku teringat racun tikus. Polisi segera menyampaikan berita duka padaku. Berita kecelakaan maut yang menewaskan suamiku dan wanita keparat itu. Aku membatin, setidaknya aku tak perlu repot membuang mayat mereka berdua.

Polisi itu pamit pulang karena masih akan mengurus berkas-berkas dan kasus lainnya. Aku segera bertanya pada pembantuku itu, apakah ada yang aneh dengan wajahku. Ia mengernyitkan alis dan menggeleng-geleng pasrah. Aku diam lalu terduduk lemas. Perempuan tua itu mengira aku lemas karena memikirkan nasib suamiku. Duniaku kini ambruk meremukkan jiwa dan ragaku.




Tidak ada komentar: