Kamis, 25 Maret 2010

Tarik Nafas yang Dalam

"Menunduk diam bukan berarti mati. Selama masih terdengar nafasmu berdesis, kau bisa dibedakan dari zombie. Aku suka berdiri tengah malam menatap langit sambil mengisi rongga dadaku dengan oksigen segar. Tak ada yang lebih hebat selain alam. Oksigen tersedia bebas untuk semua makhluk di dunia. Aku pernah membaca bahwa oksigen di dunia sebenarnya tak kemana-mana. Hanya masuk ke rongga hidung satu makhluk, mengalir bersama darah dan keluar sebagai karbon dioksida. Selanjutnya dihisap pepohonan untuk diolah kembali menjadi oksigen. Jadi, dengan kata lain. Bisa saja oksigen dalam tubuh kita sekarang adalah oksigen yang dulu berada di dalam tubuh dinosaurus. Aku suka dengan kemungkinan itu. Mungkin oksigen adalah satu-satunya cara bagi kita untuk berbagi dengan makhluk hidup di seluruh dunia tanpa perlu bersusah payah. Bisa saja oksigen dalam tubuhku sekarang akan berada di Eropa beberapa bulan ke depan. Mungkin dalam oksigen yang kuhisap sekarang ada bagian dari oksigen yang dulu mengisi rongga dadamu. Dan aku berharap bagian itu sedikit tersisa di dalamku. Aku ingin kamu ada bersamaku."

Pagi bukan saat yang menyenangkan. Aku tak pernah bisa tenang. Ada saja suara datang membuat tidurku buyar. Andai malam bertahan lebih panjang. Saat hampir semua makhluk terlelap, aku bisa duduk tenang di teras bersama pengerat di jalanan. Udara malam memang dingin, tapi ketenangan suasana menjelang fajar adalah saat paling menyenangkan. Untungnya aku bukan orang dengan indera tajam yang bisa melihat hal-hal seram. Bukan berarti aku takut bila harus bertemu makhluk gaib. Suasana tenang seperti malam jauh lebih berharga sampai aku rela menjerit dikagetkan kuntilanak, kabarnya hantu wanita itu beredar dekat taman seberang rumah. Seumur-umur aku belum pernah didatanginya. Semoga saja aku bukan mangsa yang diminati makhluk halus. Pagi kembali harus datang walau terus kutolak. Memang dasar tak punya malu. Mungkin aku yang terlalu bodoh. Mana mungkin manusia sekecil aku bisa mengendalikan alam. Presiden saja tak akan bisa. Yang mungkin kulakukan hanyalah mengubah jam tidurku saja. Saat pagi tiba, kukencangkan musik di kamar untuk menghalau suara berisik kamar sebelah. Pagi dan malam memang bertolak belakang, begitu juga penghuninya. Saat pagi tiba, kami makhluk-makhluk malam harus tahu diri dan menghindar. Saatnya berganti peran. Biarkan mereka manusia-manusia pagi yang mengisi hari.

Kadang aku lupa waktu juga. Saat terbangun ternyata masih tengah hari. Atau terbangun saat malam sudah hampir tergusur. Untungnya pekerjaanku tak menuntut tubuhku harus berada dimana. Yang penting tulisanku terus mengalir ke meja redaksi, uang pun masuk dalam rekening. Pekerjaan yang tak mudah, tapi aku suka. Setidaknya dengan pekerjaan seperti ini aku bisa bangun tiap malam dengan tenang saat manusia-manusia pagi bersiap untuk lelap. Walau artinya aku harus menyiapkan makan sendiri tanpa bisa mencicipi masakan di kantin, kecuali beberapa makanan siap saji yang bisa kupesan lewat panggilan telepon genggam. Masakanku tetap lebih enak dari pastinya. Dan aku boleh berbangga karena ini resep Mama.

Masalah terbesar adalah saat aku harus "lembur" untuk bertemu muka dengan mereka yang menjadi fans setia. Andai mereka juga makhluk malam sepertiku, tentu semua akan jauh lebih muda. Pakaian serba hitam dan kaca mata hitam serta topi hitam. Kostum wajib saat aku harus lembur untuk jumpa fans. Sampai-sampai mereka mengira aku adalah penggila warna hitam dan menghadiahiku boneka setan. Fans memang begitu. Padahal di kamarku banyak warna selain hitam. Aku bahkan punya boneka berwarna merah muda. Tentu saja tak ada yang tahu selain aku. Merah muda bukan warna yang pantas berada di sini. Aku bahkan malu saat menyadari warna bonekaku. Tak apa, ini bukan masalah. Yang penting aku punya kenangan istimewa bersama boneka merah muda. Tak perlu aku cerita lah, ini bukan sesuatu untuk konsumsi massa.

Pernah aku keceplosan menyebutkan si merah muda pada fans-ku saat chatting berdua. Langsung saja ditanya-tanya cerita apa yang tersimpan di dalamnya. Capai juga kalau harus menjawab pertanyaan fans gila yang tak mau selesai bicara. Segera saja kumatikan chatting dengannya. Entah apa nasib fans-ku itu, mungkin langsung marah dan merobek foto-fotoku. Mungkin juga mengutukku dengan boneka voodoo, aku ingat tak lama setelah itu langsung demam satu minggu. Dokter bilang demam biasa jadi aku tak curiga.

Malam ini juga sama dengan kebiasaanku yang sudah terlalu biasa. Keluar kamar, melayang (berjalan dengan ringan seperti terbang) ke dekat jendela teras lantai dua lalu menghisap oksigen dengan rakusnya. Satu tarikan dalam lalu lepas pelan-pelan. Lalu tarikan-tarikan lainnya. Untungnya malam tak menyisakan manusia-manusia bejat yang doyan buang angin sembarangan. Tak ada aroma kentut jadinya. Benar-benar oksigen segar. Kalau oksigen ini kasat mata, pasti seperti air sungai yang sebening kaca. Asal bukan kaca jendela di rumah ini saja.

Puas dengan oksigen, aku menyiapkan makanan dan segera melahapnya selagi hangat. Kadang kesepian juga, makan tanpa ada yang melihat. Sia-sia masakanku enak, tak ada orang untukku pamer. Kalau sedang baik biasanya aku cuci piring kotor dan peralatan masak. Kalau sedang sibuk atau keluar bejat, kubiarkan saja semua berantakan. Kadang sengaja menyisakan sedikit makanan untuk kutebar di meja makan. Sekedar kepuasan dari balas dendam pada manusia pagi yang doyan bikin onar. Dulu kamar tidurku sering diketuk siang-siang. Dikiranya aku mati di dalam karena tak pernah keluar makan. Tapi lama-lama mereka jadi tenang setelah tahu kebiasaanku bangun malam. Dasar manusia pagi, tikus saja tak seberisik dan sesibuk mereka mengurusi orang lain.

Malam ini sepi. Seperti malam kemarin dan kemarinnya lagi. Tapi malam ini sepi. Aku terus mengulang-ulang kata sepi dalam ketikanku. Ya, aku merasa sepi. Kalau saja kau ada di sini. Tapi kau sudah pergi. Gara-gara kamu juga aku menjalani hidup sebagai manusia malam. Aku terlalu marah karena kepergianmu. Kau hidup di pagi hari, jadi aku akan hidup di malam hari. Aku tak mau hidup di waktu yang sama denganmu. Tapi aku sangat-sangat merindukanmu. Andai hatimu tak berubah. Mungkin aku masih tetap manusia pagi yang dulu riang gembira.

"Mungkin mereka benar mengataiku gila. Tapi mereka tak tahu ceritanya. Tak ada yang bertanya kenapa. Jadi aku pun tak perlu memberitahukannya."

Suara hatiku selalu berkata begitu, padahal aku yang bersembunyi dari dunia. Aku yang ingin hidup di dunia malam. Bukankah kamu juga sudah tak di kota yang sama. Kenapa aku harus sembunyi dari hidupku yang lama. Mungkin saja kau juga sudah berubah menjadi manusia malam tanpa pernah aku tahu. Atau mungkin kau tak lagi berada di dunia. Persetan denganmu. Aku tak ingin lagi memikirkanmu. Saat aku berkata begitu, air mataku menitik tak kusuruh. Aku tak bisa. Tak bisa melupakanmu.

Aku yang salah. Aku yang salah. Kalau saja dulu aku lebih dewasa. Cara berpikir kita terlalu beda. Aku yang salah.

Oksigen kini membuatku jengah. Aku merasa kau masih ada. Saat kulepas semua oksigen di dada, berharap kau ikut terlepas bersamanya. Tapi kau masih tetap ada. Dan aku menangis senangis-nangisnya. Aku menangis sampai nafasku tersengal. Aku menangis dan asmaku kambuh. Aku menangis sampai asma membunuhku. Air mata dan asma membunuh manusia yang tak bisa melupakan masa lalu.

Tidak ada komentar: