Sabtu, 06 Maret 2010

24

Teh dalam cangkir ini masih mengepul hangat. Tanpa gula tentunya. Posisiku dekat jendela besar yang langsung menghadap ke gedung-gedung tinggi di luar sana. Walau bangunan di kawasan ini tak terlalu rapat, pemandangan di luar terlalu gersang. Hanya ada perdu sekarat di bawah sana. Sayang sekali tak ada perawatan walau tanah di sana cukup subur. Terbukti berapa kali pun rumput-rumput liar dipangkas dan pohon-pohon ditebas, tetap saja hijau yang tak diundang itu tumbuh kembali. Sedikit angker kiranya kalau aku berada di tengah-tengah hijau itu saat malam tiba. Ya, aku suka duduk di sini saat senja tiba. Tempat bersantai ini ada di lantai empat. Jadi aku masih leluasa melihat cakrawala. Aku suka melihat angkasa. Langit senja yang perlahan memerah. Yang kubenci hanya polusinya. Senja tiba dan kabut yang sebagian besarnya adalah asap kendaraan kini mulai menutupi pandangan mata. Aku bersyukur masih ada kaca yang menghalangi kabut polusi dari hidungku. Setidaknya aku bisa berbangga terlepas dari pemerkosaan paru-paru oleh mereka. Tapi aku tak bebas dari sumber penyakit kiranya. Masih banyak manusia-manusia tak tahu diri yang senang berbagi asap rokok di tempat umum. Andai aku lebih kejam sedikit dan hukum rimba berlaku di negara ini. Cukup semprotkan sedikit bensin lalu biarkan puntung rokok itu beraksi menghabisi perokok-perokok tak tahu diri. Anganku beringas, dan aku tak suka itu. Aku lebih suka senja ini kuhabiskan dengan tenang. Setidaknya ketika dua puluh empat tahun akhirnya aku hidup. Setahun kemarin berlalu dengan cepat. Tahun ini ingin kunikmati sedikit demi sedikit. Kembali pada diriku dan secangkir teh yang tetap mengepul. Ada pesan singkat muncul dalam ponselku. Ternyata ucapan selamat ulang tahun dari perusahaan kosmetik tempatku membeli sabun muka.

Habis sudah teh dalam cangkirku, dan aku bersiap meninggalkan kursi yang mengepul kepanasan. Aku sudah duduk terlalu lama. Kuraih tas berisi buku sketsa dan puisi yang sering kubawa-bawa walau jarang berguna. Saat itulah aku melihat ada yang aneh dari celah gedung di luar sana. Sepertinya kabut di sana tersibak oleh sesuatu yang bergerak cepat. Aku memicingkan mata memperhatikan apa yang terjadi di sana. Beberapa saat kemudian, semakin jelas. Ada sesosok makhluk yang terbang menuju padaku. Cukup beringas nampaknya makhluk itu, meliuk-liuk seperti ular. Aku sempat mengusap-usap mata untuk meyakinkan apa yang kulihat. Aku melihat ke kiri dan ke kanan, tak ada siapapun yang menyadarinya. Saat mataku kembali pada makhluk itu, aku sadar itu adalah seekor naga. Seperti naga dalam cerita China, tapi ini adalah naga putih. Semuanya putih. Sampai akhirnya naga itu semakin dekat, aku berbalik dan berteriak. Semua terjadi dalam gerakan super lambat, aku berteriak mengingatkan orang-orang disekitarku tapi tanpa suara. Suaraku tak terdengar walau aku berusaha teriak. Naga itu menghantam jendela. Aku menunduk ke lantai sambil melindungi kepala dengan kedua tanganku. Kaca berhamburan ke segala arah. Naga itu mengaum buas dan meliuk-liuk masuk ke dalam ruangan. Mataku terpejam sambil terus menunduk. Saat aku tak lagi mendengar ada suara gaduh, baru aku membuka mata dan melihat dengan mata terbelalak. Naga itu melihat tepat padaku. Tapi anehnya, ruangan ini tampak rapi. Semua orang seolah tak sadar keberadaan naga ini. Pecahan kaca itu sudah kembali pada tempatnya. Sekarang, aku dan naga putih itu saling berhadapan.

Ponselku bergetar lagi. Kali ini ada panggilan masuk. Aku terbangun oleh kejutan itu. Ada sedikit rasa lega karena ternyata aku bermimpi. Panggilan itu terhenti. Aku menatap dalam-dalam layar ponselku, berharap yang melakukan panggilan akan mengulang. Ternyata tidak. Aku membersihkan keringat yang berkumpul di dahiku. Ya, setiap kali tertidur di kursi aku selalu berkeringat seperti selesai lari maraton. Bergegas siapkan diri untuk pulang, aku melewati semua orang dengan musik keras di headset. Kalau sedang berjalan sendiri aku suka mendengar musik dengan keras. Aku benci tatapan orang. Aku benci diperhatikan. Karena aku tahu mereka sedang membicarakan sesuatu. Aku tak perduli yang mereka bicarakan itu baik atau buruk tentangku. Tetap saja aku benci dibicarakan. Mereka tak berhak ikut campur dalam hidupku. Setidaknya sepertiku yang cuek dengan manusia-manusia sekelilingku. Aku lebih suka bermain dengan alam yang tak banyak bicara. Alam selalu memberi tanpa pernah meminta. Dan alam tak pernah menggosipkanku.

Kali ini semua orang nampak acuh. Ada apa gerangan. Mungkin aku sempat mengigau sewaktu bermimpi tadi, atau mereka sibuk menggosipkan orang lain. Mungkin tak ada yang bisa digosipkan dariku hari ini. Tapi semua orang melakukan hal yang sama. Seolah aku tak ada di depan mereka. Mungkinkah doaku terkabul di hari ulang tahunku ini atau diriku yang tiba-tiba tembus pandang. Sudahlah, yang penting aku bebas dari tatapan mata mereka. Aku berjalan keluar dan melangkah ke lift. Aku suka berada dalam lift. Rasa aneh diperut ketika lift bergerak turun, juga kemudahan yang kudapat karena tak perlu memutar terlalu jauh hanya untuk turun satu lantai. Lebih menyenangkannya lagi adalah karena lift ini terletak tak jauh dari pintu keluar sehigga aku tak perlu menatap pasangan-pasangan bahagia yang berlalu lalang. Manusia-manusia norak yang saling menyentuh pantat di tempat umum, atau pasangan sok bule yang berciuman. Seolah tak ada tempat lain untuk melakukan itu. Seperti ku bilang, andai di negara ini berlaku hukum rimba, tempat sampah itu pantas melayang dan menghantam bibir mereka. Pikiranku semakin menjadi. Rasanya aku perlu pulang dan istirahat. Mimpi tadi membuatku mual. Atau mungkin aku berkeringat terlalu banyak hingga dehidrasi. Entahlah.

Lift tiba di lantai dasar. Aku berjalan keluar meniggalkan orang-orang di dalam. Waktu seakan berjalan cepat. Tadi di atas langit masih cerah walau sudah gelap. Tapi sekarang, hujan deras. Aku menunggu taxi bersama antrian. Setelah giliranku, aku pun bergegas. Tak ingin terlalu lama berada di sini. Waktu ku akan lebih berguna bila kuhabiskan di tempat tidur yang nyaman. Setelah berbincang sedikit, basa-basi dengan supir dan menyampaikan alamat tujuan, aku pun duduk diam melihat ke luar. Orang-orang masih antri cukup panjang. Seperti biasa, ketika hujan cukup deras, jalanan akan macat. Musikku lebih menggoda daripada suara klakson di depan sana. Aku dan supir taxi saling diam hingga tiba di tempat tujuan. Kubayar seperlunya, mengucapkan terima kasih lalu masuk ke dalam rumah. Rumah kos, tepatnya. Kamarku terletak di lantai dua. Kulihat di ruang tamu lantai dua, anak-anak lain sedang asik berkumpul. Entah apa yang mereka diskusikan. Jarang sekali aku terlibat dalam percakapan itu. Bukannya aku tak mau, tapi aku bukan orang yang cukup perduli dengan perkembangan zaman. Kadang apa yang mereka bicarakan tak kupahami. Sedang aku dan dunia khayalanku pun mereka tak paham. Aku memutuskan untuk masuk kamar dan beristirahat. Setelah masuk kamar dan mengunci pintu, aku berbalik dan terkejut, bergerak mundur menabrak pintu dan hampir merubuhkannya. Aku melihat diriku sedang tidur di sana, di tempat aku seharusnya berada. Aku yakin itu diriku, karena aku tak punya saudara kembar, apalagi saudara kembar yang memiliki kunci kamarku. Bahkan saudara-saudara ku sekalipun tak memiliki duplikat kunci kamar ini. Lalu aku mencoba berteriak memanggil orang asing itu. Sama seperti mimpi tadi, suaraku tertahan dan ruang ini tiba2 menjadi kedap suara. Bahkan berisiknya diskusi anak-anak di depan pun teredam. Aku melihat sosok itu tertidur di sana, wajahnya pucat seperti mayat. Dari perutnya yang tertutup selimut tiba-tiba muncul cahaya. Perlahan cahaya itu melebar dan makin terang, lalu dari dalamnya muncul naga dalam mimpiku. Seekor naga seputih pualam dan sisiknya agak berkilauan. Mirip kilau mutiara. Naga itu mencengkeram tubuh manusia dibawahnya seperti burung mencengkeram ranting pohon. Naga itu berbicara dalam pikiranku. Sulit dipercaya tapi ia memaksaku untuk percaya. Naga itu memberitahu bahwa aku sudah mati sejak kemarin. Sedangkan jiwaku menolak untuk menerima kenyataan sehingga aku mengulang dua puluh empat jam sebelum kematianku. Naga itu adalah penjemputku, dan waktuku telah tiba untuk menyeberang ke dunia kekal. Ia memintaku untuk ikut dengannya dan merelakan semuanya. Aku pun ikut tanpa perlawanan. Aku sendiri bingung, apa yang membuat jiwaku tak rela untuk mati, padahal tak ada satu apapun di dunia ini yang menghambatku. Tak ada yang membuatku ingin bertahan. Naga itu memintaku untuk memejamkan mata, dan aku melakukannya.

Saat membuka mata, tubuhku bersimbah keringat dan aku sedang dalam posisi dimana jasadku berada. Aku melihat jam, ternyata tepat tengah malam. Aku mendengar suara naga itu di dalam pikiranku, mengingatkan bahwa ada yang harus kuselesaikan. Waktuku di dunia mimpi sudah habis, dan sekarang saatnya aku hidup sebagai manusia di dunia fana. Dunia khayalanku sudah bukan lagi tempat hidupku. Aku sudah bangun dari mimpi.

1 komentar:

Anonim mengatakan...

aku lebih suka hidup di dunia mimpi daripada dipaksa mati dan hidup kembali di alam nyata ini...
terlalu banyak kebencian di dunia nyata, sedangkan di dunia mimpi yang ada hanyalah damai.
kau takkan perna melihat singa dan domba duduk bermain catur bersama di dunia nyata, kau juga takkan bisa menikmati secangkir teh bersama laba-laba perak di dunia nyata
ah... rindunya aku kembali ke dunia mimpi....

-Iko-