Sabtu, 04 Februari 2012

Semuanya Demi Kamu . . .

Aku anak Ibuku satu-satunya. Kalau orang bilang, anak laki-laki pertama biasanya kesayangan keluarga. Tapi nasibku beda. Aku anak laki-laki pertama dari istri muda Ayah.

Umurku beda dua hari dengan kakak tiri-ku yang merupakan anak laki-laki pertama di keluarga ini. Beda dua hari ini menjadi kutukan tersendiri buatku, dan juga Ibuku. Seandainya aku lahir dua hari lebih awal, tentu Ibu akan menjadi istri kesayangan Ayah. Tak lagi dihina dan dicampakkan seperti sekarang ini. Menjadi istri muda bukanlah pilihan mudah, karena harus memakan pahitnya perlakuan sinis dari mertua ditambah kebencian istri tua. Tapi buatku yang masih kecil ini, kepahitan itu berupa tangisan Ibuku di saat malam tiba. Ketika ia menyanyikan lagu pengantar tidur buatku sambil menitikkan air mata.

Satu-satunya hiburan Ibu di rumah nan megah ini adalah taman mawar kesayangan Ibu. Letak rumah Ibu dengan istri tua Ayah bersebelahan, hanya dibatasi setengah tembok bata. Letak rumah Ibu mertua ada di sebelah rumah istri tua. Ayah termasuk suami yang cukup adil berbagi harta, rumah kedua istrinya masing-masing diberi satu taman dan satu kolam, agar tidak ada kesan pilih kasih. Tapi di zaman ini, wanita dengan status istri muda selalu merupakan siksaan tersendiri. Ibu rela menyandangnya atas dasar cinta. Ayah pun tak berlaku kejam pada Ibu, hanya pihak mertua Ibu saja yang kelakuannya tidak menyenangkan. Setiap kali Ayah berangkat berdagang ke luar kota, Nenek ku akan menghampiri rumah kami dan menyuruh Ibu belanja ke pasar, membersihkan lantai, mencuci piring kotor, dan mencuci pakaian Ibu tiriku. Padahal di rumah ini ada banyak pembantu di masing-masing rumah. Ayahku termasuk saudagar kaya raya di kota kami, tapi kelakuan Nenekku sama sekali tidak mencerminkan sifat orang terpelajar. Tak heran, wanita di zaman ini memang jarang yang berpendidikan tinggi. Ibu termasuk beruntung karena terlahir di keluarga bangsawan. Ayah dan Ibu bertemu ketika Ayah berdagang ke luar kota dan menginap di rumah seorang saudagar bangsawan kenalan Ayah. Ibu adalah putri dari bangsawan itu. Aku sendiri lupa apa nama kota asal Ibu, tapi Ibu selalu bercerita bahwa kota tersebut sangat indah, letaknya jauh dari sini, dan kehidupan di sana jauh berbeda dengan keadaan di sini. Ibu selalu bercerita bahwa ia ingin pulang ke kampung halamannya suatu saat nanti, bersama Ayah dan aku.

Di rumah megah ini, teman bermainku adalah Ibu dan kakak tiri-ku. Usia kami yang hanya beda dua hari menjadikan kami teman bermain yang seumuran. Tentunya kami bermain tanpa sepengetahuan Ibu tiri-ku. Sebenarnya tidak menjadi masalah kalau ketahuan kami bermain bersama, selama tidak ada Ibu di sampingku. Permainan pun menjadi tidak seru karena aku selalu harus mengalah pada kakakku. Makanya kami pun lebih senang bermain bersama pelayan-pelayan rumah. Kehidupan aku dan Ibuku di rumah ini berlangsung seperti ini silih berganti. Bahagia ketika Ayah ada di rumah, dan tersiksa ketika Ayah pergi berdagang ke luar kota. Suatu hari, Nenek mengusir Ibu dari rumah hanya karena Ibu tak sengaja memecahkan salah satu periuk nasi  kesayangan Nenek . Semenjak itu aku sangat membenci Nenek. Bahkan manisan pemberian Nenek tak lagi kumakan melainkan kubuang ke tempat sampah. Ibu memarahi aku karena perbuatanku itu. Tapi rasa benciku pada Nenek terlampau dalam. Tak lama kemudian Ibu tiri-ku memarahi Ibu hanya karena warna pakaian dalamnya pudar. Pakaian dalam yang seharusnya kalau ia cukup tahu malu, tak akan diperlihatkan pada Ibu, apalagi meminta Ibu untuk mencucikannya. Aku melihat kejadiannya dari balik pintu. Sepertinya Ibu tiri-ku sadar ada yang memperhatikan, sehingga ia buru-buru menyudahi caciannya di hadapan Ibu. Mungkin ia takut aku mengadu pada Ayah. Ibu selalu melarangku mengadu pada siapa pun. Akan semakin parah, kata Ibu. Kami harus bisa menerima perlakuan buruk di rumah ini, dan berusaha menikmati bahagia sebanyak-banyaknya ketika Ayah ada. 

Tiga minggu sebelum imlek, Ayah pergi berdagang ke kota sebelah dan baru akan kembali dua minggu kemudian. Aku melihat Ibu sedang menjalankan rutinitas selama Ayah pergi. Aku melihat Ibu sedang menimba air dari sumur di belakang rumah. Padahal, langit mendung dan udara terasa dingin. Saat aku mendekat, tangan ibu terlihat merah. Ibu menyuruh aku masuk ke dalam rumah agar tidak masuk angin. Aku menangis di dalam kamar, membayangkan Ibu diperlakukan seperti pembantu. Sungguh tidak adil. Aku berharap lahir lebih awal sehingga kehidupan Ibu akan menjadi lebih mudah di rumah ini. Aku terus mengintip Ibu menyelesaikan pekerjaannya dari jendela kamar. Berharap pekerjaannya cepat selesai dan Ibu bisa bergabung bersamaku dalam hangatnya kamar ini.

Tengah malam, pintu rumah digedor oleh pelayan Ibu tiri-ku. Terdengar begitu panik. Aku melihat bayangan api obor di jendela. Ibu menyuruhku kembali tidur, tapi aku mengintip dari balik pintu kamar. Saat Ibu membuka pintu rumah, pelayan Ibu tiri-ku mengatakan sesuatu yang kurang jelas, karena nafasnya terengah-engah. Sesuatu yang sangat serius sepertinya. Tak lama berselang, beberapa pelayan datang menyeret Ibu keluar rumah. Aku mengikutinya diam-diam dari belakang. Ibu diseret ke rumah Ibu tiri-ku. Aku melihat wajah Ibu begitu pucat. Sepertinya ia tidak tahu apa yang sedang terjadi, sedangkan wajah Ibu tiri-ku begitu mengerikan. Marah, dengan mata merah bengkak seperti usai mengeluarkan tetes air mata terakhirnya hingga lecet. Duduk di kanannya adalah Nenekku yang tak kalah garang. Matanya membelalak seperti mata anjing yang sedang marah dan siap menerkam siapa saja. Semua pelayan tertunduk ketakutan. Ibu gemetaran bertanya ada apa sebenarnya.

"Bu, ada apa ini ?" Bibir Ibu terlihat gemetar ketakutan. Wajahnya pucat pasi.
"Kamu benar-benar tidak tahu ? atau kamu sengaja pura-pura tidak tahu ?" Ibu tiri-ku menggeram.

"Kak, saya sungguh-sungguh tidak tahu. Ada apa ini ? Apakah A-Lung berbuat nakal ?" Ibu memelas. Mungkin ia mengira aku telah berbuat salah di rumah ini.
"Bukan. Ini bukan tentang anakmu. Ini tentang A-Hong anakku." Ibu tiri-ku kembali menggeram, tapi kali ini suaranya lebih pelan tapi dengan nada yang mengerikan.

"Kamu sungguh tidak tahu apa yang terjadi ?" Nenekku bertanya menyelidik.
"Bu, saya sungguh tidak tahu, ada apa sebenarnya ?" Ibu berkaca-kaca menahan air mata.

"A-Hong, anak kakakmu tadi sore ditemukan tenggelam di sumur belakang rumah." Nenek mengucapkannya dengan nada dingin.
Semuanya terdiam. Ibu kaget dengan mulut terbuka tanpa kata-kata. Ia tahu, hari-harinya di rumah ini telah berakhir. Walau pun ia tak merasa melakukan sesuatu yang menyebabkan nyawa kakak tiri-ku berakhir di dalam sumur. Ibu tiri-ku berdiri dari duduknya, berjalan pelan ke hadapan Ibuku, kemudian menampar pipi Ibu hingga keduanya jatuh ke lantai. Setelah itu, Ibu tiri-ku menangis histeris. Malam itu, semuanya berubah seketika.

***

Sebelas tahun berselang, kehidupan kami di rumah ini berubah total. Sejak malam kejadian meninggalnya kakak tiri-ku, aku menjadi pewaris utama di rumah ini. Nenek menjadi sangat perhatian padaku. Ibu tiri-ku menjadi tidak waras, selalu dikunci di rumah kami, sedangkan kami sekeluarga dipindahkan ke rumah utama. Ayah pun tak lagi mengunjungi Ibu tiri-ku. Sungguh kasihan melihat keadaannya sekarang, tapi mengingat apa yang dulu ia lakukan pada Ibu, aku memilih untuk memalingkan muka, menganggap ia tak pernah ada di rumah ini. Peristiwa jatuhnya A-Hong ke sumur juga sudah lama tidak diperbincangkan. Banyak pelayan rumah yang berbisik-bisik menuduh Ibu sebagai pelakunya. Sebagian dari pelayan itu telah diusir oleh Nenek ketika ketahuan olehnya. Sisanya memilih diam dan melupakan peristiwa paling memilukan di rumah ini. Saat ini umurku delapan belas tahun. Cukup besar untuk mulai belajar berdagang bersama Ayah. Bulan depan adalah pertama kalinya aku pergi berdagang ke luar kota bersama Ayah. Ibu sangat senang melihat kedekatanku dengan Ayah. Saat ini Ibu tengah mengandung anak ketiga. Adik pertamaku saat ini berumur delapan tahun. Cucu kesayangan Nenek, setelah aku tentunya. Andai kami sebahagia ini sejak awal. 

Perjalanan bisnis dengan Ayah berlangsung menyenangkan. Untuk pertama kalinya aku merasa dewasa. Ayah membawaku ke beberapa tempat hiburan, melihat wanita-wanita cantik menari dan bernyanyi. Dunia yang baru pertama kali aku masuki. Ayah tampak sangat bangga memperkenalkanku pada rekan-rekannya. Aku pun bangga bisa membuat Ayah sebahagia itu. Dalam hati, aku masih teringat Ibu. Seandainya Ibu bisa ada di sini saat ini, tentu kebahgiaan ini akan berlipat ganda rasanya. Tapi aku tahu, itu tak mungkin. Perjalanan bisnis bukanlah urusan wanita. Sekarang aku sudah dewasa, dan sudah saatnya memasuki dunia laki-laki yang jauh dari orang tua. Tentu saja, kecuali di rumah.


Pulang dari perjalanan bisnis, Ayah membangga-banggakan aku di depan Ibu dan Nenek saat sedang makan malam bersama. Kami semua begitu bahagia. Satu malam yang luar biasa dalam hidupku. Aku merasa begitu sempurna. TIba-tiba mataku tertuju pada lubang sumur yang terlihat dari jendela. Kursi tempatku duduk tepat berhadapan dengan sumur itu. Aku melihat ada anak kecil basah kuyup, tidak jelas wajahnya, berdiri di belakang sumur. Ketika aku mengedipkan mata, bayangan itu hilang seketika. Jantungku berdegup kencang, tanpa ada seorang pun yang tahu. Makan malam kami berlanjut hingga akhir tanpa ada seorang pun yang menyadari apa yang aku lihat tadi. Penglihatan yang sama berulang beberapa kali dalam satu tahun sejak pertama kali aku melihat sosok a-Hong di dekat sumur. Aku merasa takut untuk terlalu dekat dengan sumur di belakang rumah.  


