Jumat, 09 April 2010

Sesuatu di Seberang Sana


Membayangkan dunia yang begitu luas, seolah tanpa batasan. Tak tahu apa yang ada nun jauh di sana, atau apa yang ada di belakang kita. Begitu mungilnya kita dengan benda-benda raksasa yang ukurannya berjuta-juta kali lipat tubuh manusia. Tapi kita terlahir dengan keangkuhan yang luar biasa. Tak hanya tumbuhan dan hewan yang menjadi korban penindasan. Bumi pun kita hancurkan dengan mesin perusak dunia. Teknologi yang kian tak terkendali dan perlahan menarik kita mendekati kiamat. Sementara kita, pencipta yang lengah dan terseret tanpa sadar akibat buaian manis dari kekayaan duniawi. Kita masuk perangkap. Dengan segala kemewahan ini, tak ada lagi yang perduli dengan alam. Tak ada lagi yang mau tahu.

Sebuah kemunafikan mulai dirajut sedemikian rupa seolah telah tumbuh kesadaran manusia untuk melindungi tempat hidupnya. Tapi semua semata-mata demi satu tujuan. Menciptakan pengikut sebanyak mungkin untuk bersiap menjadi volunteer dalam perang besar-besaran. Golongan yang nantinya akan menjadi kubu pemenang, menjadi pemilik tunggal dunia.

Kebiadaban terselubung itu tak akan diam dalam damai. Semua yang palsu pasti terkuak sejatinya dengan sendirinya. Bahkan tanpa campur tangan manusia manapun, bangkai akan diuraikan belatung. Begitulah kebusukan manusia akan terbongkar dengan sendirinya dan terjadi saling bantai. Hingga akhirnya nanti, hanya sedikit manusia tersisa di muka bumi ini. Menjadi mangsa bangsanya sendiri, juga predator yang telah bermutasi menjadi lebih ganas dan berkuasa di atas tanah, di dalam air, dan di angkasa. Manusia kini kewalahan tanpa daya. Semua senjata telah habis digunakan untuk membantai bangsanya sendiri. Peradaban turun drastis menjadi sedia kala, saat dimana manusia tak berdaya melawan alam dengan tangannya sendiri. Saat manusia terpaksa mengulurkan tangannya memelas pada alam untuk bertahan hidup.

Penyesalan selalu datang terlambat. Tapi penyesalan selalu membuka jalan pada kebaikan. Sesuatu di seberang sana tak menutup mata atas semua yang terjadi di bumi. Manusia mendapat satu kesempatan untuk mengulang. Satu kesempatan yang tak akan datang lagi. Bahkan sengaja tak ada paksaan apapun diberikan pada manusia. Sifat dasar yang tamak dan haus kekuasaan pun dibiarkan apa adanya. Apapun yang terjadi kemudian adalah tanggungnan seluruh umat manusia yang tersisa saat itu. Antara bertahan atau binasa, tak akan ada yang membantu. Sama seperti benih dandelion yang akhirnya menemukan tanah. Manusia harus memulai semua dari awalnya.

Dulu kita menindas tumbuhan dan binatang. Kini sebaliknya, kita adalah mangsa lemah tanpa daya. Alam menjadi jahat karena dulu kita menjahatinya. Karma memang ada. Andai dulu kita tak menyepelekannya. Sekarang, menangis pun percuma.

Ya Tuhan, masih sempat juga aku mengetikkan imajinasi setara sampah ini. Cerpen kemarin saja belum selesai dikarang. Dasar kebanyakan ngayal. Lama-lama nyawaku bisa habis tersedot dalam khayalan. Hahahahahahha

Tidak ada komentar: