Minggu, 21 Maret 2010

Biru

Warna yang paling kau suka adalah biru
Tapi aku tak suka
Walau hatiku jatuh cinta pada langit biru
Tapi jiwaku lebih cinta perdu hijau
Walau hutan hijau terlihat membiru dari kejauhan
Aku tak suka

Biru adalah namaku. Aku lebih suka dipanggil Bie. Sesungguhnya aku benci biru. Aku lebih suka hijau, tapi nama itu sudah ada pemiliknya. Adikku yang bungsu bernama Hijau. Sehari setelah Kak Ning kabur dari rumah, Ayah terlihat sangat menderita. Betapa terpukulnya dia. Kak Ning terlalu egois. Seharusnya dia ada menjaga Ayah dan kami semua. Atau mungkin kami lah yang egois. Kak Ning mungkin lebih menderita dari yang aku kira. Bodohnya, aku baru sadari setelah membaca buku harian Kak Ning semalaman. Sebagai putra pertama Ayah aku tak mampu menahan air mata. Seperti luka lama yang telah membusuk dan baru ketahuan belatungnya. Seperti itu juga penderitaan Kak Ning yang selalu nampak tegar di depan kami semua.

Air juga biru
Hujan dan air mata serta lautan
Semua yang sendu berwarna biru
Racunmu pun berwarna biru

Seharusnya aku tahu dari dulu tentang penderitaan kakakku. Dengan begitu, Kak Ning tak perlu kabur bersama kekasihnya. Aku ingin sisa keluarga ini bisa utuh bersama sampai akhir nanti. Tapi penyesalan tak pernah datang lebih awal. Langit hari ini biru, sebiru nama dan perasaanku. Aku bukan anak cengeng yang bisa menangis dengan mudahnya. Tapi rasa berat di dadaku memaksa airmataku mengalir tanpa diminta. Buku harian Kak Ning kusembunyikan dari adik-adikku dan Ayah. Cukup aku yang tahu semua ini.

Saat kau pergi hatiku membiru
Beku adalah biru
Dingin dan sepi juga biru
Aku semakin benci biru

Sudah satu minggu sejak Kak Ning lari dari rumah dan belum ada kabar. Kami sudah mencari ke rumah saudara dan melapor ke polisi. Hasilnya tetap nihil. Hanya doa yang kami bisa. Berharap Kak Ning segera pulang. Sekolah pun berlanjut seperti biasa. Aku tetaplah Bie yang pendiam dan disukai banyak murid wanita. Tapi aku tak pernah memperdulikan perhatian satupun dari mereka. Bukannya aku pecinta sesama jenis, tapi memang aku tak berminat dengan mereka. Apalagi makhluk centil yang setiap hari meletakkan sepucuk surat cinta dalam laci meja (yang kemudian terpaksa menghuni tempat sampah). Belum ada satu pun perempuan d sekolah ini yang menarik perhatianku. Semua orang mengejekku. Mengataiku pecinta sesama jenis. Tapi aku tak perduli apa yang mereka katakan. Tak ada hubungannya dengan mereka. Akulah yang menjalani hidup ini. Kalau mereka memang banyak waktu, tentu lebih berguna kalau mereka bantu mencari kakakku.

Aku duduk di kelas satu SMA yang sama dengan SMA tempat kakak-kakakku dulu. Tak heran guru-guru di sini bersimpati padaku. Tapi bukan itu yang kuharapkan dari mereka. Aku lebih mencari kedamaian. Bahkan berharap Pak Jarwo tak menghebohkan kelas dengan mengumumkan hilangnya Kak Ning. Sekali lagi, bukan urusan mereka. Memang manusia satu itu penuh aksi. Sok kenal dan sok dekat. Tak pantas kelakuannya sebagai seorang guru. Bukankah privasi setiap manusia itu hak yang mutlak. Tapi aku tetap diam. Karena pada akhirnya, semua akan diam.

Pulang sekolah adalah waktu yang kutunggu-tunggu. Lepas dari tatapan simpatik guru-guru di jam istirahat, bahkan makan pun harus disiksa dengan tatapan kasihan dari penjual bakso tempat favorit Kak Ning. Sialnya, seluruh isi sekolah ini tahu aku adalah adik Kak Ning. Dan semua orang seakan simpati padaku. Padahal, tak lebih dari satu kelas isi sekolah ini yang ku kenal. Memang dasarnya manusia adalah makhluk penggosip yang haus berita panas. Apalagi murid-murid centil yang terus menjadi lalat diatas makan siangku. Lebih baik mereka diam saja daripada berbisik membicarakanku sementara bisikannya terlalu keras seakan-akan berharap aku dengar. Atau mungkin Tuhan salah memasukkan pita suara babon ke mulut mereka. Yang jelas bisikan mereka mengganggu makan siangku. Rumah dan kamar adalah tempat dimana aku bisa merasa tenang. Nila adikku yang pertama adalah gadis pendiam yang lebih banyak menyimak daripada bertanya. Hijau si bungsu juga tak banyak bicara. Kadang aku merasa kasihan pada mereka. Nila baru duduk di bangku 2 SMP. Sedangkan Hijau masih kelas 6 SD. Beban mereka tentu lebih berat dariku. Mereka masih terlalu polos untuk mengerti apa yang terjadi. Yang bisa kulakukan hanyalan menjadi pengganti Kak Inga dan Kak Ning. Yang jelas, aku tak bisa menjadi pengganti Ibu. Aku tak pandai memasak tapi setidaknya bisa membuat perut mereka kenyang. Nila dan Hijau tak pernah protes dengan hasil masakanku. Kasihan juga melihat ekspresi mereka saat menyantap masakanku yang terlalu asin atau kadang hambar. Aku bersyukur memiliki adik-adik yang begitu pengertian.

Minggu depan adalah minggu tenang sebelum ujian akhir. Ujian SMP memang selalu dilangsungkan setelah ujian akhir SMA. Aku dan beberapa teman sekelas akan pergi berkemah. Aku sangat suka dengan alam. Seperti kubilang, aku suka hijau dan pepohonan. Tapi Ibu memberiku nama Biru. Dan aku pun belajar mencintai langit. Persiapan untuk kemah pun selesai. Semua barang sudah pada tempatnya. Ijin dari Ayah sudah kukantongi. Tinggal menyiapkan keperluan adik-adikku selama aku tak ada. Uang jajan dan uang makan sudah kujatah untuk mereka pakai setiap harinya. Ayah sekarang sibuk bekerja dari pagi hingga malam, tak sempat untuk masak atau
membelikan makan siang. Untungnya kedua adikku cukup pengertian dan tak melarangku pergi. Jarang sekali ada kesempatan untuk pergi berkemah. Aku pun sadar diri bahwa orang rumah butuh keberadaanku. Apalagi, sekarang akulah senior di rumah setelah Ayah. Waktu pun berlalu dengan cepatnya dan hari keberangkatanku tiba. Aku berpamit pada adik-adikku di rumah. Ayah sudah berangkat ke kantor jadi aku titipkan salam lewat kertas pesan di atas mejanya.

Perjalanan menuju tempat kemah cukup jauh. Kami berlima naik mobil temanku, ditambah satu supir pribadi. Lokasi yang kami tuju dipenuhi hutan belantara. Di sana ada jurang dan sungai yang bersih. Semua yang tak mungkin ditemukan di kota tempat kami tinggal. Sore hari kami tiba di tempat dan segera mendirikan tenda. Rencananya kami akan tinggal selama tiga hari di sini. Kami membawa dua tenda. Satu tenda besar untuk kami berlima, dan satu tenda kecil untuk supir. Malam pertama begitu mengasyikkan. Apalagi supir temanku ternyata jago memancing. Kami makan ikan segar dari hasil pancingannya. Sambil bernyanyi diiringi gitar di depan api unggun. Udara malam yang dingin sama sekali tak mengganggu.

Pagi harinya kami mandi di sungai. Sambil sesekali bercanda saling dorong. Air sungai sangat dingin walaupun matahari telah terbit. Kami tak berlama-lama di sungai, tak tahan dengan dinginnya air. Kegiatan kami pagi ini adalah menjelajah isi hutan. Setelah siap dengan senter dan peralatan selengkap mungkin, kami mulai menjelajah. Seru juga melihat isi hutan yang tak tersentuh oleh tangan manusia. Melihat pohon-pohon yang tumbuh begitu tinggi. Mendengar kicau burung yang nakal. Bau tumbuh-tumbuhan dan jamur serta lumut. Alam sungguh mempesona. Setengah hari kami berada dalam hutan. Rasanya seluruh otot kami tertarik seperti habis melakukan olah raga yang berlebihan. Tapi kami semua puas. Setelah makan malam dan beberapa teguk minuman keras milik supir, teman-temanku segera masuk dalam tenda dan bergegas tidur. Aku masih duduk di depan api unggun yang semakin mengecil. Kumasukkan beberapa dahan kering hasil mencari di dalam hutan hari ini. Supir temanku masih asyik dengan minuman kerasnya. Nampaknya ia sudah setengah mabuk. Kami pun mulai bercerita panjang lebar tak jelas arahnya. Ternyata supir temanku ini pendatang di kota kami. Sudah hampir dua tahun dia bekerja di rumah temanku. Aku kagum dengan kegigihannya. Supir ini memulai semuanya dari nol. Hingga sekarang sudah bisa menghidupi anak dan istrinya. Walau hanya sebagai supir ternyata hidupnya tak kekurangan satu apapun. Tak lama bercerita tentang hidupnya, ia mulai menangis. Aku pun heran. Dengan setengah mabuk ia menceritakan perbuatannya dulu waktu baru datang ke kota kami dan masih menganggur. Aku mendengarnya dengan jantung berdebar. Perlahan kuambil gitar yang berada dekat denganku dan kuhantamkan ke kepalanya. Gitar itu hancur berantakan. Samar-samar kulihat darah menetes dari kepala supir itu. Aku masih terus memukulkan batang gitar ke arah supir biadab yang telah membunuh kakakku. Pelaku yang selama ini tak diketahui kemana raibnya sekarang ada tepat di depanku. Entah setan dari mana yang merasukiku, pukulanku bertubi-tubi menghantam tubuh yang setengah mabuk itu. Supir itu kesakitan dan berteriak, tapi aku tak perduli. Karena tak berdaya, ia berlari masuk ke hutan dan aku terus mengejar dari belakang. Aku mendengar dia berteriak minta ampun. Teriakannya membuatku semakin bernafsu. Aku ingin orang ini mati di tanganku.

Entah berapa lama kami berlari dalam hutan yang gelap. Hanya diterangi cahaya bulan yang terhalang rimbunnya pepohonan di hutan, kami terus berlari. Kalau akal sehatku berjalan, aku akan ketakutan karena sudah pasti kami tersesat tak jelas berada di mana. Tapi insting membunuhku sedang menggila. Aku benar-benar gila. Aku terus mengejarnya hingga beberapa detik terakhir, supir itu berhenti mendadak. Aku tak perduli apa yang menghadangnya di depan sana. Aku menerjang tubuh setengah mabuk itu dan kami terjatuh ke dalam jurang. Tiba-tiba semua menjadi gelap. Semua menjadi begitu tenang.

Saat terbangun, aku tahu kakiku patah dan ada luka besar di pinggangku. Tak ada rasa sakit lagi, aku mati rasa. Mataku masih sibuk mencari jasad supir itu. Tak jauh dari tempatku jatuh, terlihat kepala supir itu pecah dan darah mengalir seperti lukisan merah yang sangat lebar. Matanya melotot seperti di film-film horor. Aku tak takut melihatnya. Bahkan aku lebih kesal kenapa bukan tanganku yang menghabisi keparat itu. Langit sudah mulai terang. Perlahan biru itu memenuhi angkasa. Sama seperti namaku.

Langit biru

Burung biru
Mati pun biru

Tangisku biru

Matiku biru

1 komentar:

Unknown mengatakan...

apa alasan si sopir ngebunuh kakaknya biru?? ga jelas ni.. ngambang ceritanya.. pembaca kecewa :(