Berselang dua tahun, Nenek jatuh sakit. Ayah yang sedang bertugas di luar kota telah dikabari dan akan segera pulang. Tampaknya kali ini Nenek tak akan bertahan lama. Wajahnya begitu pucat, nafasnya tersengal, dan kadang mengigau. Beberapa kali aku menjaganya di samping tempat tidur dan mendengar Nenek menyebut a-Hong. Awalnya aku mengira Nenek sedang merindukan kakak tiri-ku itu. Tapi sepertinya aku salah. Nenek-ku menangis setelah menyebut nama a-Hong.


Setelah lelah duduk seharian di kamar menjaga Nenek, aku berjalan keluar dari kamar itu. Entah kenapa aku seperti ditarik ke dekat sumur. Ya, sumur yang sama yang telah menelan kakak tiri-ku. Aku seperti mendengar suaranya. Suara kakakku. Merintih, menangis, memohon.


"a-Lung... a-Lung... tolong..."


Aku merinding mendengar suara itu. Bahkan ketika aku menutup kedua telingaku, suara a-Hong masih terdengar jelas seperti dibisikkan tepat di samping telingaku.


"a-Lung... aku butuh bantuanmu. Tanyakan Nenek kenapa... kenapa..."


Seketika itu aku melihat sekelebat gambar bergerak, sebuah adegan. Mataku terbelalak, kedua lututku lemas dan aku tersungkur ke tanah. Aku menangis sendirian di depan sumur belakang rumah.


Aku kembali ke dalam kamar Nenek dan menutup pintu. Sepertinya Nenek telah bangun. Aku melihatnya bergerak dan mengubah posisinya. Sekarang ia terduduk di ranjang. Ada bekas air mata di kantung matanya. Aku segera mengambil kursi dan duduk di samping ranjang Nenek.


"Nek, aku ingin tanya. Aku tak tahu apakah ini waktu yang tepat, tapi seseorang perlu tahu jawabannya segera. Atau ia tidak akan tenang selamanya."


Nenek menatapku dengan aneh. Tak lama, ia tertunduk dan mulai bercerita dengan suara serak dan lemah.


"A-Lung... Kau tahu, a-Hong dari dulu adalah cucu kesayanganku. Tak perlu kuberitahu pun kamu dan Ibumu sudah tahu." ia terdiam sejenak. Matanya kembali berkaca-kaca.


"Malam itu, setelah aku perintahkan Ibumu untuk mencuci, aku menyiapkan makan malam yang telah kutabur racun untuk kamu dan Ibumu. Tapi a-Hong melihatnya. Aku minta agar dia tutup mulut, tapi anak itu tak mau. Cucu kesayanganku membantah dan mengancam akan melaporkan itu ke Ayahmu. Aku tak pernah menerima kehadiran kalian di rumah ini, tapi anakku... Anakku begitu mencintai Ibumu. A-Lung, aku sungguh berdosa." Kali ini air mata tak terbendung dan Nenek menangis tersedu-sedu.


Aku mengambilkan sapu tangan di lemari Nenek dan menuangkan secangkir teh untuknya. Hatiku tertusuk pilu, tapi aku perlu tahu selengkapnya apa yang terjadi malam itu. Aku pun meminta Nenek melanjutkan ceritanya.


"Malam itu, aku terpaksa mengikat a-hong di kamar ini, memasukkannya ke bawah ranjang dan membekap mulutnya agar tidak bercerita pada siapapun. Niatku hanya ingin memberi pelajaran padanya. Tapi karena Ibunya datang mencari, aku terpaksa menghibur Ibunya, hingga aku lupa waktu. Ketika Ibunya kembali ke rumah utama, aku melihat a-Hong telah membiru. Ia mati kehabisan nafas. Sungguh, bukan niatku untuk mencelakai cucu kesayanganku sendiri. Sungguh..." Nenek terisak-isak sambil meniupkan ingusnya ke dalam sapu tangan.


"Aku membatalkan niatku meracuni kalian, karena hanya kamu penerus keluarga ini setelah a-Hong tiada. Malam itu, hatiku mati bersama dengan nafas terakhir a-Hong. Setelah makan malam, aku menyeret tubuh a-Hong dan melemparnya ke dalam sumur. Selesai menghapus jejaknya, aku memanggil pelayan dan bertanya kemana a-Hong. Tentu saja, tak ada yang tahu. Setelah mencari ke seluruh bagian rumah, a-Hong ditemukan di dalam sumur belakang rumah. Tak ada yang tahu cerita ini sampai sekarang, a-Lung. Kamu orang pertama yang mengetahuinya."


"Kenapa Nenek tega berniat meracuni aku dan Ibuku ? Apa salah kami ?" Aku tak tahan menatap wanita renta itu berlama-lama. Aku memalingkan muka dan menyeruput cangkir teh di tanganku.


"Maafkan aku a-Lung. Maafkan aku. Walaupun sudah terlambat untuk semuanya. Ketika itu aku berpikir, itu adalah jalan terbaik. Agar Ibumu dan Ibu a-Hong tak perlu saling cemburu. Keluarga ini hanya butuh satu penerus. Saat itu aku memilih a-Hong." Nenek terdiam setelah menyebut nama kakakku.


Aku terdiam, menitikkan air mata, dan bergegas meninggalkan wanita renta itu sendirian. Aku berjalan melewati sumur tempat jasad kakakku dibuang. Sekilas, dari sudut mataku aku melihat sosok anak kecil tersenyum padaku. Ketika berpaling ke arahnya, sosok itu menghilang. Tapi aku tak merasakan takut. Aku tahu, itu arwah kakakku.


Satu minggu setelahnya, Ayah pulang. Keesokan harinya Nenek menghembuskan nafas terakhir di atas tempat tidur. Wajahnya tersenyum. Tangannya seperti menggenggam sesuatu. Mungkin a-Hong datang menjemputnya. Mungkin kakakku telah memaafkan perbuatannya.


Tak lama setelah kematian Nenek, sumur di belakang rumah mengering. Setelah dikerok, kami menemukan sebuah peti kecil dan terkejut melihat isinya. Sepucuk surat dan beberapa batu pemberat. Surat itu menceritakan semuanya dengan detail. Tulisan tangan Nenek. Ia berkata bahwa semuanya itu dilakukan demi Ayah. Semua itu demi anaknya yang tunggal agar keluarga besar ini bisa harmonis, walau harus mengorbankan aku dan Ibuku. Aku tak pernah menyangka bahwa perempuan bisa berlaku sekejam itu, membenarkan perbuatan keji demi kebahagiaan. Apakah kebahagiaan harus datang dari matinya kebahagiaan lainnya ? Bagaimana mungkin kebahagiaan bisa datang dari karma buruk manusia ? Aku tak pernah menemukan jawaban pembenaran dari pertanyaanku. Nenekku telah bersalah, tapi aku tak pernah membencinya.


Ayahku merasa bahwa tragedi itu sebagian besar adalah kesalahannya. Demi membayar karma Nenek, ia memutuskan untuk menghabiskan hidupnya di vihara menjadi seorang bhiksu. Aku menjadi kepala keluarga menggantikan posisi Ayah, dan aku bersumpah bahwa aku tak akan pernah mengulang tragedi yang sama di rumah ini. Sumur di belakang rumah telah ditimbun dan di atasnya ditanam sebatang pohon bunga untuk mengenang kakakku. Kehidupan di rumah ini berlangsung seperti biasa, tak ada lagi yang membahas masa lalu. Semua begitu biasa, walau dalam hati kami tersimpan pahitnya tragedi masa lalu.

 


Tidak ada komentar: