Kamis, 31 Desember 2009

Indah Itu Datang Dari Hal Yang Terlalu Biasa

Pagi yang tenang menghampiri hampir tanpa suara. Tak perlu kokok ayam untuk membangunkanku di penghujung tahun 2009. Mimpi semalam tak membekas barang sejejak di otakku. Yang terbayang hanya langit pagi seperti apa akan mengisi hari. Udara sejuk mengawali perkenalanku dengan hari. Awan menggarisi langit yang nampak makin elok dari hari ke hari. Indah... Tak pernah luput mataku dari subuh di depan jendela. Menikmati perubahan warna langit, udara pagi yang masih perawan, hingga gerak-gerik manusia pagi. Aku bukan manusia pagi. Aku hanya manusia yang senang mengamati pagi, sebelum kembali ke ruang hampa. Bergumul dengan selimut dekil atau sekedar guling sana guling sini (diatas kasur yang lebarnya tak melebihi satu kali gulingan tubuhku).

Ah... tak berasa kemarin sudah berlalu. Aku iri mengetahui bahwa ada mereka yang sempat menuliskan kisah hidupnya dalam diary. Sementara aku yang terlalu banyak waktu malah tak punya keseriusan macam itu. Andai aku terlahir dengan disiplin sealot ban bajaj di seberang kos, tentu sudah terkumpul begitu tebalnya cerita untuk kulempar ke meja redaksi. Aku manusia dengan banyak ide tapi terlalu sedikit minat untuk menuangkannya ke meja hidang. Andai ada yang bisa mendengar ku menjerit minta tolong supaya malasku dicerna. Biar keluar bersama sisa-sisa di jamban nanti.

Merenggang sejenak tubuh kaku ini, bersama kaos bekas senior di keluarga, yang kuambil tanpa sepengetahuan empunya. Kurasa dia pun lupa pernah jadi empunya kaos yang ngepas di raga (Kalaupun sadar, sudah terlambat lama. Kaos ini sudah berpindah tangan). Celana ini pun colongan. Hah... kasihan sekali diriku ini, cuma celana dalam yang memang
punyaku aslinya.

Asik mengamati pagi, kutengoklah manusia pagi pertama yang hadir mengisi pagi. Simbok di gang sempit, mungkin bini dari tukang bajaj. Aku bukan orang yang menilai manusia dari jumlah emas di leher mereka (toh kalaupun emasnya imitasi pun aku tak perduli). Aku menilai orang dari tingkah laku. hari ini simbok lagi gendong cucunya. Rutinitas pagi dari mertua yang sudah renta, mengayomi cucunya yang terlalu banyak sampai-sampai menantunya tak cukup tenaga untuk menternakkannya. Entah kenapa mereka begitu suka anak. Padahal sampai detik ini pun aku tak punya seupil minat untuk beranak (maksudnya menikah dan punya anak). Bukan berarti aku tak suka anak-anak (Miss u Freya, ponakanku cayank).

Usil juga mataku melirik cucu yang terkulai lemas di pelukan simbok yang sudah mulai peyot. Jadi teringat waktu kecil dulu, aku suka sekali digendong mama. Bahkan sampai umur tiga tahun pun aku masih suka merengek minta digendong, terutama waktu malam-malam bersama mama pergi ke tetangga. Digendong sambil asik dengar mereka bergosip.


Tak lama dalam angan gak guna, muncul bapaknya si anak, tukang bajaj yang setiap pulang kerja berlumur entah apa dimukanya. Oli mungkin atau debu yang saking tebalnya mampu bersaing dengan bedak di muka bininya. Kalau pagi sih mukanya masih bersih (maksudnya bebas dari materi hitam legam) dan segar. Walau hidup mereka serba pas-pasan, rasanya mereka cukup bahagia. Terlihat dari ekspresi mereka pagi ini. Simboknya senang walau musti gendong si cucu (yang terlihat cukup berat untuk porsi tubuh mini simbok), belum lagi bapak nya si anak juga senyum-senyum sambil bergurau dengan anaknya. Di belakang si bapak, ada anak-anak lainnya yang tak beda jauh umurnya dari yang digendong simbok. Pusinglah kalau anakku sebanyak itu. Bisa-bisa aku memilih kabur daripada menghadapi berisiknya anak-anak dimasa pertumbuhan seperti itu.

Di satu sisi aku iri. Suasana harmonis yang nampak di keluarga ini, melemparku ke masa lalu. Saat keluarga kami masih tinggal di sumatra, Keluarga yang pas-pasan. Tapi aku merasa bahagia (tanpa memperhitungkan
repotnya papa mama mengurus kami yang terlalu aktif). Mirip dengan keluarga ini kurasa. Aku ingat sekali kenakalanku tempo dulu. Rasanya baru kemarin saja kejadiannya. Betapa nakalnya sampai mama sering mengoleskan cabai giling dimataku setiap aku meraung-raung tanpa alasan. manja. Dulu aku sangat ingin diperhatikan. Sering aku menangis hanya untuk diperhatikan, sementara mama begitu banyak kegiatan. Mengurus sarapan dan segala urusan rumah tangga. Mama adalah orang tua yang hebat. Aku ingin memiliki pasangan hidup (kalau tak menikah ya setidaknya punya seorang pembantu) yang seperti mama.

Senyum mesum pagi ini. Banyak orang bilang senyumku agak-agak mesum. Padahal tak ada sekilaspun hal-hal mesum sedang melintasi otakku. Ah, ternyata hidup ini indah. Indah kalau kita mau meneliti setiap det
ailnya dengan seksama. Tentunya melihat yang indah itu bukan dengan hati yang penuh sesak. Kita butuh waktu luang, lepas dari segala masalah. Tinggalkan sejenak masalah-masalah itu di kamar. Titipkan diatas bantal. Toh masalah itu tak akan kabur kemana-mana (seolah masalah itu barang berharga. Hahahaa).

Langit pagi ini indah. Manusia pagi ini juga indah. Senyumku indah. Nafasku indah. Semuanya indah. Kuharap bisa berbagi keindahan pagi ini dengan semua manusia. Kuharap semua manusia punya kesempatan melihat detail indah seperti ini dalam hidupnya. Manusia-manusia pagi yang hidup dari pendaran mentari. manusia-manusia pagi yang mengisi rongga dadanya dengan udara pagi. Mereka yang bahagia walau nampaknya susah. Mereka yang memberiku pelajaran betapa materi tak menjadi kendala untuk bisa tersenyum lebar. Bukankah itu indah ? Padahal tak ada yang luar biasa.



Kamis, 17 Desember 2009

Pergi

Hatimu tak lagi utuh
Sekerat cintamu direnggut dariku
Dan kau seakan pasrah atas penjajahan itu
Diam mu membunuh perasaanku
Lebih baik aku pergi
Biarkan jasadmu mengabdi pada kompeni
Orang yang kini kau sebut kekasih
Manusia yang telah merebut cintamu dariku

Pilu

Mana mungkin hati ini bercerita
Saat semua berhenti seketika
Trauma ini membuatnya luka
Tuli dari suara-suara


Bukankah hati yang tak lagi mendengar
Maka ia tak lagi mencinta

Memori

Lipatan memori yang tersimpan begitu dalam
Mencari celah untuk satu kesempatan berkisah
Setidaknya
Cinta itu terbukti ada

Asa

Secarik kertas yang lama kusimpan, aman terselip di bawah tumpuk pakaian.
Kubuka lagi kertas lusuh berisi sejuta memori. Samar bayang-bayang itu
kembali terpanggil.

Sabtu yang kelam saat itu, kau datang sambil berlari di bawah gerimis. Sedang
aku tengah asik berlabuh dalam angan, mendengar musik sambil menghirup kopi
hangat di bawah pohon. Kopi pekat dengan sedikit gula. Hari terakhir dalam
hidupku dimana aku masih bisa menikmati hujan. Kau datang dan pelangi ku
bersinar dalam angan. Ya, kau bagian terpenting dari kepingan yang hilang.
Aku bertahan hidup karenamu.

"Sorry, gua telat." sapamu yang khas.
Tak lagi aku heran, kau tak pernah tepat waktu.
"Sudah biasa... Yuk ?" balasku.
"Hmm..."
jeda itu membuatku bingung. Tak biasanya kau menunda waktu. Kau orang
yang takut ketahuan sedang pacaran. Seperti artis-artis papan atas.

Sepucuk surat pun kau keluarkan. Setengah basah, entah karena keringatmu,

atau curahan hujan yang menimpamu. Aku makin bingung. Kau bukan tipikal
manusia romantis yang doyan bicara cinta lewat surat dan barisan puisi.
Kugenggam surat itu tanpa bicara, menunggu kau siap menyiratkan sebuah
arti. Kau pun membaca tanya di mataku. Tapi kau menghindar, dan berharap
aku tak sadar. Aku pun tetap diam.

Tak lama berselang kau pun pamit ingin pulang, bahkan sebelum rindu ini
kulepas. Tak biasanya rindumu kalah oleh sesuatu. Aku ragu. Sesuatu apa
yang sanggup membuatmu berpaling dariku. Atau mungkin aku yang semakin
redup. Sekarang kelam ini mengurungku. Rintik hujan semakin deras dan mulai
menusuk. Musik di telingaku pun jadi hambar.

Kuputuskan berjalan pulang. Aku butuh sedikit oksigen untuk mengisi

kekosongan ini. Kencan kita batal tanpa alasan. Atau setidaknya alasan itu
kau simpan sendiri untuk satu alasan lainnya. Tak lama berjalan lamunanku
terganggu bising suara kendaraan umum. Berisik. Tak bisakah aku bernafas lega
di alam pikiranku sejenak. Saat ingin tenang, dunia menjadi begitu gila
berisiknya. Atau mungkin perasaanku yang berubah manja, ingin semua berlaku
seperti yang kumau. Musik pun berbunyi makin nyaring di gendang telingaku.
Setidaknya bising yang ini membuatku lebih nyaman. Membantuku menahan
bendungan air mata. Aku tak sedih, hanya merasa tak dihargai. Rindu ini
mencekik leherku, membuatku susah menelan ludah. Lebih tepatnya, tangis
yang tertahan membuatku tak senang.

Ada pesan masuk di kantong celanaku. Handphone yang bergetar membuatku
makin kesal. Entah siapa berani mengganggu kekesalan ini. Minta mati kiranya
kalau tak penting. Kubuka pesan bertajuk namamu. Sebuah permintaan maaf
mungkin.

"Maaf.." sudah kuduga kata pertama ini.

"Kurasa kita putus saja." kalimat yang ini tak ada dalam bayangku.
"Aku harus pergi." yang ini alasan kelas teri.
Kututup handphone kesayanganku, bendungan ini akhirnya runtuh membanjiri
kerah baju.

Untung gerimis masih betah berlama-lama di bumi. Setidaknya

tangisku tak membuat malu. Apa kata orang kalau mereka tahu ada remaja
laki menangis di tengah jalan. Untung juga jalan ini sepi orang berjalan. Hanya
kendaraan umum yang tak bosan berlalu lalang menawarkan jasa angkutnya.
Aku bisa berbalik dan puaskan menangis. Tapi tidak. Aku tak butuh. Tangisan
ini boleh diakhiri sekarang juga, karena kau bukan orang pertama.

Tak sadar aku sudah di depan rumah. Suratmu masih aman tersimpan dalam

kantung celana. Niatnya kubuang tadi di jalan, sialnya aku tak ingat ada
suratmu di sana. Belum sempat aku mengingat, mama memanggilku dari dalam
rumah. Sudah terlalu lama aku berada di luar. Langit pun mulai gelap, dan
ternyata gerimis menyudahi tangisannya. Begitu pun aku yang harus
mengeringkan sisa air mataku. Berharap mama tak melihat. Dan nasib suratmu,
berakhir di bawah tumpuk pakaian dalam lemari.

Tanganku sempat terdiam menyentuh tekstur kertas di bawah tumpuk
pakaian. Seperti ada getaran yang melarangku.
"Jangan..."
Bisikan itu kuabaikan. Sudah terlalu banyak trauma dan sakit yang
berkesudahan. Kalaupun ini pertanda rasa sakit berikutnya, aku tak takut
untuk merasakannya.

Setelah kilas balik itu, aku mulai mengamati kertas yang kini agak menguning.
Tiga tahun telah berlalu, dan umur tak pernah bohong. Kertas putih itu kini
menguning. Benda mati pun tak luput dari binasa oleh waktu. Aku mengharap
memori tentangmu juga begitu. Tapi sulit menjadi nyata, karena setiap
gerimis menyapa, kau pun muncul dibaliknya. Hingga aku puas membayangkan
wajahmu dibawah gerimis, hingga detail ketika kau membalikkan tubuhmu dan
pergi meninggalkanku. Hari dimana kau telah membunuh sebagianku.

Kertas kuning itu terlipat, sisi kanan bawah terlipat ke tengah, begitu juga
sisi kanan atas, sehingga membentuk sebuah sudut di sebelah kanan mirip atap
rumah. Kubuka pelan seakan kertas itu akan menjadi abu bila aku salah
langkah. Alangkah pelitnya dirimu, hampir kosong satu halaman kertas itu.

Kuterawang lagi setiap sudutnya berharap ada kata-kata tersembunyi.
Hanya ada kata "aku" di sudut kiri dekat lipatan atas, dan "kamu" di
sudut kanan dekat lipatan bawah. Sebuah kalimat terletak persis di
persimpangan lipatan. "Kita bertemu di persimpangan ini, untuk berpisah
kemudian." Aku tak tahu apa maksudmu. Sungguh aku tak tahu. Atau mungkin
aku berharap tak tahu. Air mataku menitik tepat diatas kalimat itu.
Kebisuanku membuka kembali luka yang dalam. Luka yang kukira telah terobati
saat menertawakan kematianmu dua tahun lalu. Kebodohanku yang mengira
kau akan meninggalkanku tanpa alasan. Bukan alasan itu yang seharusnya
kupertanyakan, tapi menghargai keberanianmu menemuiku untuk
mengantarkan perpisahan ini. Kau pergi tanpa menyisakan cinta dihatiku. Kau
telah tuntaskan kewajibanmu. Saat aku menertawakan kematianmu, kuharap
kau tak sedang disampingku. Aku sangat malu menemuimu di akhirat nanti.


Persimpangan itu memisahkan kita sementara waktu. Andai aku berbalik dan
mencarimu, kita masih bisa bersama untuk semua sisa waktu. Maafkan aku...
Maafkan aku yang terlalu bisu. Asa ini kusimpan sambil menunggu waktu, saat
nanti kita bertemu.

Sabtu, 07 November 2009

Di Penghujung

Saat hidup menyeret kita menuju jalan yang bahkan kita tak kenal. Tak tahu kemana ujungnya. Apakah kepalan tangan kita akan sanggup menghentikan langkah. Ketidakberdayaan, pasrah membiarkan nasib menyayat kulit kehidupan. Hingga ketika langkah ini sampai di penghujung jalan, dimana air mata kita tak lagi bersisa. Kering kerontang kita habiskan untuk menangis diperjalanan. Bahkan tak bersisa untuk tangis bahagia, ataupun tangis histeris karena takut yang mendalam. Tak lagi ada. Kita terlanjur menjadi boneka tanpa jiwa tanpa rasa. Jasad yang digerakkan mesin roda nasib.

Tak Sama

Hari yang biasa, seperti sebelumnya.
Segumpal asa menghampiri lewat jendela.
Samar wangi rerumputan, suara gemericik air riak gembira.
Penantian terus memaksaku gila.
Seolah tak akan berhenti siksaan ini sebelum aku gila.
Bukankah penantian ini telah usai riwayatnya.
Kenapa ia tetap lagak berkuasa.
Sementara pedih ini tak lagi mampu bersuara.



Aku bahagia, tapi bahagiaku tak akan sama.

Minggu, 04 Oktober 2009

Diary

Halo Diary kecil
Hari ini aku datang padamu
Memang aku bukan teman baik bagimu
Aku datang bila perlu
Tapi kau harus mengerti
Padat waktuku lebih penting dari goresan tanganku
Maklum saja bila kita jarang bersentuhan
Walau kusayang, kau bukan nomor satu di hidupku
Dan kau pun tahu
Kau hanyalah Diary kecilku
Wajib bagimu untuk pasrah setiap ku meraba
Menyentuh setiap halaman tubuhmu
Menggoresnya dengan pena
Berbagi rasa sakit denganmu
Walau kau belum tentu mau
Diary kecilku
Aku tak sempat menulis banyak sekali ini
Waktu memburuku tanpa perduli
Hatiku tergilas hampir mati
Tapi sebelum aku hangus menjadi abu
Kusempatkan mengajakmu
Diary kecilku
Jadilah pendampingku
Saat aku jatuh dalam kubangan api
Terbakarlah disampingku
Ceritakan kembali semua kisahku
Di akhirat nanti


"Diary kecil terbakar dalam pelukku, hangatnya melindungiku dari panas api di sekelilingku.

Diary terbakar bersamaku."

Rabu, 23 September 2009

Dendam

Demi pedih yang kurasa
Saat menunggumu
Dan kebohongan
Yang kau jadikan hadiah
Disaat perpisahan tiba
Aku pantas membencimu
Sampai mati pun
Aku membencimu

Rabu, 16 September 2009

Hug

Pagi ini terbangun bersimbah keringat. Puanas tenan... baru kemarin dengar di radio tentang matahari yang tengah mendekati khatulistiwa. Jadi kita yang di Indonesia udah pasti kena imbasnya. AC di kamar serasa gak berfungsi (atau emang udah saatnya dibersihin). Bangun jam 3 dan gak bisa tidur lagi sampai sekarang, pukul 06.06 sedang asyik menulis beberapa kalimat penghalau penat. Siapa tau cape ketik2 masih sempat tidur satu jam sebelum mata dipaksa melek, siap-siap mau ke kantor buat kerja praktek.

Keseharian memang membosankan. Tak ada alasan untuk tidak mengulang. Berapa kali aku katakan juga tetap percuma. Lagi dan lagi semua terus berlari mengejar dan menerjang waktu mencari entah apa yang akan terjadi di kemudian hari. Bedanya, aku bukan orang yang akan terus berlari walau nafas tersengal. Aku lebih menikmati hidupku dengan cara sendiri. Memandang lalat seharian pun kujabani, selama pemandangan itu kuanggap pantas dimengerti. Seperti orang gila karena aku beda dengan mereka yang menatap. Tapi aku bangga karena bisa menikmati hidup. Bukan seperti mereka yang terus berlari mengejar waktu.

Jeleknya adalah aku terus diingatkan bahwa waktu adalah uang dan uang adalah tiket untuk bertahan hidup. Waktu untuk menikmati hidup pun disunat sampai tinggal sejengkal. Apa ini masih bisa disebut hidup ?

Andai aku lahir di zaman purba saat manusia hanya perlu mengisi perut dengan buah, tinggal petik saja. Lalu menikmati hidup dengan mempelajari alam. Memandangi apel jatuh ala Newton, Tapi zaman sudah berubah. Manusia semakin susah cari makan. Harus relakan sebagian besar waktu untuk mencari uang. Tentu... tanpa itu manusia gak bisa hidup senang. Mau jadi manusia purba sama dengan menjadi gembel jalanan. Menjadi seniman gak harus gembel. Tapi manusia yang mau hidup di dunia maya, mungkin harus merelakan kehidupan di dunia nyata.

Tulisan tak penting ini dibuat bukan untuk alasan apa. Tertulis jelas di depan sana, Blog ini berisi suara hati empunya. Kadang nyaring terdengar, kadang juga gemerisik seperti radio rusak. Paham atau tidak tergantung bagaimana kalian menyusunnya. Puzzle kata-kata yang sebenarnya cukup mudah dimengerti, asal kalian tidak berpikir dengan logika matematis. Apalagi kalau diterjemahkan dengan bahasa program. Jelas berbeda... :)

Aku butuh pelukan. Pelukan hangat untuk hati yang muram. Aku bosan di pinggir jalan, memandang ke depan hanya manusia berjalan tanpa tujuan. Mukanya juga suram-muram. Aku tak mendengar detak jantung mereka. Semua seperti mesin pembunuh yang berburu uang.


Kamis, 10 September 2009

Tembang Para Wanita

Sebulat tekad hati ingin memiliki
Satu cinta yang benar-benar nyata
Tak lagi dipermainkan oleh nasib
Terlahir sebagai wanita
Selalu teraniaya

Disakiti aku tak mampu melawan
Dikhianati aku pun tak berdaya
Nasib terlahir sebagai wanita
Terlalu mudah diperdaya
Tapi ku terima

Bilangan kalender usang dekat jendela
Terus berganti seiring hari
Lewati masa sedihku sendiri
Berdendang melodi sepi gambaran diri
Tembang para wanita yang disakiti

Dan hati ini kadang terlalu pedih
Tak lagi takut hidup diakhiri
Tegar aku berdiri sendiri
Di ujung karang melawan badai emosi
Yakin menunggu datangnya pelangi

Walau ku tak tahu kapan yang pasti

Bilangan kalender usang dekat jendela
Terus berganti seiring hari
Lewati masa sedihku sendiri
Berdendang melodi sepi ciptaan sendiri
Tembang para wanita yang disakiti

Bilangan kalender usang dekat jendela
Masih berganti tanpa permisi
Melintasi orbit mimpi yang sunyi
Diiringi melodi sepi gambaran diri
Tentang wanita yang disakiti

Berdendang melodi sepi ciptaan sendiri
Tembang para wanita yang tersakiti







Kamis, 16 Juli 2009

Jalang

Sebelah mataku buram
Memandangmu tak lagi sejelas dahulu
Bercak di leher kukira bekas jerawat
Jejak lipstik pun terlewat dari awasku

Ku diam kau boleh senang
Pergi pun aku tak melarang
Ku biar kau bersenang-senang
Dengan pelacur sepanjang jalan

Tapi tunggu sampai kau puas
Baru ku sampaikan
Bahwa kita tak lagi berdua
Kau sudah bukan yang kucinta

Kau diam aku pun tenang
Kemasi barang dan siap pulang
Kau kesal aku tetap jalan
Dengan cerita baru yang lapang

Tanpamu kekasihku yang jalang
Tanpa koleksi pelacurmu yang garang
Karena aku tak butuh cerita bohongmu
Kau bilang cinta pun percuma

Ku diam kau boleh senang
Pergi pun aku tak melarang
Ku biar kau bersenang-senang
Dengan pelacur sepanjang jalan

Tapi tunggu sampai kau puas
Baru ku sampaikan
Bahwa kita tak lagi berdua
Kau sudah bukan yang kucinta

Kembali saja kau bersama yang jalang
Kembali kemana kau mestinya berkawan

Senin, 13 Juli 2009

Listen to me now

Kita bersama cukup lama
Walau kutahu kau sudah lupa
Tepatnya kapan kita jumpa
Kau kekasihku dan aku suka
Kuterima apa yang kau minta
Dan kita pun terus bersama
Hingga kau berbagi cinta


Dear listen to me now
I'm ready to say it now
I'm no more your little bitch
Not a slave in your cheap motel
I'm ready to kick your ass

Dan kini kau bersamanya
Berbagi malam telanjang berdua
Tapi tak mengapa
Hatiku tak lagi luka
Kini kutemukan dirinya
Yang jauh lebih baik dan berharga

Dear... kau dengar aku sekarang
Ku bukan pelacurmu lagi
Bukan pelacurmu lagi dear
Karena kini ku bahagia

Dear listen to me now
I'm ready to say it now
I'm no more your little bitch
Not a slave in your cheap bed
I'm ready to kick your ass

Malam ini kami pergi berpesta
Pulangnya ke hotel mewah
Tak seperti kau bajingan hina
Bercinta di motel murah

Dear kau dengar aku sekarang
Kaulah pelacur hina
Yang pernah kuajak bercinta
Dear kau pelacur hina
Yang tak lagi kucinta. . .

Sabtu, 11 Juli 2009

Hati dan Pasangannya

Apa yang dilakukan hati tanpa belahannya
hanya bisa menunggu kapan berjumpa
berpura-pura gembira dalam kesepian
kadang tertawa walau sesungguhnya ia gundah

Apa yang dilakukan belahan hatinya
mungkin sedang mencari cara pulang
atau terjebak rayuan sepanjang jalan
mungkin juga sudah milik hati lainnya

Apa yang dilakukan hati yang bersama
mensyukuri perjumpaan mereka
menikmati waktu bersama-sama
saling melengkapi kekurangannya

Sia Sia

Kebenaran yang diucap
Akan mati bila tak dianggap
Kering dan pecah jadi debu
Hilang bersama pahitnya sesal

Kasihan lagi hati yang bilang
Kejujuran terkuras percuma
Kini ia hampa teraniaya
Kosong mulai pudar

Mati

Hari ini mendung
Langit gelap menutup terang
Hujan pun rintik menerjang
Seakan tahu hari ini ku datang
Mengunjungi tanah makammu yang masih baru
Cinta...
Kau mati dengan indahnya

Ku tahu kau tak setia
Dan aku pun tak melarangmu mendua
Hanya kuminta pada maut saja
Cabut nyawamu secepatnya
Oh cinta...
Kau mati dengan indahnya

Tak ku sangka doa ku menjadi nyata
Kini kau bukan miliknya
Dan aku lebih rela
Kau dimakan cacing tanah

Hari ini mendung
Langit gelap menutup terang
Hujan pun rintik menerjang
Seakan tahu hari ini ku datang
Mengunjungi tanah makammu yang masih baru
Cinta...
Kau mati dengan indahnya
Kurela kau dimakan cacing tanah
Oh cinta...
Kau mati dengan indahnya....
Kurela kau dimakan cacing tanah

Jumat, 26 Juni 2009

Ingatkan Aku

Apalah arti hidup, mungkin itu yang sekarang ada dibenakku. Hidup itu gila... Kalau aku boleh teriakkan di telinga Tuhan, yang mungkin sekarang mataNya tengah mengintip ketikanku subuh ini. Ketikan yang membawa-bawa namaNya, berkoar-koar tentang perihnya rencana Tuhan. Untuk "dia" yang menderita, kupersembahkan surat cinta. Hiburan sebelum kau meregang nyawa. Kau bukan satu-satunya di dunia yang menderita, dan penderitaanmu bukan yang paling menyiksa. Tapi ku tetap ikut berduka. Untuk nasib yang tampak tak adil untukmu jelita. Kurasa kau pun tahu karma itu ada. Anggaplah ini pembalasan untuk perbuatanmu dimasa lalu. Aku tahu sekarang kau tersiksa. Tak lama lagi kau bebas mau kemana suka. Jangan bawa lagi beban dunia, dendam pun kau tinggal saja. Terbanglah bebas ke angkasa sana, tembuslah cakrawala. Tembus dinding-dinding norma yang mengikatmu sepanjang hayat. Sekarang kau burung yang bebas. Tak usah lagi tengok ke belakang, dunia ini tak lagi membutuhkanmu. Jasamu sudah selesai dipakai. Untuk menelurkan generasi baru, untuk melanjutkan karma dunia. Kau boleh kembali padaNya yang menungggu disana. Tolong titip salam dariku, tanyakan kapan Dia membawaku. Saat itu tiba, aku mau kau yang datang menjemputku. Ingatkan aku akan tulisanku ini, jangan takut akan mati.

Hati, Pikiran, Kaki

Dimana mimpiku bermain
Dekat aliran sungai cinta
Arusnya terlalu bahaya
Hatiku bisa celaka

Bagaimana aku harus melangkah
Menghindari maut di muka
Pikiranku kacau tak tentu arah
Jasadku terseret bersamanya

Kemana aku hendak berlari
Tanpa satu tujuan pasti
Tapi bukan menuju siapa
Bukan sebentuk wajah untuk bersua

Hatiku tak lagi mengikut logika
Pikiranku sibuk dengan dunianya
Kakiku menuntun tanpa nahkoda
Diriku sebatang kara di Sahara

Rabu, 24 Juni 2009

Ajari Aku

Aku bangga belajar padamu
Mengenal hampir semua yang kau tahu
Tentang manusia dan sesamanya
Tentang binatang dan sebangsanya
Tentang tumbuhan dan sejenisnya
Tentang dunia dan teknologinya
Sungguh menarik belajar itu semua
Tapi kau tak sempat mengajariku
Bagaimana mengerti dirimu dan perasaanmu
Hingga saat kau pergi dan aku kehilanganmu
Hatiku perih sesak, jantungku berdegup resah
Air mataku berjatuhan tak tahu kenapa

Ku Tanya

Kalau kutanya padamu sekarang
Apakah cinta masih kau rasa
Setelah pengkhianatan yang kau beri
Cintaku yang telah kau bagi
Apakah kau masih menyisakan untukku cinta itu
Atau sudah habis terbagi-bagi

Kalau kutanya padamu sekarang
Apa kamu teringat padaku saat mencumbunya
Ingat saat kita di kamar berdua
Saling meraba dan bertukar cinta

Kalau kutanya padamu sekarang
Apa masih kau inginkan aku
Sebelum kuakhiri kisah kita
Sebelum kubungkam mulutmu dalam tanah

Tak perlu kau jawab juga tak apa
Bawa saja bersamamu ke neraka
Aku tahu kau akan jawab apa

"Aku bukan Tuhan yang pantas mengukur karma atas perbuatanmu, tapi aku manusia yang punya rasa. Dan aku menginginkan keadilan bagi rasa yang telah kau renggut dariku. Aku menguburmu , seperti kau mengubur cintaku, tanpa belas kasihan."

Senin, 22 Juni 2009

Hati

Jauh di seberang sana aku yakin kau melihat semuanya. Tapi kau memilih diam seribu bahasa. Dari balik istana tempat ragamu bersinggah, entah nuranimu masih ada ataukah sudah tak ada. Apa suara kami tak terdengar sampai kesana. Letusan gunung pun kalah, gelegar petir tersaingi. Apa benar kau tak mendengar. Mungkin kau mencoba tuli hingga kau tak perlu tahu apa yang kami jeritkan. Kami bagian darimu. Bagianmu yang kau buang jauh dari istana megah tempatmu bersinggah. Kami suara-suara dari hatimu yang terus kau redam dengan seribu cara. Kami segumpal awan kelam yang kau tiupkan hilang. Tapi kami tetap pekat dan semakin hitam. Suara kami tak akan hilang. Pekat kami siap berperang. Kami prajurit yang maju untuk mati. Walau tak akan menang tapi kami rela. Demi satu suara yang jujur kami perdengarkan. Bukan menjadi pengecut yang mencari senang di istana tenang. Kami membela hati yang terbuang.

Hatimu begitu dingin tak ada tanda kehidupan. Matamu kosong tanpa arti. Itu yang selalu kau sebut bahagia. Kami sebut itu kemunafikan. Mengkhianati nurani demi kehormatan. Sementara kau tak tahu arti kehormatan itu sendiri. Berpikir bahwa pengorbanan adalah jalan menuju bahagia, dan kau hancurkan kebahagiaan orang lain demi membuka jalan kesana. Sungguh naif dirimu, bahagia tanpa pernah tersenyum ramah. Kaulah manusia paling sesat yang pernah ada. Kaulah iman sesat di rumah Allah. Penyesalanmu kami anggap sampah.

Saat pagi tiba kami pun musnah. Sinarmu membunuh kami semua. Dan kami rela. Semua demi cinta.

"Bila kau bahagia diatas sana, hati ini kurelakan mati tanpa daya. Seberapa berat aku harus relakannya. Tapi maaf... aku tetap mengutuk pengkhianatan yang kau lakukan. Kebahagiaanmu tak akan abadi pun tak lama."


Karena Aku Ada

Saat kudengar lagi ucapmu begitu
Kupatahkan lidahmu hingga ucapmu rancu
Saat kulihat lagi kau melihat sesinis itu
Kucongkel kedua bola matamu

Kau boleh bicara asal bukan tentangku
Kupantang dihina oleh sesama manusia
Kau boleh memandangku biasa
Kupantang dipandang rendah

Karena kau juga manusia
Kau pun juga hina
Karena kau tak lebih dari yang ku ada
Kau tak pantas berbangga

Saat kau ulang hal yang sama
Kau patut bersiaga
Saat kau lagi berbuat yang sama
Karena aku ada


"Karena kau juga manusia, kau tak pantas menghina. Karena kita sama-sama hina."

Kamis, 28 Mei 2009

A Boy Who Can't Smile

Adalah dia seorang bocah yang selalu merasa kesepian bahkan ditengah keramaian sekalipun. Yang sepi bukan fisik tapi batinnya. Selalu menunggu dan menunggu hingga suatu hari nanti akan datang orang yang meramaikan suasana hatinya. Diantara teman-teman, dia bisa tersenyum lebar bahkan terbahak-bahak. Yang menyedihkan adalah ketika ia sedang sendiri. Hanya ada segaris tipis senyum dipaksa waktu berpose sendiri. Bukan karena ia tak suka foto. Tapi hatinya yang tak bahagia.


Suatu malam, bocah itu melihat seluruh koleksi foto-fotonya. semua fotonya yang seorang diri selalu tanpa senyum. Ia baru sadar sekarang, setelah sekian tahun dikumpulkannya foto-foto itu dalam folder rapih dalam pc. Menyedihkan. Tapi masih bersyukur sekarang sadar. Diambilnya kamera ponsel dan dipaksakan sebuah senyuman manis untuk masuk dalam koleksinya. Beberapa detik menahan senyum itu, terdengar bunyi klik. Kini senyum itu abadi dalam bentuk pixel di layar ponsel. Segera ia pindahkan dalam pc. Diamatinya foto itu sangat lama. Hingga tak disadarinya, sebutir air mata mengalir diikuti tetesan berikutnya... dan berikutnya. Senyum itu indah... Senyum terindah yang pernah dilihatnya. Senyum yang hilang darinya hanya karena masa lalu yang suram. Berkah yang dirampas darinya atas nama hati yang patah. Cinta memberi banyak pengaruh pada bocah ini. Cinta keluarganya yang memberi kesempatan buatnya tumbuh menjadi insan yang matang secara mental. Cinta kekasih pertama yang membuatnya hancur, terlahir kembali. Cinta kekasih keduanya dan ketiganya... dan seterusnya... hingga ia hilang kepercayaan. Cinta hanyalah soal pertemuan dan perpisahan baginya. Yang datang pasti akan pergi. Tak perlu dimengerti akan lama ataukah singkat, semua pasti terjadi. Sejak hatinya menerima kesepakatan itu, maka ia menutup diri. Disegel dengan senyumnya sendiri. Bahwa senyum tak memberi arti. Perpisahan tak memandang senyuman sebagai arti. Karena perpisahan menuntut kesedihan. Air mata. Yang sekarang tak lagi ia beri untuk cinta. Melainkan amarah. Ya... dia menangis karena marah.


Hatinya yang lemah semakin tak berdaya. Semalaman ia menangisi foto biasa. Atau lebih tepat lagi menangisi kebodohannya. Mengubur berkahnya hanya karena putus cinta. Sementara yang lain berusaha mendapatkannya. Keegoisan yang membawa derita.


Pagi pun tiba, ia meratap dibawah semburan air dingin. Meringkuk seperti perawan yang ditelanjangi paksa. Matanya merah sembab sisa tangis semalam. Sinar matanya padam dan tatapannya kosong. Tangan kirinya kini memegang sebilah cutter baru yang tajam. Tangan kanannya tergerai mengucurkan darah. Ia tak merasa... seperti boneka. Sungguh indah... Mati tanpa suara. Dan semua derita mengalir keluar bersama darah menuju lubang air menuju ke tanah. Penderitaannya habis diserap bumi.

Pakar Cinta

Ada begitu banyak macam manusia-manusia pencari cinta di dunia. Dari sekian banyaknya, ada beberapa yang pernah kujumpa. Diantaranya adalah sebagai berikut.

Pertama-tama, dari yang paling hina. Manusia-manusia yang berbagi nafsu mengatasnamakan cinta. "Sex is Love". Tak akan ada cinta tanpa test-drive. Yang seperti ini sih, sama saja pengen cari pelacur tapi gak punya modal. Jadi, ya cari yang gratisan saja. Bisa satu, dua, seratus, atau bahkan ribuan pasangan buat gonta ganti.

Kedua, ada orang yang benar-benar cinta, tapi gak bisa menahan nafsu juga. Satu gak cukup, butuh yang lain lagi. Mungkin posisi nya kali ya... belom baca KamaSutra. Lagi-lagi soal SEX. manusia hina. Atau mungkin sex memang suatu keharusan sebelum benar2 cinta ?

ketiga... ada manusia yang sudah mapan bercinta. Sex bukan segalanya. Tapi tetap saja jajan sana-sini. Masih butuh sex tapi lagaknya setia. Tetep sayang pasangan dengan kata-kata gombalnya. Yang penting sama-sama suka, jadi rasanya gak berdosa.

Keempat... ada orang-orang setia yang selalu disiksa. Korban yang saking lugu-nya gak tau sedang dipermainkan cinta. Yang pada akhirnya cm bisa gigit jari liat pasangannya kabur sambil cengar-cengir, habis manis sepah di buang. Nah... orang ini nih sepahnya, yang tinggal tahi-tahi-nya saja.

Kelima... orang yang benar-benar setia, tapi sayang sudah lanjut usia. Saking asik-nya menyibukkan diri dengan kerjaan, gak sadar umur dah kepala empat. Mau cari cinta juga udah susah. Alhasil promo sana sini gak da hasil. Yang ini namanya "cinta kabur di usia senja".

Keenam... Orang yang ga ngerti cinta. Gak ngerti dan gak perlu ngerti apa itu cinta. Yang penting senang-senang saja. Mo sendiri kek.... dapet pasangan kek... yang penting hepi....


Ketujuh... Orang yang kecanduan cinta.... gak bisa hidup tanpa cinta... cinta adalah segala-galanya.... masuk RSJ juga karena cinta.

Rabu, 27 Mei 2009

Lent et Douloureux

Takkan ada kata-kata yang mampu menggambarkan apa yang kurasa. Bukan rasa bersalah karena cinta yang ternoda, juga bukan penyesalan karena terlalu banyak berulah. Mengingat semua yang kurasa bukan karena keinginan semata. Yang kuharap pun tak kunjung tercapai juga. Kalau memang begini seharusnya, maka biarlah semua terjadi. Ketika perpisahan akhirnya tiba... tak ada air mata yang sanggup pertahankannya. Bukan juga dengan cinta atau gombal semanis madu. Bahkan cinta yang paling sejati pun tak berarti ketika amarah memecah belah. Persahabatan... bagai selembar kertas tipis yang terberai oleh derasnya niagara. Serapuh itu juga sebuah hati terkikis habis. Semua berakhir tanpa arti. Atau mungkin belum saatnya cinta mengukir sebuah arti dalam hidup. Jawabannya masih tersangkut di jaring-jaring waktu.

Senin, 18 Mei 2009

Susu Kacang

Aku suka susu kacang di rumah makan depan kos. Rasanya tak jauh beda dari yang biasa kuminum dirumah, buatan mama. Manisnya pas, dan tidak terasa ampasnya. Juga tidak terlalu encer kadarnya. Dingin enak, hangat pun enak. Susu kacang buatan mama memang paling enak. Entah apa rahasianya. Sering kali aku minta diajarkan resep rahasia itu, tapi selalu dianggapnya aku masih bayi di gendongan.
"Terlalu repot, kamu minum saja..." Selalu begitu jawabnya.
Aku pun tak terlalu memaksa selama susu nikmat masih bisa kudapat. Setiap aku kangen rasanya, aku selalu minta dibuatkan, tanpa memikirkan kata repot yang mama maksud. Bagiku yang penting aku mendapatkan susu yang kuminta.

Dewasa sekarang, dan aku tetap gemar susu kacang buatan mama. Bedanya, tangan mama sudah keriput sekarang. Kuperhatikan caranya meremas ampas kacang, lebih lemah dari biasanya. Kuperhatikan matanya yang renta, sebercak semangat tersisa dari seluruhnya yang ada. Keringatnya yang lelah. Tapi satu yang tak berubah, senyumnya yang merekah karena susu kacang masih didamba anaknya. Usai menguras tenaganya memeras ampas kacang, sekarang ia bersiap di depan kompor, memanaskan susu dan terus mengaduk supaya tidak menggumpal. Sepuluh menit berlalu. Tak lama kemudian empat puluh lima menit. Tangannya mulai capai, tapi wajahnya tetap tenang. Seperti pelukis yang sedang menyelesaikan karya terbaiknya. Dan aku hanya bisa diam melihat, menunggu susu siap dihidangkan.
"Tunggu sebentar ya, biarkan dingin dulu." Katanya, ketika susu sudah matang.

Usai itu, mama pergi keluar menyiram tanaman. Mama memang rajin, walau sudah cukup usia. Kerja tak pernah lepas dari kesehariannya. Ia memang tak pernah bisa diam. Hanya penyakit yang mampu membuatnya diam di ranjang. Ya, mama memang punya banyak penyakit. Kencing manis, osteoporosis, tifus, asam urat. Semua itu datang silih berganti. Tapi mama tetap kuat. Menjadi ibu yang baik bagi anak-anaknya, menjadi istri yang baik bagi suaminya, menjadi wanit terbaik didunia.

Aku tak sabar mengambil gelas dan mengisinya dengan susu kacang buatan mama. Mulai kuisap pelan rasanya yang nikmat. Aku memanggil mama, memuji rasa susu kacangnya yang tak berubah. Masih enak seperti pertama aku ingat rasanya. Aku berjalan menyusul mama ke depan rumah. Beberapa langkah keluar pintu rumah, dan aku terkejut hingga gelas susu kacang lepas dari genggamku. Mataku tetap melihat ke arah mama bahkan ketika gelas itu pecah dibawah dan percikan susu panas mengenai kulit kaki-ku. Mama tergeletak disana, pingsan sepertinya.

Dokter di rumah sakit akhirnya memberi kabar. Mama pingsan karena lelah. Dan aku merasa bersalah. Tak lama aku hanyut terisak di pelukan mama. Maafku tak diterima. Tak perlu, katanya. Kami berdua tertawa disana, ditempat orang biasanya bersusah karena penyakitnya. Kupeluk dan kukecup keningnya. mama yang luar biasa. Yang terpenting baginya adalah anak-anaknya. Dan baru sekarang mataku terbuka betapa ia butuh disayang juga. Walau aku belum tahu bisa berbuat apa, tapi aku akan terus berusaha. Membuatnya bangga dan bahagia.


Nb: "Ma, susu kacang buatan mama emang paling enak sedunia. Tapi senyum mama bisa bikin bahagia. Terus senyum ya, ma. . ."

Selasa, 12 Mei 2009

Happiness

Saat kubuka mata adalah saat paling menderita. Apa yang kulihat tak ingin kurasa. Apa yang ingin kurasa tak pernah terlihat. Dalam gelap aku bisa menjadi siapa saja. Bukan yang nyata tapi aku bahagia setidaknya.Atau aku terlalu bahagia hingga terlupa siapa diriku sebenarnya. Yang jelas aku bahagia.

Hidup bukan khayalan belaka. Butuh sesuatu untuk dirasa. Dalam mimpi aku bisa terbang kemana suka. Tapi di dunia nyata, semua butuh usaha. Kaki ini harus menapak tanah kotor di bawah dan berkeringat karena lelah. Perutku harus lapar dan lidahku merasakan haus. Tapi di dunia mimpi semuanya tak begitu. Aku bisa kenyang hanya dengan berpikir aku kenyang. Yang aku lakukan hanyalah menikmati buaian mimpi. Dan aku bahagia.

Ada suara kudengar dari dalam mimpi. Suara mereka dari dunia diluar mimpi indah. Aku enggan mendengarnya, aku tak ingin keluar sana. Tapi suara-suara memaksaku berbalik arah. Dan aku direnggut dari mimpi yang indah. Mataku terbuka dan melihat mereka yang nyata. Tak seindah mimpi tentunya. Haus dan lapar datang menyiksa. Kamarku berkawan sarang laba-laba. Semua kotor dan bau menyengat karena tak terurus lama. Manusia-manusia nyata itu terus memarahiku sambil berurai air mata. Mereka meneriakkan betapa mengerikan diriku sekarang. Sebuah cermin disodorkan padaku, dan kulihat setan didalamnya. Wajahnya pucat pasi dan kurus, matanya seperti tersedot ke dalam muka. rambutnya kusut tak terurus, giginya kuning dan hitam. Sungguh mengerikan. Dan aku tak suka semua itu. Aku kembali menutup mata tak hiraukan jeritan mereka. Aku kembali pada mimpi-mimpiku yang indah, tak pernah lagi membuka mata. Dan aku bahagia.

Senin, 11 Mei 2009

Hati Serigala Banci

Lelaki itu temanku. Seorang yang pendiam dan kadang terlihat malu. Kadang ia dingin membeku, tak ada yang tahu. Lelaki itu memiliki nama sedehana seperti tampilannya. Ron. Namanya yang singkat tanpa pasangan, sama seperti dirinya yang tak kunjung menemukan pasangan. Kutukan sebuah nama yang terlalu singkat, membuat pemiliknya tak pandai menjaga hubungan. Ron bukan orang yang doyan ganti pasangan. Boleh dibilang jauh didalam hatinya sekarang, ia tengah menjerit berang kenapa nasib selalu memisahkannya dari pasangan. Entah karena pasangannya selingkuh, berubah, atau bahkan mati. Ron sangat kesepian aku yakin. Hingga kukira hatinya sudah mati tak lagi merasa, dan ternyata aku salah.

Malam itu di kelab, Ron bertemu Donna. Wanita karir yang cantik berwibawa. Tapi senyumnya ceria dan menggoda. Ron terpikat hatinya, begitupun Donna. Nama mereka sama-sama singkat, pertanda buruk dari awal mula. Ron berhasil mendapatkan Donna sebagai pasangan. Semalam berubah sebulan dengan begitu cepat. Pasangan kasmaran ini tak perdulikan waktu. Mereka hanyut dan tenggelam di lautan asmara. Setiap hari Ron menjemput Donna dengan seikat bunga, dan Donna membalas kebaikan Ron dengan ciuman mesra di pipi Ron. Keduanya nampak bahagia, semua orang akan setuju ketika melihat tingkah mereka.

Setahun berlalu dan mereka tetap bahagia. Baru saja Ron dan Donna merayakan setahun pertama mereka. Makan bersama di restoran mewah, dan disana masalah bermula. Donna mendapat telepon dari mantan kekasihnya. Ron terlihat tidak bahagia. Senyum semula berubah menjadi garis tipis dibibirnya. Ron kecewa. Donna berusaha meyakinkan tak akan ada CLBK (Cinta Lama Bersemi Kembali). Tapi hati Ron begitu takut berpisah. Setahun adalah yang paling lama baginya, tak untuk dilepas begitu saja. Ron mulai berubah, mengurung Donna dalam jangkauan pandangnya. Kini Donna adalah burung dalam sangkarnya. Ron tak melepas Donna bebas ke angkasa seperti mulanya. Donna hanya bisa menangisi perubahan kekasihnya.

Tahun kedua pun tiba. Donna makin menderita. Pertengkaran menghampiri bergiliran, menghantam cinta mereka hingga rata ke tanah. Donna tiba pada batasnya. Malam ini tepat tahun kedua mereka, akan menjadi akhir yang merana. Ron yakin ia tak salah, memperjuangkan cintanya agar tak direnggut darinya. Donna pun tak mau kalah karena ia memang tak salah. Berulang kali Ron menjelaskan betapa ia mencintai Donna, tak ingin orang lain memilikinya. Donna hanya menangis terisak memohon kepercayaan darinya. Keduanya memang saling mencinta, tapi Ron memiliki hati yang trauma. Cintanya terlalu sering dikhianati. Donna memulai berpisah. Ron merenggut tangannya. Yang terjadi kemudian hanyalah bahasa air mata. Keduanya terdiam, saling menatap mata yang menangisi sesama. Cinta mereka dihantam prahara, karam di lautan asmara.

Esoknya Ron terbangun dengan lemas usai merapati kisah semalam. Donna pun hancur cantiknya karena terlalu lama menangisi cinta. Siapa yang tak iba melihat perubahan mereka. Donna terlihat tak bergairah, Ron pun sama. Teman dan keluarga terlihat cemas tak berdaya. Ron terlalu lemah tak mampu melepas trauma, Donna pun sama tak mampu selamatkan cintanya. Keduanya kini berdiam bersama, berjumpa pun berpaling muka. Tak ingin air mata mereka merekah, atau saling menyimpan suka.

Tahun ketiga berlalu dan mereka tetap diam. Donna mulai kembali pada dirinya, menjadi wanita seperti awalnya. Ron tetap pada cintanya, berharap Donna berubah. Hingga tak lama menjelang tiba, Donna bertemu pangerannya. Bukan Ron tentunya. Ron kecewa namun tak kuasa. Donna menikah dengan pujaannya. Ron hanya bisa melihat dari luar gereja. Senyum manis kekasihnya dipelukan pria lainnya. Ron kembali trauma karena kebodohannya. Tapi ia tetap menyimpan duka, satu demi satu mengikatnya.

Ron ditemukan tewas tergantung di pohon cemara belakang gereja. Donna tertidur dan tak pernah bangun lagi, menyusul cintanya. Sesungguhnya mereka masih menyimpan rasa, hanya kecewa. Semua bermula dari hati yang trauma, diakhiri dengan trauma. Keduanya kini bahagia di alam sana. Dan aku adalah perantara. Kisah mereka kutulis untuk mereka. Dan siapa saja yang ingin membaca. Mereka yang hatinya sama. Terlihat lemah dan penuh cinta, namun berubah liar dan dahaga ketika menemukan cinta, melakukan segala cara demi mengikat cinta. Hati semacam inilah yang disebut hati serigala banci. Hati yang hanya terlihat buas diluarnya, bagian dalam ia hanyalah rumput yang mengikut kemana angin menggoyangnya.

Sabtu, 02 Mei 2009

Dangkal

Setiap hari waktu berdetak seirama debaran jantung.
Setiap memori yang terngiang membawaku kembali jauh ke masa lalu, saat dimana aku masih diriku yang lugu. Si Pencari jawaban, yang terbuai mimpi terlampau panjang. Berjalan di dunia dengan kaki timpang tartarih oleh beban. Hidupku bukan yang terindah pun bukan yang terhina.
Hidup adalah perburuan, mencari jalan selamat. Bertahan dari maut yang mengintai setiap saat.

Pikirku tak jauh dari kesenangan belaka. Mencari kebahagiaan dengan segala cara, hingga suatu ketika aku terlanjur basah. Menapak terperosok dalam celah. Menjadi manusia yang haus akan cinta. Aku bukan pelacur hina. Hanya bocah yang mencari cinta. Yang datang padaku pun tak kalah hina. Mencari kesempatan menggauli bocah. Mati saja kau manusia dangkal penjaja cinta diantara paha.

Yang hitam tak harus selalu hitam. Yang putih pun tak selamanya putih. Setitik putih menjadikan hitamku kelabu. Perlahan makin terang dan buyar. Perjuanganku mencari tujuan terjawab dalam iman. Bukan kepada siapa diatas siapa, bukan juga kepada siapa melebihi siapa. Imanku pada keyakinan, percaya bahwa karma itu ada. Menjadi baik untuk mendapat yang baik.

Kelam itu terus menggoda. Tapi mataku buta oleh cahaya. Godaan macam apa tak lagi kulihat walau sebelah mata. Apa benar hatiku begitu hebatnya hingga godaan tak sanggup menggoyahkan. Kurasa keinginan untuk merasa aman yang membuatku tegar. Tegas menolak kenikmatan sesaat. Menjadi pahlawan bagi diriku. Walau perlu waktu begitu panjang untuk perbaiki diri. Aku ingin aman... aku ingin nyaman... aku ingin tentram...

Bagimu seorang yang punya keberanian, hatiku masih bersisa ruang. Mungkin kau akan berkenan mampir mengisi celah yang hilang. Hatiku bukan perawan yang pertama menerima pendatang. Dirimu bukan yang kesekian tapi harus jadi penawar. Menjadi yang akhir, itu yang kuharap.

Kamis, 16 April 2009

Cerita Singkat

Pada saat jam makan siang di Kantor XYZ , Cimol dan Zulbin berpapasan di dapur kantor, Cimol sedang asyik memotong bungkus "gulaku" untuk dituang ke kotak gula. Maklum, Cimol emang doyan teh manis. Siang ini juga dia sudah menyiapkan teh vanila kesukannya satu teko ukuran sedang, tinggal gula saja yang kurang. Zulbin segera saja membuka pembicaraan.

Z: "Mol, loe ngerasa gak belakangan ini Pak Boss agak-agak rese ya... sebentar suruh ini, sebentar suruh itu... dikiranya gue setrikaan ape ? bolak balik mlulu."

C: "Hah... setrikaan ? emangnya status loe sekarang babu ? weekkekekeke"

Z: " Ngaco loe mol... justru n'tuh... gue kan karyawan disini... moso disamain ama babu ?"

C: "Resiko pekerjaan Bin..." (sambil terus menuangkan gula)

Z: "Tapi gue kan gak terima Mol... Pegawai mana yang mau diperbabu kayak aku ?"

C: "Lah... elo kerja kok cari enak doang... ya gak bisa... anggap aja bakti sosial... toh elu makan gaji kantor juga."

Z: "Mol... loe kok sewot sih..."

C: "Gua kagak sewot !!!" (tanpa sadar suaranya meninggi)

Z: "Lah... tambah marah... gue kan cuma cerita... rese loe ah"

C: "Gua gi asik siapin teh, Bin. Loe gak usa ngebacot ah... ntar teh gue jadi kagak sedep... kayak muke loe." (dengan muka kayak anak kecil yang diganggu pas asik2nya main)

Z: "Mol... "

C: "Ape lagi sih Bin... udah-udah sono loe buruan nyingkirrrr dari hadapan gue !" (mulai kesal)

Z: "Tapi Mol..."

C: "Minggir ato gue sirem teh panas...!!!" (melotot ke arah Zulbin)

Z: "Iye-iye... rese loe... ati-ati kuwalat loe Mol" (beranjak sambil senyum2)

Sambil agak-agak sewot, Cimol melanjutkan kegiatannya tuangin gula. baru selang beberapa detik Cimol teriak "ASTAGAAAAAA KUWALAT GUE...!!!!"
ternyata... gulaku sebungkus itu dituang bukan ke wadahnya tapi langsung ke dalam teh.

Cimol : Sialan... gara-gara Zulbin keparat. Apes deh gue.

Zulbin : Rasain... kagak mau denger omongan orang sih. Masih sukur tadi gua mo ingetin.



Kadang, mendengarkan orang gak ada salahnya kok. Dengan memberi nantinya kita pasti akan menerima. Dengan berbuat baik, orang juga suatu saat nanti pasti membalas kebaikan kita. Hilangkan ego sesaat, membantu orang gak pernah ada salahnya.

Sabtu, 28 Maret 2009

Pantai



Tebaran kerikil menusuk tapak kaki-ku tanpa ampun. Seolah
menjadi hukuman bagiku. Ya... aku harus terus melangkah kesana,
dengan aral sekejam apa, aku harus sampai di sana.



Awal January 2008 aku berjalan kesal dari rumah menuju pantai. Tempat favorit yang tak akan bosan kudatangi. Suara alam dan gemericik air menjadi sarana pelepas gundah. Ya... Pantai memang indah.
Aku tak perlu sebut nama, bukan kebiasaanku memamerkan sebuah nama. Walau orang selalu bilang nama adalah kekal, saat kau mati, hanya nama dan tulang belulang tersisa. Tak lain dan tak bukan, sejarah dipenuhi nama-nama.
Awal january ini aku bertengkar hebat dengan sahabatku. Sahabat sekaligus cinta dalam hidupku. Pertengkaran karena masalah kecil, namun berulang dan sering. Aku makin muak dengan hubungan ini. Tak ada titik temu yang mengerucut ke satu tujuan yang pasti. Kami hanya menikmati saat-saat indah bersama, lalu saling diam ketika pertengkaran tiba. Aku diam dalam penyesalan, begitupun dirinya. Tak habis aku bertanya mengapa dalam percintaan perlu ada pertengkaran. Bumbu paling pedas yang kusebut racun cinta. Rasanya tidak enak namun melengkapi citarasa.

"Andai dia tak begitu..." pintaku dalam hati.

Dia bukan manusia bersumbu pendek. Aku pun cukup tenang menghadapi situasi. Tapi kenapa sering terjadi perang dingin berujung caci maki... Aku bingung karena tak kutemukan pemicu sengketa ini. Langit senja mulai memerah, aku baru sadar telah menghabiskan terlalu lama waktuku di pantai. Bergegas kulangkahkan kaki untuk pulang walau segan. Aku marah, tapi hatiku di sana.

Diujung jalan samar kulihat dia tertunduk,habis menangis nampaknya. hatiku iba, tak tahu harus berbuat apa. Ingin kudekap dan kukecup keningnya sambil ucapkan maaf, tapi ego ku menolak harga diri-ku terinjak olehnya. Kali ini dia tak main-main. Sebuah koper tergeletak di depannya, tentu berisi pakaian dan keperluannya. Aku ingin melarangnya pergi, tapi lagi dan lagi ego-ku melarang, membungkamku erat tanpa celah untuk lidahku berbicara.

Dia pergi... hatiku remuk tak karuan. Sehari... dua hari... Seminggu berlalu dan yang kudapat darinya hanyalah satu telepon saja. Aku memintanya pulang namun ia ingin bersama kedua orangtua-nya sementara.

"Aku akan pulang saat aku siap, tolong ngerti... Aku butuh
waktu." ucapan terakhir sebelum terdengar isakan, lalu gagang
diletakkan pelan.

Apa yang salah... biar kupikirkan sekarang. Apa...

Dua minggu sudah berlalu tanpa telepon darinya. Aku semakin sibuk memikirkan apa yang salah. Pertengkaran ini dimulai dua bulan yang lalu. Dia menolak bercumbu. Masuk angin, katanya. Saat kuajak ke dokter, dia menolak dan merebah. Tidur dalam pelukanku sambil kuperhatikan setitik air mata menetes darinya. Hari-hari berikutnya semakin parah, ia lupa membuat sarapan dan mencuci pakaian. Dirinya seperti kehilangan separuh nyawa. Sering kulihat ia termenung dekat jendela memandang lekat ke samudera. Kadang kupikir ia ingin mengakhiri hidupnya disana. Ngeri aku membayangkan dia menenggelamkan diri ke tengah-tengah samudera.

Pertengkaran ini pecah setelah aku bertanya apakah ia ingin bertemu kedua orangtua-nya. Dikiranya aku hendak mengusirnya pulang ke desa. Niatku tak kesana, kukira ia merindukan kampung halaman yang lama tak dijenguknya. Maksudku menjelaskan malah membuatnya makin marah. Dikatanya aku mencari alasan mengusirnya. Sejak itu segala apa yang kuperbuat adalah salah. Dan aku pun ikut marah. Entah kebodohan apa yang membuat kami berpisah. Aku begitu merindukannya. Cepatlah pulang, cinta...

Aku hidup tak ada yang urus, rumah berantakan bagai kapal pecah. sampah berceceran dimana saja. Saatnya bersih-bersih rumah pikirku. Aku beranjak dari sofa menuju dapur tempat plastik kuletakkan dilaci kaca. Butuh beberapa plastik jumbo untuk semua sampah dirumah. Melihat saja aku sudah malas. Entah bagaimana perasaannya yang tiap hari harus mengumpulkan sampah-sampah di rumah. Jasanya memang luar biasa. Dia memberiku cinta dan mengurusku tanpa pamrih. Betapa bodohnya aku yang tak pernah sadari kebaikannya. Empat jam berlalu, ruang tamu dan ruang dapur sudah beres. Tinggal kamar mandi dan ruang tidur. Rumah ini cukup besar untuk kami berdua, tapi rasanya terlalu besar untuk kutinggali sendiri. Aku kesepian dan hampir frustasi mengenang kehadirannya.
Aku butuh dia...

Kamar tidurku sudah rapi sekarang, semua pakaian kotor sudah masuk keranjang untuk dicucikan. Kamar mandi juga sudah kusikat. Sudah beres semua sekarang. Tinggal bersantai sambil menunggu telepon darinya. Mungkin segelas kopi bisa membuatku tenang. Kucari dilemari dapur dan kutemukan disana. tersusun rapi lagi-lagi berkat jasanya. Saat kuperhatikan, ada yang terselip di sana. Seperti pena, bukan... mirip termometer. Sepertinya tak asing. Sering kulihat barang sejenis di televisi. Alat tes kehamilan.Mataku terbelalak dan bibirku terbuka diam. Apa ini ?

"Dia hamil ?" hanya itu yang terucap dalam kesunyian.

Aku segera berlari mencari telepon. Kucari record nomor telepon rumahnya di desa. Nada tunggu membuatku tak sabar, waktu terasa begitu lama. Kemana dia...

Sebuah suara di ujung sana menyapa
"Bapak... Tolong jawab... Benar dia hamil ?" tanyaku langsung.
Sejenak mertuaku diam lalu menjawab gusar
"Memangnya kamu perduli ? Anakku berhak mendapat pasangan
lebih baik darimu. Berulang kali dia mencoba bunuh diri. kalau
memang kamu laki, datang ke sini !"

Bunuh diri ? kenapa... Apakah hamil itu salah ?
jangan-jangan....

aku teringat percakapan kami beberapa bulan lalu. Ia bertanya dengan manja "Kapan kita mau punya anak ?"

dan aku dengan egoisnya menjawab "Kita belum siap, tunggu beberapa tahun lagi. Aku gak mau punya anak dulu."

Apa mungkin karena itu ? gadis tolol... Aku terlalu mencintainya sampai aku takut tak sanggup bahagiakan dia dan anak darinya. Belum siap bukan berarti aku tak menginginkan anak darinya.
Tolol...

Aku segera berlari keluar rumah, menaiki mobil dan bergegas menuju rumah mertua. Aku harus jelaskan betapa aku merindukannya. Hidupku sepi tanpanya... Aku butuh dia. Sepanjang jalan hatiku bergetar resah, andai aku lebih peka. Ternyata ini sumber masalah, andai aku lebih terbuka padanya, tentu ia tak tersiksa. Aku tak bisa membayangkan betapa stress dirinya menyimpan rahasia itu sendiri. Kehamilan yang seharusnya dirayakan itu bagai petaka pikirnya, mengingat kekasih hatinya tak menginginkan anak. Gadis tolol... Tentu aku sangat menginginkan anak darinya. Yang kubutuhkan hanya dukungan semangat untuk meyakinkan bahwa aku pantas menjadi seorang ayah.

Setengah hari aku mengendarai mobil tanpa henti. selanjutnya aku harus parkir di hotel sebelum aku meneruskan perjalanan dengan bus. Desa itu cukup maju, tapi jalan ke sana cukup terjal, lebih aman dengan kendaraan besar seperti bus. Aku duduk di depan, berharap segera berjumpa dengannya. Kerinduan ini butuh muara. Dan aku harus meminta maafnya untuk semua kebodohanku. Andai kusadari lebih awal, tentu kami sedang bahagia sekarang di rumah pantai.

Sial... ditengah jalan, bus kami mogok. Ban kendaraan itu rusak karena batuan tajam. Aku memutuskan berjalan saja daripada menunggu tak jelas kapan ban cadangan tiba. Barang bawaan penumpang tak menyisakan tempat untuk ban cadangan, terpaksa menunggu kiriman dari pusat. Sandalku putus dan hujan mengguyur, melengkapi kekesalanku seolah langit menghalangi perjuanganku. Tebaran kerikil menusuk tapak kaki-ku tanpa ampun. Seolah menjadi hukuman bagiku. Ya... aku harus terus melangkah kesana, dengan aral sekejam apa, aku harus sampai di sana.

Setelah perjuangan satu jam, aku sampai di depan rumah mertua dengan kaki berdarah dan pakaian basah. Dia ada di sana, terbaring lemah akibat kehilangan darah. Entah berapa kali ia potong nadinya karena putus asa. Aku sungguh menyesal tak ada disini mencegah kebodohannya. Kupeluk erat badan lemah tak berdaya, kucium lembut wajah pucat. Kubisikkan betapa aku mencintainya dan calon anak darinya. Kuberitahukan betapa aku menginginkan mereka...

Mertuaku terisak sedih, merangkulku dengan air mata. Kami saling bermaafan. Lalu menikmati sepiring nasi hangat dengan lauk sederhana sambil bercanda. Dia terlihat bahagia walau masih lemah.

Sepanjang malam kupeluk erat tubuhnya. Kupastikan kelak tak lagi kami berdiam saat marah. Semua harus diutarakan walau tak menyenangkan. Sepahit apapun kebenaran, lebih baik diucapkan. Jangan disimpan menjadi racun manis yang mematikan.

Senin, 23 Maret 2009

Hati Pengecut

Lembar surat yang sudah basi
Terlalu lama kusimpan
Tanpa keberanian tuk kirimkan
Isi hatiku yang terdalam
Tertutup rapat oleh amplop kumal

Sekian tahun berlalu tanpa permisi
Dan aku tetap ingat semua itu
Sebelah jiwaku tumpah jadi kata
Meleleh mengikuti air mata
Menetaskan kesedihan di dunia

Inisial kususun rapih
Menyusun untaian hati
Mengikat memori berduri
Mencari sebuah arti
Tuk sampaikan rasa ini

Surat kugenggam erat dekat nadi
Menunggu sebentuk keberanian mengirimkan ini
Setengah hari kuterpaku di sini
Jemariku dingin bergetar tak terkendali
Surat ini kukirim, bukan hari ini

Rabu, 25 Februari 2009

23

Sebuah mimpi datang padaku bersama sahabat karib nya, harapan.
Menawarkanku sebuah arti perjalanan panjang berujung bahagia.
Langkahku ditegapkan beribu uji dan coba memaksaku belajar.
Menjadi yang baik diantara yang salah dengan belajar dari salah menjadi benar, atau setidaknya lebih baik dari salah.
Tanpa kesempatan untuk membuat alasan, kupaksakan tetap berjalan.
Walau rintang di depan sudah terlihat, bukan berarti jalan pintas
untukku pasrah.
23 mengajarkanku cara berjuang.
Membuat busur dan panah dari tekad dan semangat.
Membisikku bahwa sekaranglah saat yang tepat.
Saat bagiku mulai berburu...

Senin, 23 Februari 2009

Ragu

Ketika kau bertanya
apakah esok akan berbeda
sungguh tak kukira
lukamu luar biasa

Maaf ku tak percaya
ketika kau bilang sudah
akhir kisah kita
ternyata mudah saja

Kini ku berlari mencari yang mungkin
satu cara untuk kau tak pergi
lewat sebaris kata cinta
mungkin juga tetes air mata

Maaf ku tak dengar
setiap risau bercerita
sendu kau berkisah
tentang arti kita

Kini ku sendiri mencari yang mungkin
satu cara untuk kau tak pergi
lewat sebaris kata cinta
mungkin juga tetes air mata

ku berlari genggam harap tak pasti
antara terus denganmu
atau lepas bebaskanmu
yang kutahu aku butuh kamu