Sabtu, 27 Maret 2010

Orbit

Asik memperhatikan bintang, tiba-tiba aku terhisap ke dalam imajinasi tak ku kenal. Aku adalah pecahan bintang yang tengah beredar. Mencari lintasan yang tepat untukku bersandar. Dalam perjalanan aku bertemu benda langit lainnya. Aku bertemu pesawat ruang angkasa dan teman-teman alien aneka rupa. Sempat juga aku bicara dengan mereka. Ternyata ruang hampa ini begitu sarat benda-benda tak punya nyawa tapi ingin bicara. Buktinya aku lama bicara dengan mereka satu per satu. Ada pecahan bintang lainnya yang bercerita bagaimana ia tercecer dari supernova, induk yang melahirkannya ke dunia. Kasihan temanku ini, yang begitu kesepian hingga lupa berapa lama ia bertualang di angkasa sendirian. Tapi pelan-pelan ia mulai terbiasa. Aku berharap tak akan melayang terlalu lama sampai aku menemukan lintasanku. Lalu ada mayat astronot yang terlempar dari kapalnya. Cuma berbentuk tengkorak kering dalam baju tugasnya. Ceritanya menyedihkan sekali, dia adalah pilot dari Amerika. Setiap saat ia merindukan kekasihnya di bumi, tempat tinggalnya yang sekarang seperti surga. Jauh dari jangkauannya. Pasti sedih sekali sendirian di ruang angkasa. Bahkan jiwanya pun meninggalkannya di sini. Aku masih bersyukur jasadku tertinggal di bumi, bisa kupakai kembali setelah petualangan ini selesai. Setelah mayat astronot itu, aku bertemu alien dari planet antahberantah. Temanku si alien ini sedang mencari hunian baru. Planetnya sekarang dan hampir menjadi supernova. Tak mungkin lagi ditinggali dengan alasan apapun. Jadi ingat zaman penjajahan dulu, saat manusia saling berebut tempat tinggal dengan kekerasan. Bedanya, Alien ini diusir oleh planetnya sendiri. Aku melihat ada istri dan anak-anaknya di dalam kapal. Ternyata alien lebih bersahabat dari yang kita kira selama ini. Sayangnya aku lupa memberitahunya bahwa masih ada planet bernama bumi yang mau menerima makhluk sebaik mereka. Tak tahu juga, jangan-jangan mereka malah celaka dijahili manusia. Lebih baik mereka pergi kemana nasib membawanya. Dan aku masih terus melesat tak jelas arahnya. Di sini semua serba gelap dengan bintik-bintik terang yang kita sebut bintang. Tak ada sumber cahaya apapun selain itu di sekitarku. Seluruh sudut terlihat seperti langit malam, dan aku melayang tepat di tengah-tengahnya, terus melesat kedepan. Aku jadi memikirkan kecoak-kecoak di kamarku. Kawanan yang lama menjadi temanku bermain. Saat mereka muncul aku akan berusaha menangkap lalu melempar mereka keluar. Kejam memang, tapi aku tahu mereka menikmatinya. Buktinya, mereka tak pernah berhenti bermain denganku.

Di depan sana ada bongkahan bulat yang semakin mendekat. Lebih tepatnya akulah yang mendekat. Kukira planet ini adalah lintasan tempatku beredar. Ternyata bukan. Aku hanya diijinkan lewat menyapa makhluk-makhluk di dalamnya. Aku melihat ada laut indah seperti di bumi, lengkap dengan makhluk seperti ikan di planet kita. Warnanya lebih cerah, tapi bentuknya kurang indah. Mungkin mataku saja yang terbiasa dengan makhluk di sekitar kita. Bisa jadi makhluk-makhluk di planet itu ngeri saat berkunjung ke bumi. Kita lah yang dianggap aneh oleh mereka. Saat kita mempelajari lebih dekat, baru kita sadar bahwa ada cara berpikir lain diluar kebiasaan kita. Apa yang kita anggap aneh mungkin saja berpikiran sama dengan kita. Dengan keadaanku sekarang aku bahkan bisa mendengar kicauan makhluk cantik di dalam hutan planet itu. Alangkah indahnya. Aku suka berada dalam imajinasi ini. Aku merasa dekat sekali dengan alam. Sesuatu yang tak mungkin kudapat dari jasad manusiaku.

Sedih juga saat aku melesat semakin jauh dari planet itu. Planet bisu yang enggan bicara denganku. Setelah planet itu tak nampak lagi, aku mulai mendengar gemerincing indah dari kejauhan. Suara kerlap bintang yang dari tadi tak kudengar jelas. Mirip dengan bunyi giring-giring yang kugantung bersama kunci kamar. Tapi suara bintang jauh lebih indah. Seperti dentingan kaca. Aku hampir terlelap dibuatnya. Tiba-tiba ada sebutir kerikil entah dari mana menabrak dan mengubah arahku. Kerikil sialan, tapi aku tak bisa marah, kerikil itu tak punya mata. Atau mungkin dia sama denganku yang sedang menumpang imajinasi seseorang tanpa diundang. Entah, Alam punya terlalu banyak rahasia untuk dipelajari semua. Atau mungkin sebagian lebih baik dibiarkan tetap rahasia.

Semakin jauh aku melesat dan aku semakin dekat dengan planet yang kukenal. Aku segera pulang, pikirku. Awalnya aku senang, tapi perlahan ketakutan. Aku memasuki tubuh bumi dan aku sendiri menyala dalam api. Sakit sekali rasanya sampai aku menjerit. Seperti waktu aku kecil, jatuh di jalanan beraspal dan kulitku sobek terkelupas. Tapi bedanya, rasa sakitku sekarang bagai terseret terus-terusan di atas jalanan aspal itu, tanpa henti. Perih tapi tak bisa kuhentikan. Mataku hampir terpejam dibuatnya, lalu aku semakin dekat ke daratan. Ya Tuhan, aku akan menabrak jasadku yang sedang duduk termenung di depan meja dekat jendela. Aku berteriak menyadarkan jasadku tapi tak didengar, sampai akhirnya semua terlambat. Jasadku melihat padaku dengan dengan mata sembab seperti habis menangis. Lalu aku terbangun dari imajinasi ini dengan air mata menetes bercampur keringat. Sadar dari imajinasiku, aku segera melihat keluar jendela. Ternyata tak ada pecahan bintang yang akan menabrakku. Aku segera masuk ke dalam kamar dan meringkuk ketakutan, hingga akhirnya aku tak sadar dalam lelap.

Belum lama rasanya aku tidur dengan tenang, seluruh penghuni rumah terbangun dan berisik teriak histeris. Aku pun terpaksa bangun melihat keluar. Baru beberapa langkah dari pintu kamar sudah tercium bau hangus. Kukira kebakaran. ternyata tidak. Ada asteroid jatuh menembus jendela dan menembus meja tempatku tadi duduk, tembus sampai ke lantai bawah. Alih-alih takut aku justru mengintip ke bawah. Asteroid itu masih berbentuk. Mirip dengan asteroid dalam imajinasiku. Tapi badannya sudah tinggal setengah besarnya semula. Pasti ia sangat menderita oleh gesekan atmosfir bumi. Kasihan sekali dia harus merasakannya. Aku tadi menjadi dia, dan sekarang aku tahu apa yang dirasakannya. Saat semua orang sibuk telepon sana-sini, aku bergegas turun dan menyelamatkan pecahan asteroid yang malang itu. Dengan selimut yang kuambil dari kamar, kubalut batu angkasa itu dan membawanya kabur dengan sepeda motorku. Semakin jauh dari orang rumah yang pastinya mengira aku gila. Tapi aku terus melaju cepat membawa kawanku ini. Sampai akhirnya aku tiba di dekat pantai. Batu itu kuletakkan dekat tempatku bersandar duduk. Aku bicara padanya, menjelaskan imajinasiku tadi sebelum kedatangannya. Aku tahu ia mendengar. Setelah selesai bercerita, aku membawanya berjalan di jembatan yang ujungnya berada agak jauh ke tengah laut. Aku mengucapkan selamat tinggal dan melemparnya ke dalam laut. Kawanku akan lebih aman di sana, daripada menjadi korban kebiadaban manusia yang ingin tahu segalanya.

Pulang dari pantai, orang rumah terus bertanya kemana asteroid itu kubawa. Kujual, kataku berbohong. Mereka pun protes minta bagi jatah. Begitulah manusia, tak ada yang mau mengerti perasaan sekitarnya. Kalau saja mereka tahu bahwa benda mati pun ingin dimengerti. Kalau saja manusia lebih perhatian pada sekelilingnya. Asteroid yang kesepian itu, semoga saja bisa berkawan dengan alam barunya.

Melanjutkan tidur dan aku bertemu kawanku di dasar laut. Ia tak lagi kesepian. Sekarang ia berkawan dengan batu karang dan ikan-ikan. Aku ikut senang untuknya. Kami bercerita cukup lama sebelum akhirnya berpisah. Mungkin kami tak akan bertemu lagi, tapi aku memberi alamat mimpiku untuknya berkunjung kapanpun ia mau. Asteroid itu tak berhasil menemukan lintasan barunya, tapi ia berhasil lepas dari kesepian. Setidaknya ia tak harus sendirian seperti di angkasa luar.

Tidak ada komentar: