Rabu, 24 Maret 2010

Ungu

Ungu warna banci
Tapi banci yang elegan
Ungu berarti penantian
Jasad yang menunggu pasangan
Ungu selalu kesepian

Tempat hiburan malam untuk kaum homoseksual. Aku menghisap milyaran asap rokok dan kelamin di tempat maksiat. Tapi hatiku tenang tanpa beban. Aku adalah Violet yang digandrungi begitu banyak teman. Lahir sebagai pecinta sesama jenis tak membuatku malu. Kedua orang tuaku bahkan tak pernah tahu. Mereka terlalu sibuk mencari uang. Bahkan demi uang mereka rela berpisah. Ibuku minta cerai sewaktu aku masih duduk di bangku SMP. Ayahku tak bersedih sedetikpun atas perpisahan itu. Bahkan aku dipaksa diam setiap menanyakan kemana perginya Ibu. Sementara Ibu asik bercumbu dengan suami baru, Ayah masih menikmati malam dengan pelacur yang berbeda setiap minggunya. Uang Ayah cukup untuk menyewa pelacur itu seumur hidup. Tapi nampaknya hati Ayah sudah hilang sejak lama. Aku bahkan tak merasa dianggap anak selain bocah yang setiap bulan menghabiskan uangnya. Tapi tak jadi masalah buat Ayah. Toh Ibu juga memasukkan uang dalam rekeningku. Setiap bulan ada jatah dari mereka berdua. Dan aku hidup dari uang itu. Aku tumbuh bukan dengan kasih sayang. Aku tumbuh disirami uang.

Violet nama samaran. Aslinya Johan. Perawakanku tampan menawan. Juga tidak memiliki sifat bawaan perempuan. Hanya nama panggilanku saja yang terdengar seperti banci jahanam. Aku benci pria yang bertingkah seperti wanita. Tapi aku sangat menghormati wanita. Walau aku membenci ibu, tapi bagiku wanita adalah makhluk lemah yang patut dijaga. Setelah aku mulai bekerja, aku pindah dari rumah Ayah, ke satu rumah jauh dari rumah lama. Hingga sekarang Ayah dan Ibu masih memasukkan uang ke dalam rekeningku setiap bulannya. Mungkin mereka lupa bahwa anaknya sudah bekerja. Bahkan umurku berapa pun mereka pasti tak ingat. Uang dari mereka tak banyak kupakai selain untuk mabuk dan bersenang-senang di tempat hiburan. Juga untuk membayar tagihan telepon untuk menghubungi gigolo, ditambah sedikit hadiah uang jajan setelah gigolo-gigolo itu menyelesaikan tugasnya. Aku adalah arsitek yang punya nama. Bisikan rekan kerja yang mengetahui seksualitasku sama sekali tak menjadi masalah. Mau melapor ke mana juga percuma. Kedua orang tuaku saja tak perduli, lalu untuk apa aku cemas. Beberapa kali aku pindah tempat kerja karena atasan yang tak guna. Zaman sekarang masih saja mementingkan seksualitas daripada kualitas kerja. kasihan sekali orang macam itu. Tapi itu hak mereka sebagai atasan di tempat kerja. Toh masih ada juga perusahaan seperti tempatku bekerja sekarang yang memberi kebebasan pada karyawannya dengan tidak mencampuri kehidupan pribadi mereka.

Karibku Delima, gadis cantik dengan nasib yang bertolak belakang. Beruntung sekali dia punya dewi penolong seperti Santy, pelacur ternama yang sering dipakai Ayah. Dari Santy juga aku mengenal Delima. Kami bertiga adalah penguasa dance floor setiap datang ke tempat hiburan. Tarian erotis dan menggoda tak jarang kami hadiahkan di sana. Di tempat semacam inilah kami merasa bebas. Merasa senang karena menjadi pusat perhatian. Sayangnya Santy bernasib kurang terang. Kanker rahim berhasil merenggutnya dari kami. Sejak itu juga aku dan Delima menjadi dekat. Kami sepakat menikah sekedar untuk menghapus sekat yang menghalangi pria dan wanita tinggal bersama tanpa status nikah. Tapi aku tak pernah menyentuhnya. Kehidupan kami sama sekali tak berubah. Delima masih mendapat kepuasan dari wanita yang dipilih untuk menjamahnya. Dan aku pun sama. Tiga tahun kami menikah hingga ia punya rencana gila. Ia ingin anak dari sperma pasangan hidupnya. Bayi tabung menjadi media yang kami pilih bersama. Delima ingin tujuh orang anak. Delima kadang seperti anak kecil yang matanya berkaca-kaca saat melihat pelangi. Baginya tak ada yang lebih indah dari warna-warna pelangi. Sayangnya di kota jarang terlihat mahakarya Tuhan itu. Untuk itulah Delima ingin ada tujuh warna pelangi dalam keluarga kami. Sayang, belum genap seluruh warna, Delima telah meninggal dunia. Aku merasa benar-benar kehilangan. Aku takut sendirian. Bahkan anak-anak malang yang ditinggal bersamaku terpaksa merasakan dingin yang mencuat keluar dariku. Aku menjadi jasad yang beku tanpa kehangatan senyum seorang Delima.

Sejak menikahi Delima, aku pindah rumah. Aku selalu mengaku pegawai negeri pada siapa saja. Setidaknya mereka tak perlu mengumbar keramahan palsu hanya karena status pekerjaanku yang dibayar mahal. Status palsu sebagai pegawai negeri membuat mereka malas dekat-dekat denganku. Mungkin orang miskin tak pantas mendapat keramahan tetangga. Anak-anakku juga tak tahu pekerjaan asli Ayahnya. Yang penting ada uang untuk mereka setiap bulannya. Hingga suatu hari aku sadar, aku telah melakukan kesalahan yang sama. Aku menumbuhkan anak-anakku dengan uang. Betapa tololnya diriku. Dan saat aku mulai berubah, anak sulungku diambil dariku. Sungguh sakit sekali. Entah bagaimana Ibu bisa meninggalkanku untuk kebahagiaannya sendiri. Mungkin Ibu bukan manusia.

Setiap sabtu aku membawa anak-anakku mengunjungi Delima. Wanita cantik yang telah melahirkan mereka ke dunia. Hanya Delima yang mengerti arti cinta sesungguhnya. Tak ada wanita lain yang pantas menggantikan dia. Aku ingat saat merawat anak pertama. Matanya bengkak karena kurang tidur, tapi tetap tersenyum setiap saat. Kasih sayang seorang Ibu yang tak pernah kudapat. Tapi aku beruntung memiliki Delima. Kasih sayangnya menyentuhku dalam porsi yang tepat. Setelah memiliki anak, Delima berhenti dari dunia malam. Aku pun begitu. Munculnya anak adalah awal kehidupan baru dari keluarga ini. Jingga anak bungsuku, terlalu muda saat diambil dariku. Aku sempat menangis seharian di atas makam istriku, meminta maaf karena gagal menjaga wasiat terakhirnya untuk merawat anak-anak ini. Aku telah gagal menjadi seorang Ayah.

Hati yang terlalu kesepian
Perlahan hilang kesadaran
Dalam dirinya
Tak ada lagi ruang
Tak ada lagi harapan
Ia selalu sendirian

Tanpa Istri dan anak Sulung, aku berusaha melanjutkan hidupku bersama sisa anak-anakku. Yang perlahan baru aku tahu betapa mereka membenciku, terutama si bungsu. Aku melihat sebongkah kristal beku dalam dirinya. Sesuatu yang menyakitkan memaksaku menjauh darinya. Aku pernah bisa menyentuh dia. Lalu satu per satu anak-anakku diambil dariku. Aku adalah manusia paling malang di dunia. Tuhan memberi takdir yang keji padaku. Dengan segala materi yang berlebih, aku tak punya siapa-siapa lagi. Sejak anak ketigaku Bie pergi, aku berharap segera mati. Tapi Tuhan punya kehendak lain. Mungkin dosaku terlalu berat hingga mati pun aku tak pantas. Aku harus menerima kenyataan bahwa anak bungsuku Jo akhirnya menuang bensin ke dalam bara apiku yang hampir padam. Aku benar-benar marah dengan kelakuannya yang telah mengumbar rahasia kami sekeluarga. Malam itu aku kalap dan menamparnya hingga lebam. Kurasa bibirnya sobek karena aku melihat darah dari sudut bibirnya. Bibir yang persis dengan milik Delima. Tak lama kemudian sisa anak-anakku diambil dariku. Pelangi titipan istriku kini hilang semua. Tinggal aku sendirian seperti dulu. Setiap malam kuhabiskan di tempat hiburan malam. Yang berbeda adalah sekarang aku sudah tua. Tak lagi tampan seperti dulu. Sekarang aku seperti Ayah, membeli cinta dengan uang. Kurasa aku paham perasaan Ayahku saat itu. Mungkin Ayah sangat kesepian.

Tak ada yang lebih kesepian dariku
Tak ada yang lebih sendiri selain Ungu

Tidak ada komentar: