Kamis, 29 Maret 2012

Ego : Tentang Hati

Tentang hati, aku berbicara dengan diriku sendiri dalam batin. Membahas perkara cinta yang belum juga kutemukan sejatinya. Tanpa cinta, hatiku merasa sepi dan merana. Gundah. Ketika cinta ada, aku mati-matian berusaha mempertahankannya. Hasilnya, sama saja derita bagi jiwa. Aku tak mengerti apa itu cinta hingga ketika perpisahan datang memisahkan aku dan dia.

Kisah ini dimulai di kedai kopi. Ketika aku tengah menyendiri bersama sepi yang kurangkul mesra dalam kantung baju di sebelah kiri. Tepatnya, di depan hatiku. Sementara jiwaku menggerutu betapa membosankannya hidup bersama rasa sepi, tapi aku tak berusaha menyudahinya. Aku tak berusaha mencari keramaian karena aku tahu, hidup yang paling ideal untukku adalah dengan menyendiri. Menghindari kecemasan akan terluka oleh rasa. Dikhianati oleh persahabatan ketika dusta dan amarah melanda. Aku teringat alasan kenapa dulu aku membunuh rasa. Karena aku takut mati oleh rasa itu. Aku menjadi manusia yang hidup dalam pelarian. Menyendiri walau kesepian, tapi merasa aman dan nyaman. Perlahan aku menjadi terbiasa. Terbiasa, tapi kadang gundah.

Ponselku berbunyi tiga kali sebelum aku menyadarinya. Sebuah pesan singkat mengajak berkenalan. Ponsel di tangan kiri, sedang tangan kananku mengetuk-ketukkan ujung pensil ke buku sketsa hingga membentuk setumpuk bintik hitam. 

"Datang saja, aku lagi di Starbucks Cafe Mall xxx." Balasku singkat.

Aku kembali menyibukkan diri dengan sketsa yang dibuat asal-asalan, menemani tumpukan bintik hitam yang tak sengaja kubuat dari ketukan-ketukan tadi. Headphone kembali kupasang dengan musik sendu dari Angus and Julia Stone berjudul "For You". Khayalanku berjalan lancar mengalir dari otak melewati pembuluh vena dan berakhir dalam buku sketsa. Menyenangkan sekali "sketching" (istilah yang kupakai untuk menggantikan aktifitas menterjemahkan emosi dan fantasi dalam kepalaku ke dalam bentuk sketsa di atas kertas gambar) sambil ditemani iced passion tea with raspberry. Tentu saja musik dan kesendirian ini menjadi syarat mutlak, seperti pintu tol untuk emosiku meluap keluar. 


Kira-kira dua jam kemudian, ponselku berbunyi lagi. Orang yang ingin berkenalan sudah sampai. Sedang sketsaku baru jadi sebagian. Agak malas juga untuk bertemu dengannya. Tapi tak ada salahnya, toh ini perkenalan biasa. Sekedar mengisi waktu luang. Seru juga kalau dia punya segudang cerita untuk menjadi ide tulisanku nantinya. 

Kubalas "Iya, masuk saja. Aku di dalam, pakai wig pirang dengan terusan hijau neon dan syal pink bulu-bulu."

Kujamin orang itu shock membaca balasanku. Bisa kau bayangkan duduk berdua dengan pria penampilan mencolok begitu ada di dalam mall.



"Ok" jawabnya singkat. Aku menahan tawa di kursi tempatku duduk.


Aku pikir dia akan kabur seketika mendapat pesan singkatku tadi. Tapi aku melihatnya masuk dan kebingungan mencari orang dengan wig pirang dan pakaian mengerikan itu. Aku melihatnya memesan minuman dan segera kupalingkan muka sambil cekikikan kecil. 


"Kamu di mana ?" pesan darinya mampir lagi di ponselku.


"Kursi di depanmu." balasku.


Tak lama, ia duduk walau agak ragu karena penampilanku sama sekali tak seperti gurauanku. Tampaknya ia lega setelah tahu aku hanya bercanda. Senyumnya manis, aku suka. Tapi penampilan pertama selalu menipu. Aku memilih percaya pada pengalamanku yang sudah-sudah. Perkenalan singkat yang agak canggung kemudian mencair perlahan. Kami mulai berbicara tentang segala macam hal yang tak penting dan tak menjurus ke urusan ranjang. Sangat menyenangkan. Tak seperti mereka-mereka yang mengajak berkenalan hanya untuk sex semata. Orang ini adalah teman yang menyenangkan. 


Dua jam, tiga jam, dan empat jam berlalu. Tak ada sentuhan, tak ada ciuman, tak ada rangsangan. Tak ada gairah untuk bercumbu. Semua cerita mengalir seperti emosiku yang mengalir dalam vena dan menjadi sketsa. Cerita-cerita singkat seperti ini yang aku maksud dalam jejaring sosial. Ini yang kumaksud dengan ngopi (minum kopi) bersama sambil berbagi cerita. Tapi waktu jua yang menyudahi keakraban ini. Sama seperti waktu juga yang memisahkan aku dari teman-teman lamaku. Teman-teman masa kecilku.


Dalam perjalanan pulang, aku merasa begitu lemah. Takut kehilangan rasa ini. Rasa yang tak kuinginkan kehadirannya, tapi tak juga aku sanggup membunuhnya. Hatiku menjadi lemah ketika sendirian. Aku butuh teman. Dan sekarang teman ini sedang beranjak pulang. Apakah akan ada pertemuan lagi dengannya. Tapi ini bukan tentang cinta. Ini tentang rasa yang sama sekali berbeda.


Di persimpangan jalan. Di akhir perjumpaan. Aku berjalan ke arah berlawanan. Aku berbalik dan melihatnya berbalik. Aku merasa ini bukan akhir perjumpaan. Ini hanyalah awal dari kisah yang panjang. Kurasa aku baru saja menemukan seorang teman. Aku melangkah pulang dengan senyum puas.


Tidak ada komentar: