Selasa, 20 April 2010

Inginmu

Darimu ku dapat cinta
Darimu ku dapat bahagia
Darimu ku dapat dusta
Darimu ku dapat nestapa
Darimu ku dapat semua
Darimu ku dapat akhir dunia

Tak kau ingat berapa lama jarak ruang dan waktu telah tergilas roda kehidupan, tak ada kabar darimu dan tanpa ucap berpisah. Yang pasti, aku tahu saat itu kita telah benar-benar berpisah. Benang merah yang mengikat kita telah ditarik merenggang hingga habis kemampuannya merenggang, dan terputus tanpa daya. Saat itulah cerita kita berakhir dengan titik hitam kecil sebagai tanda akhir cerita. Tapi aku bukan menyesalkan perpisahan itu. Aku menyesal kenapa tidak kurampas semua kontak yang masih kau simpan hingga terjadi jalinan komunikasi tak disengaja siang ini. Email darimu menggoda anganku untuk melirik kembali lembaran lama. Sesuatu yang tak seharusnya kulayani tanpa perlawanan. Percikan api asmara di tumpukan nista itu kembali menyala. Entah mantra apa, padahal kubaca isi email darimu hanya kata-kata biasa. Tak ada cinta di sana. Mungkin aku yang terlalu genit tak mampu membendung gelora lama di saat kita masih bersama. Aku memang orang yang sulit melupakan cinta. Sialnya, kau adalah cinta terhebat yang pernah kupunya. Sama tidak jelasnya dengan perpisahan kita, benang merah di jariku terasa membelit. Mengencang seakan ditarik mengarah pasanganku. Mungkin ini pertanda. Percintaan yang lama telah bangkit dari kuburnya.

Sore itu juga kita berjumpa di kedai kopi. Tempat pertama kita jumpa. Aku masih ingat setelan yang melekat padamu saat itu. Sama persis dengan yang kau pakai sekarang. Mungkinkah ada niat untuk membangkitkan kenangan itu, karena aku juga mengenakan setelan yang sama. Mungkin kita berdua masih menginginkannya. Mungkin juga hanya kebetulan belaka. Aku tak berharap lebih, walau jantungku berdegup kencang seperti dikejar waktu. Aku gugup. Tapi dari gelagatmu yang tenang, nampaknya aku tak perlu berharap terlalu jauh. Wajahmu dingin seperti biasa, dengan bekas cukur yang rapih. Menggelitik tanganku untuk sekedar menyentuh dagu belah itu. Mencium segarnya aroma maskulin dari parfum yang kau pakai, langsung dari tempat jatuhnya semprotan. Aku terlalu binal. Dan ini berbahaya untuk kita berdua.

Perbincangan ringan dimulai sebagai awal yang aman. Kita berdua bermain tarik ulur, sesekali aku melihat lirikan nakal dari sudut matamu. Aku yakin itu rayuan. Tapi kita berdua sama bebal. Bertahan menunggu panggilan, tak mau menjadi tersangka dalam skandal yang tengah berlangsung, yang tanpa kita sadari, telah menenggelamkan kita terlalu jauh. Tapi kita pasrah dalam pelukan gelombang, terus tenggelam menunggu kapan mencapai dasar. Jarum jam bergerak gelisah, menunggu kapan kita beranjak dari ruang kecil ini sementara gelas kopi kita telah berulang kali terisi. Kau yang tak suka kopi pun telah meneguk empat cangkir kopi kental manis. Apa mungkin kau juga tersentuh racun cinta. Aku tetap tak mau berharap terlalu banyak.

Bahasa tubuh kita semakin gundah. Godaan demi godaan ditepis dengan menyisakan sedikit sesal. Berharap dinding besi yang membatasi kita segera roboh seperti tembok Berlin. Dinding yang berdiri atas dasar kebodohan. Sesuatu yang tak seharusnya ada karena memang tak diperlukan adanya. Harga diri juga menjadi alasan kenapa kita tak saling berpeluk saja sambil menyalurkan hasrat menggebu ini lewat ciuman panas. Kebodohan kita yang masih terikat norma. Atau mungkin rasa takut bahwa pertemuan ini akan berakhir seketika kita saling bersentuhan. Aku baru sadar dari awal kita tak saling menyentuh, bahkan seujung jari pun. Seolah kenyataan ini memaksaku yakin. Kau juga takut kehilangan moment ini.

Akhirnya kuberanikan diri mengambil langkah pasti. Menyerangmu dengan pertanyaan yang seharusnya keluar saat kita berpisah. Aku mencari kepastian kenapa. Alasan munculnya jeda di cerita kita.

"Sekian lama, aku penasaran kenapa baru sekarang kamu datang. Apa kabarnya Lisa ? sudah punya anak darinya ?" Jangan kaget dengan pertanyaan ini, karena aku pun setengah sadar saat mengucapnya.

"Jim, aku dan Lisa sudah cerita lama. Hatiku masih tetap sama. Aku mau kau percaya apapun caranya."

Kulihat wajah sedih menggantung di sana. Sebuah penyesalan. Membuatku agak puas dan merasa menang, tapi tak mengobati luka menganga yang kau tinggal di jantung hatiku. Setidaknya aku tahu bahwa cintamu padaku bukan sebuah permainan semu. Cintamu nyata dan bertahan di sana sampai sekarang. Hidup dalam liang lahat yang digali kedua orang tuamu yang telah memaksamu menikahi Lisa, gadis pilihan mereka. Mereka tak memilihku karena kelamin kita sama. Andai misteri cinta terkuak jawabnya, tentu mereka tak sepicik itu menghakimi cinta hanya dari kelamin saja. Cinta mampu menembus era. Meremukkan tulang punggung norma. Hanya bagi mereka yang percaya bahwa cinta sejati itu ada, seperti kita. Maka cinta akan bertahan dalam kondisi apapun juga.

Ingin kudekap erat wajahmu ke dalam dadaku. Sama seperti dulu, saat kita masih muda dan tak tahu malu. Saat kau tanpa ragu mencium bibirku sambil menyentuh wajahku, dan berbisik betapa kau suka wangi shampo-ku. Aku rindu moment-moment yang telah berlalu. Sekarang kita duduk berseberangan tanpa daya untuk melakukan itu. Ingin kulepas ragaku sesaat hingga jiwaku mampu menyatu dengan ragamu. Biarlah kita berbagi raga berdua, asal bisa bersama. Daniel. Nama yang kukejar dalam mimpi-mimpiku.

"Kau belum jawab tentang Lisa, apa Ayah dan Ibumu sudah dapat cucu darinya ?"
Aku berusaha dingin agar tak dianggap lemah, walau sebenarnya tak perlu adanya, sama seperti dinding besi yang menjaga jarak di antara kita.

"Lisa sudah mendapat anak dariku, tapi dengan program bayi tabung. Aku tak pernah menyentuhnya. Kami bercerai setelah Amy lahir. Sekarang mereka tinggal bersama Ayah dan Ibu-ku. Aku tak cukup kuat bertahan sampai muncul penerus keluargaku. Aku menyerah dan lari dari rumah. Aku kembali untukmu, Jim."
Aku yakin mendengar walau sedikit, ada isak tangismu di sana.

"Daniel, kalau kau tak merasa cukup kuat, seharusnya kau bilang dari awal. Saat itu aku pasti menjadi peganganmu. Tapi kau membuangku saat itu, Dan. Apa aku bisa percaya kalau kau tak akan menghilang lagi seperti dulu ?"

Air mata kita mengalir tanpa suara. Hanya ada besi dingin yang terus menghalangi jalan kita. kau di sisi yang berbeda, dan aku di sisi satunya. Meratap tajam pada dinding pemisah itu, seolah tatapan kita mampu meremukkan setiap jengkalnya. Dinding itu begitu tebal menghadang. Tapi aku masih bisa mendengar degup jantungmu yang tak pernah berdusta.

Pertemuan setelah sekian lama, dan kita berpisah lagi. Kali ini dengan janji akan bertemu kembali sabtu nanti. Jam dan tempat yang sama. Aku sangat bahagia. Sungguh, aku sangat bahagia. Inilah saat yang paling kutunggu dalam hidupku. Kalau aku punya uang banyak di rekeningku, pasti sudah kusebar uang-uang itu ke jalanan sekedar melukiskan perasaanku. Tapi perpisahan ini sedikit menakutkan. Dingin yang melebihi bongkahan es tiba-tiba menusuk jantungku. Aku takut kehilanganmu. Aku berbalik mencarimu, dan aku melihat sorot matamu dari kejauhan mencari jawaban yang sama. Diam berdiri di sini menunggumu berlari ke arahku. Ya, kau berlari ke arahku. Aku diam terpaku, berharap ini bukan mimpi yang tak pernah berhenti menggoda.

Kau menarik tanganku, masuk dalam taxi. Kau menyebutkan satu alamat pada supir, dan aku bahkan tak memperhatikan. Aku hanya melihat gerak bibirmu yang menggiurkan. Mendengar detak jantungmu yang menggebu, dan nafasmu yang berkejaran. Lalu mata-mu. Mata kita bertemu sepanjang perjalanan. Tanpa sepatah kata terucap, kita berbicara dalam bahasa yang paling rumit, bahasa cinta.

Tiba di tempat, kau membayar uang lebih dari yang tertera. Kau menarik tanganku menaiki tangga menuju lobby dan terus melesat ke lift. Dalam lift pun kita masih diam. Seolah waktu berjalan begitu pelan hingga akhirnya kita tiba di apartemenmu. Kau menarikku dengan keras seolah-olah kau sedang marah. Tapi dari pancaran matamu, aku tahu kau tak sedang marah. Aku hanya diam pasrah karena aku tak merasa perlu untuk menolak apa yang telah kuharapkan. Seketika kurasakan bibirmu menempel lembut, bermain di atas bibirku. Basah dan lembut. Memaksa kedua mataku terpejam. Nafas kita memburu dan seirama. Begitu lama, seperti sedang menghisap keluar semua kerinduan yang telah lama terbekap dalam angan. Lega sekali rasanya. Tanganmu mulai melucuti satu persatu kain yang terpasang di tubuhku, dan tanganku mengikuti gerakanmu. Hingga kita kembali seperti dulu, tanpa rasa malu. Benang merah yang mengikat kita kini tersambung, membelit kita menjadi satu. Begitu eratnya ikatan itu hingga tak tersisa ruang diantara kita. Bukan lagi dua, kita telah menyatu.

Pagi datang setelah kita menguapkan sisa-sisa rindu. Tubuhku begitu ringan hampir melayang. Aku melihat kau masih terlelap, tenang seperti bayi. Wajah yang tak mungkin aku lupakan. Iseng kuambil ponselku, menangkap satu gambar telanjangmu untuk koleksiku. Sempurna. Tak salah aku memilihmu sebagai cinta pertama dan terakhir dalam duniaku. Secarik kertas berisi pesan cinta kuletakkan di atas meja, hidup memaksaku kembali ke tempat kerja. Tapi aku yakin perpisahan ini tak akan lama. Karena aku tahu kemana harus mencarimu. Kau menuntunku pulang ke dalam hatimu.

Hari ini matahari terlihat bersinar riang. Bunga-bunga di taman kota seolah menertawakanku yang begitu bahagia seperti baru pertama kali jatuh cinta. Keramaian pun terlihat agak ramah hari ini. Cinta memang luar biasa. Tapi di dunia tak ada yang abadi. Itu hukum kekal kalau masih ingin menetap di dunia. Ibu Daniel datang ke kantorku. Ia terlihat kacau. Antara marah, benci, dan sedih. Aku tahu apa yang akan disampaikannya bahkan sebelum bibirnya yang mengkerut itu terbuka.

"Jimmy, kau tahu kenapa aku datang hari ini. Daniel, anakku. Tolong kembalikan dia padaku."
Ucapan yang terdengar lahir dari didikan kelas bangsawan. Angkuh walau meminta. Terdengar mirip perintah.

"Tante, aku tak menculik anakmu. Dia datang dengan kemauannya sendiri. Kalau saja tante tidak memaksanya menikah dengan Lisa..."

"Saya datang untuk menghentikan hubungan kalian. Saya tidak butuh penjelasan apapun."
Penjelasanku dicegat dengan tegas.

"Kalau begitu, tante tak perlu luangkan waktu sia-sia duduk di sini. Karena kali ini saya tak akan mundur lagi. Tante sudah mendapat kesempatan. Tapi terbukti juga, pada akhirnya Daniel memilih saya."

Perbincangan itu selesai begitu cepat. Tapi aku yakin perempuan tua itu tak akan menyerah begitu saja. Begitu pun aku.

Malamnya aku dan Daniel makan malam bersama, di tempat kami dulu kencan hampir setiap minggu dalam satu bulan. Kulihat ia beberapa kali mematikan panggilan di ponselnya dengan ekspresi kesal. Sudah kuduga, itu panggilan dari orang rumah. Waktu yang tepat buatku memastikan akan kemana arah perjalanan kali ini. Aku tak ingin lagi berpisah di ujung jalan. Keberanian yang kupupuk sekian lama sudah saatnya dipanen. Aku memaksa Daniel memilih. Antara aku dan cintaku, atau keluarganya.

"Daniel, malam ini juga, aku mau kamu tentukan. Apakah pulang dari sini, kamu akan ada di sampingku, menunggu pagi seumur hidupmu, atau hanya sampai pagi esok dan kau akan pulang pada mereka."

"Jim, kamu tahu apa jawabnya."
Suaramu menyiratkan keyakinan yang belum pernah kudengar darimu, dan aku lega mendengar nada itu.

Malam itu, kau meninggalkan ponsel di situ. Kejutan buatku, bahkan saat keluar dari tempat makan, aku meyakinkan mataku melihat ke ponsel yang tertinggal di meja kita, dengan kerlip layarnya yang sudah pasti adalah bukti panggilan dari orang rumah. Bahkan kau meyakinkan pelayan bahwa ponsel itu memang sengaja kau buang. Malam yang penuh kejutan. Aku mendapatkanmu kembali. Dan aku yakin, kali ini tak untuk berpisah lagi.

Tidak ada komentar: