Kamis, 01 April 2010

Salam Untuk Benny

"Salam untuk Benny, temanku semasa kecil dulu."
Begitu kira-kira pesan terakhir yang kusampaikan di ponsel tadi. Aku sedang tugas di pedalaman setelah sebelumnya berada di beberapa kota besar. Melewati kilometer ini tak akan ada lagi kesempatan buatku menghubungi siapapun di luar daerah. Tak ada sinyal dan listrik pun jarang. Kalau bukan karena tugas, aku pun tak sudi datang ke daerah terpencil seperti ini. Maklum, aku Lisa, bukan wanita yang suka dengan eksotisnya alam pedesaan. Cuci mata di pusat belanjaan tentu lebih mengasyikkan. Tapi tugas memang tak selalu menyenangkan. Aku juga tak bisa mengelak dari kerjaan ini. Kalau saja Alex mau menggantikanku. Dasar teman bohong-bohongan. Giliran susah, aku ditinggal begitu saja. Banyak pula alasannya. Pembicaraan terakhirku tadi dengan Alex. Sebenarnya hari ini ada reuni dengan teman-teman SD, kalau saja aku tak ditugaskan ke daerah. Seharusnya aku bisa bertemu Benny, teman semasa kecilku yang beberapa bulan lalu sempat bertemu sebagai klien di kantorku. Benny yang sekarang telah dewasa. Jauh dari Benny si anak ingusan yang selalu diganggu anak-anak sekelas. Jujur aku terpikat. Kalau saja aku bisa bertemu dengannya di reuni ini. Mimpi memang menyenangkan, tapi kenyataan yang berada di depan harus terselesaikan.

Setelah perjalanan lima jam dengan kendaraan, rombongan kami harus pasrah berjalan kaki satu jam untuk mencapai lokasi. Aku bingung, kok bisa ya bos-ku memerintahkan anak buahnya yang cantik ini melakukan tugas di tempat yang sangat jauh dan tak layak untuk wanita semacam aku. Apa mungkin penolakanku beberapa bulan lalu telah melukai hatinya. Tapi tak seharusnya dia bertindak arogan seperti ini. Apalagi klien sekarang agak mencurigakan. Mana mungkin ada orang di daerah pedesaan bisa mengucurkan dana milyaran ke perusahaan. Tak masuk akal. Jangan-jangan aku dikirim ke sini untuk mejadi tumbal kanibalisme penduduk setempat. Persetan dengan pikiran gila itu. Untung aku cukup pandai dengan membawa tiga orang pengawal. Untuk jaga-jaga, siapa tahu pikiranku ternyata benar adanya. Aku membawa Andy, anak kantor juga. Bawahanku yang terpaksa ikut dalam perjalanan ini demi promosi. Ada Melisa, juga bawahanku. Melisa perempuan perkasa. Perawakannya cantik tapi sifatnya galak dan ahli bela diri. Setidaknya dia bisa menjagaku saat mandi dan tidur nanti. Lalu ada Robert, orang yang katanya sudah pernah bertemu dengan klien kami. Jadi Robert adalah petunjuk arah.

Setelah perjalanan yang sangat melelahkan, kami tiba di lokasi. Mengagumkan. Walau terletak di dataran tinggi dengan listrik terbatas dan tanpa sinyal ponsel, ternyata desa ini sangat canggih dan bersih. Jauh dari bayanganku. Ada mata air tepat di tengah-tengah desa, dengan sistem pengairan yang modern. Ada pembangkit listrik dari tenaga air. Seru juga nampaknya. Kalau saja aku tak melihat adegan pembantaian binatang buruan secara langsung. Aku benci hal-hal yang berbau darah dan kekerasan. Tapi di sini, hal seperti itu sudah biasa. Babi hutan hasil buruan dipenggal tanpa belas kasihan. Perutnya dibelah hingga isinya terburai ke tanah. Setelah itu dibersihkan dalam air yang mengalir. Sekejap, darah babi itu terbawa aliran air ke bawah gunung. Semoga saja orang-orang di bawah sana tak sedang sial dan meminum air bercampur darah itu. Dalam benakku terbayang adegan di televisi saat tim petualang tengah asyik minum air sungai yang nampaknya bersih tapi ternyata mengandung darah dan kotoran seperti yang kulihat saat ini. Mengerikan.

Setelah keliling desa yang luasnya tak seberapa (kalau saja rumah penduduk tak saling berjauhan), akhirnya aku dibawa ke tempat klien. Kaget juga, klienku ternyata seorang wanita. Usianya masih muda, sekitar tiga puluhan. Cantik dan seksi. Bukan darah campuran tapi kulitnya bersih. Tak kusangka wanita seperti ini rela hidup di pedalaman yang jauh dari tempat hiburan mewah. Orangnya sangat ramah. Kami langsung diajak masuk ke rumah saat datang. Setelah duduk dan hidangan teh hangat disajikan barulah kami mulai kenalan. Nila namanya. Dulu tinggal di kota kami, lalu tugas beberapa tahun di luar negeri. Setelah itu memutuskan untuk tinggal di pedalaman untuk mempelajari alam dan mengembangkan sumber daya yang ada di sini. Sebelum membahas dana milyaran itu, aku diberi kesempatan untuk mendengarkan riwayat hidupnya secara singkat. Awalnya perempuan yang minta dipanggil Ella tanpa embel-embel Bu atau Nyonya atau apapun ini datang ke desa untuk sekedar menenangkan diri. Dulu kondisi desa ini jauh dari apa yang terlihat sekarang. Tapi Ella berhasil mengubahnya dengan ilmu yang dibawanya dari kota. Lalu mulailah otak bisnisnya berjalan. Desa ini menghasilkan daging babi untuk dijual ke kota, dengan harga yang pantas. Distribusinya pun tak main-main, menggunakan pesawat angkut. Pelanggannya adalah restoran-restoran terkemuka di beberapa kota bahkan ada beberapa restoran luar negara yang membeli darinya. Selain itu juga ada kerajinan tangan penduduk yang disulapnya menjadi barang mewah bernilai jual tinggi. Tapi Ella tak merusak masyarakat di desa ini dengan teknologi yang dianggapnya tak penting. Justru Ella lari kesini untuk menjauh dari kehidupan kota yang dianggapnya sampah. Hidup yang seperti di sini inilah yang menurutnya pantas untuk dibanggakan. Ella mengatur kebutuhan masyarakat di sini. Semua uang yang dihasilkannya adalah untuk penduduk. Tapi bukan dengan cara memberikan langsung uang itu melainkan dikelola untuk kebutuhan dasar mereka. Pantas saja orang-orang di desa ini terlihat bersih dan sehat. Ella memang wanita yang luar biasa.

Selesai mendengarkan riwayat hidupnya, kami dipersilakan menginap di rumah sederhana yang telah disediakan untuk kami. Letaknya tak jauh dari rumah klien untuk memudahkan komunikasi kapan saja dibutuhkan. Aku dan Melisa tinggal satu kamar, Robert dan Andy satu kamar. Bentuk rumah di desa ini cukup nyaman ditinggali. Lantai yang seharusnya tanah telah ditutupi dengan anyaman bambu. Saat aku memeriksanya, ternyata ada tiga lapisan, mirip roti isi. Lapisan pertama adalah tikar anyaman bambu, lalu tengahnya diisi dengan rumput kering setebal satu senti, baru diatasnya kembali ditutup dengan anyaman bambu. Dengan begini tikar tak akan lembab saat hujan. Pasti ini ide dari Ella. Kamar mandi pun nyaman, lengkap dengan toilet dan shower tanpa batas. maksudnya adalah shower dari air yang terus mengalir. Begitu juga dengan jamban, dibawah jamban adalah air yang mengalir sehingga kotoran akan langsung terbawa keluar rumah. Entah mengalir kemana, yang jelas jauh dari kota dan sumber air minum. Memasuki rumah baru kami, aku bergegas mandi, ingin merasakan segarnya air dari mata air pegunungan langsung. Melisa dan yang lainnya terpaksa menunggu sambil bersiaga.

Setelah kami semua selesai mandi, makan malam pun telah disediakan. Tak kalah dengan makanan di kota, dan disajikan di atas piring tanah liat. Unik sekali. Menakjubkan, apa yang tersembunyi di kejauhan kota. Kurasa aku bisa tertular kegilaan Ella untuk tinggal di tempat ini. Tapi aku belum segila itu. Masih ada Benny yang terngiang di benakku. Entah sedang apa dia sekarang. Kurasa aku lebih gila daripada Ella. Bagaimana mungkin wanita sepertiku bisa percaya cinta pada pandangan pertama. Bukan pertama sebenarnya, karena aku mengenal Benny sejak sekolah dasar.

Selesai makam malam, kami diajak jalan ke atas sedikit. Disana ada rawa tempat berjuta kunang-kunang sedang asik bersinar. Aku suka kunang-kunang, tapi sayang di kota tak ada lagi makhluk cantik ini. Aku duduk bersantai di sana melihat jutaan kunang-kunang terbang kesana-kemari mengitari kami. Kurasa aku tak anti hidup bersebelahan dengan alam. Tapi aku tetap merindukan Louis Vuiton dan Prada. Sebentar lagi aku bisa terhimpit di antara dua dunia. Untungnya rasa kantuk ini menyelamatkanku. Segera kami bergegas pulang.
"Selamat tinggal kunang-kunang..." bisikku seperti anak kecil.

Paginya urusan bisnis mulai dilancarkan. Tugasku adalah meyakinkan Ella untuk mengucurkan dana dalam proyek yang sedang kami kerjakan. Proyek yang berhubungan dengan alam juga, sebagian darinya adalah pembangunan taman kota lengkap dengan air mancurnya. Kota kami sudah terlalu panas tanpa pepohonan. Kami ingin membangun sebuah lokasi perkantoran yang dekat dengan alam. nantinya akan ada taman megah di tengah-tengahnya dan warga sekitar bisa mengakses taman itu. Tapi dana yang dibutuhkan sangat besar. Ella ini adalah salah satu dari investor yang tampaknya berminat. Aku pun sudah siap dengan senjata-senjataku. Berbagai lembaran kertas berisi sketsa lokasi dan angka-angka. Tapi lagi-lagi seranganku harus ditunda demi sarapan langka. Seekor babi hutan utuh dipanggang sempurna. Ada juga ayam hutan dan telur setengah matang. Perutku tak tahan godaan. Kami menikmati sarapan dengan lahap. Setelah itu lanjut dengan jalan-jalan sebentar, barulah kami duduk santai di teras sambil minum teh hangat. Ella nampaknya berminat dengan konsep yang kami berikan. Tapi dia minta waktu beberapa hari lagi untuk berpikir. Sedangkan kami, tak akan pulang sebelum tanda tangan itu dibubuhkan.

Hari berikutnya setelah rapat kemarin, aku masuk ke hutan melalui jalan setapak. Bersama Melisa aku ingin menyegarkan otak dengan sedikit menerawang hijaunya hutan. Ella dari pagi sudah sibuk dengan kegiatannya bersama masyarakat setempat. Sedang kedua anggota rombonganku sedang asik berburu bersama kawan baru mereka. Hanya Melisa yang bisa kuajak jalan-jalan. Cukup dia seorang untuk mengawalku di hutan. Sambil bercanda dan membahas kerjaan sekedarnya, kami masuk terus ke dalam hutan. Tanpa memikirkan kemungkinan apa yang muncul di depan sana atau mungkin tiba-tiba muncul monster dari balik semak. Khayalanku yang mengerikan satu per satu menembus otak, tapi aku merasa sedikit tenang karena temanku Melisa jago bela diri. Kalau ada apa-apa, she's my heroine. Walau harus menjaga wibawaku sebagai atasan, aku tetap tak bisa menyembunyikan kekagumanku padanya. Melisa perempuan yang sangat mandiri. Cantik dan pemberani. Kalau saja aku bisa memiliki sifatnya itu. Aku bukan perempuan yang sanggup menjaga diri sendiri. Karena itulah aku butuh mereka bertiga dalam perjalanan ini.

Seru juga ngobrol dengan Melisa, orangnya enak diajak bicara. Ternyata dibalik kekuatannya, Melisa tetap adalah perempuan apa adanya. Kami membahas beberapa hal mengenai asmara masing-masing serta tipe lelaki macam apa yang kami idamkan. Sampai kami membahas Benny, orang yang hampir saja kulupakan karena tugasku di sini. Atau mungkin karena rasa kagumku pada bumi tempatku berpijak saat ini. Benny, entah sedang apa dia sekarang. Kalau saja sinyal ponsel berfungsi di sini, tentu aku tengah asik berbincang dengannya. Tak tahu juga, aku takut gambaranku tentang dirinya menjadi terlalu indah akibat racun cinta. Bisa saja Benny yang sebenarnya jauh lebih diam dan sifatnya mungkin saja tak sesuai denganku. Tapi aku tak bisa melupakan wajahnya sejak pertama kali melihatnya. Tentu saja bukan wajah Benny saat kecil dulu. Wajahnya sekarang benar-benar sesuai dengan kriteria yang kumau.

Merasa cukup jauh berjalan, aku dan Melisa memutuskan untuk berputar arah untuk kembali ke pemukiman. Saat itulah kami baru sadar, sekitar sepuluh meter di belakang kami ada induk babi hutan yang sedang mengawal anak-anaknya. Bukan pertanda bagus karena matanya menatap tajam pada kami. Melisa pun terlihat agak cemas, dan ini membuatku bertambah yakin bahwa kami berada dalam situasi yang tidak baik. Melisa berada di depan melindungiku dengan tubuhnya sambil terlihat berpikir. Nampaknya ia ingin segera lepas dari kondisi tidak nyaman ini. Celakanya, induk babi hutan itu nampak bersiap untuk menyerang. Saat itulah aku ketakutan dan berteriak sambil lari ke arah berlawanan. Aku memang pengecut, bahkan Melisa pun kutinggal di belakang. Nampaknya ia agak terkejut mendengar teriakanku dan berusaha menghentikan aku. Tapi terlambat, aku lari sekencang mungkin. Induk babi hutan itu mulai berlari. Saat aku melihat ke belakang, Melisa nampaknya berhasil melompat tepat ketika induk babi hutan itu menyerang. Melisa selamat dan terlindung di batang pohon besar. Sedangkan induk babi hutan itu terus melesat ke depan, ke arahku.

Aku terus lari tanpa melihat ke belakang. Tapi aku yakin, babi hutan itu tak lama lagi akan mendapatkanku. Harapanku hanya pada Melisa, semoga dia sempat menangkap babi hutan itu dari belakang atau sekalian membunuhnya. Yang penting aku bisa selamat. Tapi ternyata tidak. Melisa nampaknya kalah cepat dengan babi hutan itu. Saat aku mendengar deru kaki induk babi itu makin dekat, tiba-tiba dari sebelah kiri muncul seseorang yang menarik tanganku untuk berlari lebih cepat. Aku terkejut tapi mengikutinya. Tetesan keringat memaksa mataku berkedip dan sulit melihat jelas. Saat aku berhasil mengusap mataku, barulah aku sadar, kami berlari ke arah jurang. Entah apa yang ada di pikiran orang ini. Jangan-jangan dia memilih mati daripada diserang babi hutan. Tapi tidak denganku. Aku berusaha menghentikannya tapi tak bisa. Aku terseret bersamanya, sama-sama melompat dari jurang itu menuju ke bawah. Ternyata di bawah jurang adalah air terjun.

Sepintas masih bisa kubayangkan adegan film kartun yang dulu tenar, tentang Pocahontas yang salah satu adegannya sama denganku sekarang. Terjun bebas ke dalam kumpulan air di bawah air terjun. Mataku terpejam erat ketakutan. Tapi tangan orang ini tak sedikitpun melepasku. Bahkan ketika aku merasakan air telah menelanku ke dalam, tangan itu masih erat menggenggam tanganku. Lalu aku merasa diriku telah ditarik ke daratan. Aku masih terlalu takut untuk membuka mata, berpikir mungkinkah aku telah mendarat di surga. Pikiranku berlarian kemana-mana sampai aku merasakan bibir lembut seseorang menyentuh bibirku. Nafas buatan. Mataku kupaksa membuka dan aku melihat siapa orang yang telah menyelamatkan hidupku. Ella.

Malam pun tiba, dan kami memanggang babi kurang ajar tadi di atas api unggun. Aku duduk sambil menunggu matangnya. Saat itu juga Ella menghampiriku. Aku tak bisa menyembuyikan semu merah di pipiku yang kurasa seperti terbakar matahari. Malu sekali membayangkan adegan ciuman dekat air terjun tadi siang. Andai pelakunya adalah seorang pria, rasa malu ini bisa kuredam. Tapi aku belum pernah berciuman dengan sesama wanita. Memikirkannya saja aku malas. Ella duduk di sebelahku dan bertanya dengan ramah, bagaimana keadaanku. Ella sangat ramah. Kalau dia adalah mama, pasti aku sudah dihajar habis-habisan karena nekat main ke dalam hutan yang tak kukenal. Ella hanya menasehatiku untuk membawa penduduk lokal kalau aku mau masuk ke hutan. Untung saja tadi Ella mendengar teriakanku dan bergegas menolong. Kalau tidak, mungkin aku yang menjadi mangsa babi hutan itu.

Kondisiku sekarang baik-baik saja, bahkan bisa dibilang sehat dan segar bugar. Tapi Melisa nampaknya terlalu khawatir denganku dan Andy nampak terlalu cari perhatian, memaksaku untuk memeriksakan kondisiku setelah jatuh dari air terjun kemarin. Untuk meredam ocehan mereka, aku pun pasrah dibawa ke kota terdekat untuk menjalani medical check-up. Ella tak mengantarku, karena kehadirannya dibutuhkan di desa. Alasan lain kenapa aku rela dibawa paksa adalah demi beberapa baris sinyal ponsel, agar aku bisa menghubungi Benny.

***
"Ben, ini aku Lisa. Cuma tinggalkan salam aja. Gimana acara reuninya ?" aku meninggalkan pesan suara untuk Benny yang tak mengangkat ponselnya saat kuhubungi. Agak kecewa, tapi tak apa. Toh aku juga bukan kekasihnya.

"Mel, mungkin aku perlu pulang dulu. Boleh tolong kamu sampaikan ke Ella kalau aku akan kembali ke desa sekitar satu minggu lagi ?" aku tak tahan lagi berlama-lama jauh dari Jakarta, jauh dari kesempatan mendekati Benny.

"Ok Bos, tapi ingat ya hanya satu minggu." Melisa mengingatkanku.

"Dan kamu Andy, tolong urus semua yang ada di sini sebelum aku kembali." Aku melihat gelagat Andy yang sepertinya ingin mengikuti aku ke Jakarta.

Setelah medical check-up, kami bermalam di kota karena jaraknya cukup jauh dari desa. Esoknya aku akan langsung melesat ke Jakarta. Sedangkan Melisa dan Andy harus pulang ke desa. Kasihan juga sebenarnya, tapi begitulah nasib anak buah.

***
"Lis, dari kemarin malam aku coba telepon kok gak bisa ? Hubungi aku kalau kamu terima pesan ini. Thanks. ini gua, Benny." Pesan dari Benny yang baru kudengar setibanya di Jakarta. Tentu saja pesannya segera kujawab dengan hati berbunga-bunga.

Setelah mandi dan melempar pakaian kotor ke wadahnya, aku memanjakan diri di ranjang empuk dan segera mencari nomor Benny di ponsel. Tak berselang lama suara pria itu menjawab panggilan hatiku. Percakapan singkat yang berujung janjian makan malam. Aku senang, karena setidaknya hubungan ini punya harapan.

Makan malam yang mewah, tapi lebih indah berkat hadirnya lelaki pujaanku sekarang. Aku merasa yakin memang dia yang kuinginkan. Berharap lelaki dihadapanku juga merasa yang sama. Percakapan kami lancar-lancar saja, seperti sudah ditentukan dari sananya. Skenario yang nyaris sempurna dari drama televisi ternama. Disempurnakan dengan keberanian Benny mengajakku berdansa. Malam ini aku bahagia, merasa telah sempurna sebagai wanita. Aku yakin malam ini diriku lah yang paling bersinar di sini. Tepat tengah malam, kami pulang dan Benny melamarku.

Terlalu cepat mimpi ini menjadi nyata. Aku memintanya menunggu sampai aku menyelesaikan misiku di pedalaman. Setelah itu baru aku memberi jawaban. Satu keputusan yang sulit kuambil malam ini karena aku sangat menginginkannya. Aku tak berani memikirkan kemungkinan dirinya telah diambil wanita lain ketika aku pulang dari misi. Tapi aku meyakinkan perasaanku padanya dengan memberinya satu ciuman di bibir. Benny tersenyum puas, sepertinya seluruh perasaanku mengalir dalam tubuhnya lewat ciuman itu. Ia tak protes dengan keputusanku, dan kami pun pulang.

Satu minggu berlalu begitu cepat. Aku dan Benny berhasil menggunakan waktu yang singkat itu dengan pengaturan bijak. Tak ada sedikitpun kami sia-siakan. Kami semakin dekat satu sama lain. Tapi keputusanku sudah bulat. Lamaran Benny baru akan kuterima setelah pulang dari misi di pedalaman.

***
Kembali ke desa tempat Ella berada sama sekali tak sulit bagiku kali ini, mungkin karena aku membawa kenangan-kenangan manis selama satu minggu bersama Benny ke dalam perjalanku yang melelahkan. Sesekali aku tersipu sendiri mengingat kelakuanku yang nekat mencium Benny. Bukankah seharusnya Benny yang menciumku. Murahan sekali aku. Seperti bukan Lisa yang biasanya. Robert yang menjemputku sampai geleng-geleng kepala melihat tingkahku yang entah tersipu untuk keberapa kalinya. Mungkin dia kira aku sudah gila.

Sipu-sipu malu itu tak bertahan lama kiranya. Ella betah berlama-lama menahanku di desa. Aku mencium gelagat aneh darinya. Beberapa kemungkinan bermunculan di benakku. Apakah mungkin sebenarnya Ella dari awal tak berniat menjadi bagian dari perusahaan tempatku bekerja. Mungkin saja justru ia sedang menggalang dana untuk projeknya di desa ini. Mungkin juga ia hanya butuh media promosi yang bersedia mengumbar pada dunia mengenai keberadaan tempat ini. Salah satu ide paling gila dalam benakku adalah mengenai sentuhan bibir Ella saat memberiku nafas buatan di bawah air terjun. Pikiran tolol itu membuatku merinding sendiri. Sialnya, aku masih wanita normal yang sedang diburu nafsu ingin segera kawin dengan Benny-ku. Sebaik apa pun Ella, tak ada ruang di hatiku untuknya. Tapi mengingat saat itu, wajahku membara. Aku sadar tanpa harus mengaca karena panasnya berasa.

Ella memanggilku dari rumahnya, aku pun bergegas ke sana. Mungkin saja ini adalah akhir dari penantian panjang, sebuah tanda tangan yang akan dibubuhkan di atas kertas bermaterai. Atau mungkin obrolan panjang lebar yang mulai membuatku jengah.



---------------------------Sabar menungu

Tidak ada komentar: