Sabtu, 20 Maret 2010

Jingga

Jingga adalah anak pertama dari lima bersaudara
Gadis cantik yang masih belia
Jingga siswi pujaan di sekolah
Belia pandai dan berprestasi
Jingga adalah korban ketiga
Jingga adalah aku

Harus kumulai semuanya dari satu minggu sebelum pembunuhan terjadi. Aku adalah Jingga. Anak pertama dari lima bersaudara. Aku duduk di kelas tiga SMA. Kami berlima memiliki nama dari warna-warna pelangi. Ibu meninggal sebelum sempat menggenapi ketujuh warna pelangi. Penyesalan terbesar ayah adalah karena aku terlahir dengan cacat bawaan. Aku memiliki ujung ibu jari tangan kiri yang bercabang. Bisa dibilang tangan kiriku memiliki enam kuku. Kekuranganku itu tersamarkan oleh kelebihan yang aku miliki. Sebagai gadis belia aku termasuk cantik. Selain itu aku juga berprestasi. Aku termasuk anak yang cukup dikenal mudah bergaul dan sopan. tentu saja, ayah dan ibu sangat ketat soal tata krama. Kami berlima adalah anak ayah dan ibu yang tak perlu dipertanyakan kesopanannya. Kami diajar dengan baik. Keluarga kami bahagia. Ayah dan Ibu juga menjadi teladan yang sempurna. Ayah seorang pegawai negeri dengan penghasilan yang mencukupi. Ibu adalah ibu rumah tangga yang cantik dan sangat ramah. Semua itu berakhir sejak ibu meninggal. Ayah menjadi pendiam dan sangat dingin. Tak ada satu pun dari kami yang berani mendekat ketika ayah sedang marah. Kemarahan Ayah kadang dipicu hal-hal kecil. Kami berlima semakin diam ketika berada di rumah. Tapi kami cukup bahagia karena kami masih punya Ayah.

Sebulan sebelum pembunuhan aku mulai pacaran. Andi namanya. Teman sekelas yang menjadi idola. Semua orang iri melihat kami bersama. Tapi aku merasa biasa saja. Andy terlalu vulgar saat sedang berdua. Tapi kami tak melewati batas yang semestinya. Andy tahu Ayah bisa membunuhnya kalau berani macam-macam. Seminggu sebelum pembunuhan aku dan Andy sepakat bertemu di taman kota pada hari jumat sepulang sekolah. Setiap jumat di dekat taman ada pasar murah. Banyak anak remaja dan anak-anak datang ke pasar murah. Di sana ada berbagai macam kue dan jajanan murah, ada penjual pakaian dan berbagai macam tenda yang menjual pernak-pernik, permainan, makanan dan pakaian. Aku dan Andy paling suka membeli susu kedelai dan martabak telur lalu duduk di bawah pohon besar di tengah-tengah taman. Ada tulisan besar "dilarang menginjak rumput" yang sering kami cabut ketika akan duduk di rerumputan bawah pohon (dan tak pernah lupa memasangnya kembali setiap kami akan pulang). Aku bahagia. Andy pun terlihat sama.

Hari sabtu kami wajib pergi ke makam Ibu untuk membersihkan rumput serta menabur bunga kesayangan Ibu ke atas makam. Kami melakukannya sejak hari pertama Ibu dimakamkan di sana. Seperti biasa, ayah akan berdandan rapi dan mengumpulkan anak-anaknya untuk bergegas pergi ke makam Ibu. Kadang kupikir ayahku sedikit gila. Kami wajib melakukannya setiap minggu, tepat hari sabtu bahkan ketika hujan mengguyur kota. Tapi aku kagum pada cinta Ayah yang begitu besar pada Ibu. Tak sekali pun kulihat Ayah mendekati wanita lain semenjak kepergian Ibu. Kadang aku kasihan melihatnya. Seharusnya ada seorang wanita dewasa yang mengurus rumah tangganya. Kami butuh kehangatan seperti waktu Ibu ada.

Pulang dari makam, aku menyiapkan makan siang. Setelah kami duduk bersama, Ayah tiba-tiba tersenyum ramah. Ia memandangi kami satu per satu. Hal yang tak biasanya dilakukan Ayah sejak hatinya membeku. Kami membalas senyuman Ayah seolah itulah matahari pertama yang kami dapat setelah sekian lama. Ayah lalu terisak. Ia meminta kami mendekat lalu kami didekap erat. Sambil teriak aku sempat mendengar Ayah berbisik meminta maaf karena kesalahannya telah melupakan kehangatan yang seharusnya kami nikmati seperti dulu. Ayah berjanji akan berubah. Kami pun terisak bersamanya dalam waktu yang cukup lama. Kami seperti menemukan kehangatan yang tersimpan lama di dalam hati Ayah.

Minggu pagi Ayah mengajak kami piknik bersama. Kami semua sangat gembira. Ayah benar-benar berusaha mengembalikan keceriaan dalam keluarga. Ia sempat menggendong Hijau, adik terkecilku. Kami semua tertawa bahagia seharian. Waktu seakan begitu cepat berlalu. Tapi kami tahu, Ayah telah kembali. Senin pun tiba. Aku kembali ke sekolah bertemu Andy. Pada saat istirahat tiba, aku menceritakan kebahagiaanku padanya. Andy terlihat senang dan ia merasa aku terlihat sangat ceria hari ini. Tentu saja, karena aku sangat menginginkan Ayah kembali menjadi Ayah yang hangat dan ramah. Dan itu terjadi kemarin seolah aku sedang bermimpi. Lebih menggembirakan lagi karena mimpi itu menjadi kenyataan. Setelah asik bercerita, jam masuk pun berbunyi. Kami melewatkan makan siang karena ceritaku. Andy terlihat kelaparan di kelas. Aku merasa kasihan padanya.

Hari selasa seperti biasa aku bersekolah. Adik pertamaku Kuning titip beberapa jajanan dari kantin sekolah. Aku menyisihkan sebagian uang makan siang untuk membelikannya. Aku sangat sayang mereka. Sejak Ibu tak ada, akulah yang mereka punya. Karena aku perempuan dan aku paling tua diantara mereka. Aku merasa wajib merawat adik-adikku. Setidaknya mereka tak perlu merasakan apa yang kurasa. Akan jauh lebih baik bila mereka masih ada seorang yang lebih tua dan sayang pada mereka. Tapi sekarang Ayah sudah kembali seperti Ayah yang dulu. Dan bebanku setidaknya lebih sedikit sekarang ini. Sepulang sekolah aku mampir ke toko buku untuk mengembalikan pinjaman majalah. Aku sangat suka membaca. Dalam satu minggu aku bisa menghabiskan puluhan majalah dan komik. Aku juga suka novel dan cerpen. Sangat menyenangkan menjadi pelajar, karena kami mendapat potongan harga untuk setiap buku yang kami pinjam. Selain itu, pemilik toko juga sudah kenal dekat dengan anak-anak sekolah kami sehingga kami leluasa berada di sini. Saat tak ada uang pun kami diizinkan membaca di tempat. Tapi tentu saja dibatasi untuk buku-buku lama. Sedangkan buku baru wajib disewa.

Hari rabu aku pergi ke ulang tahun temanku Karla. Pestanya sederhana tapi sangat menyenangkan. Ayah dan Ibu Karla sangat ramah, mengingatkanku pada Ayah dan Ibuku sendiri. Karla pasti bahagia menjadi anak mereka. Andy juga datang tapi tak bersamaku. Dia lebih memilih untuk kumpul bersama rombongan anak laki-laki lainnya. Bukan masalah buatku karena kami selalu bersama dilain waktu. Andy pun bukan orang yang suka berganti pasangan. Aku tahu itu karena akulah pacar pertamanya di sekolah. Tak sekalipun ia melirik atau mendekati perempuan lain selain aku. Aku merasa telah menemukan pendamping hidupku, walaupun aku tahu perjalanan kami masih sangat panjang.

Hari kamis pun begitu. Tak ada satu pun pertanda bahwa besok adalah hari kematianku. Aku sempat bermain dengan adik-adikku di depan rumah. Kami bercanda dan terbahak-bahak sambil menunggu Ayah pulang. Boleh dibilang, kami telah menemukan kehangatan yang kami cari. Keluarga seperti inilah kami sewaktu Ibu masih ada. Kami bahagia. Aku sangat bahagia. Ayah pulang membawa ikan bakar yang dibelinya dekat kantor. Kami makan bersama dengan lahap. Ikan bakar yang ayah beli rasanya enak sekali. Lebih nikmat karena kami makan bersama dan bahagia.

Hari jumat aku masuk sekolah dan seperti biasa sepakat dengan Andy untuk bertemu di taman. Sepulang sekolah aku sempat mengantar jajanan kesukaan adikku ke rumah. Lalu aku mandi dan bersiap ke taman. Di depan rumahku muncul orang gila yang terlihat kasihan. Seorang pria renta yang tampak kebingungan dan kelaparan. Aku takut tapi memberanikan diri menyerahkan sejumlah uang yang kubawa agar ia bisa membeli makanan dengan uang itu. Tapi nampaknya sia-sia. Setelah menyerahkan uang dan bergegas, aku melihat orang gila itu membuang uangnya ke tempat sampah. Aku tak perduli dan terus berjalan. Tiba-tiba dari belakang ada orang yang membekap mulut dan menarikku ke dalam semak-semak di dekat jalan. Aku meronta tapi tak bisa, tenaganya terlalu kuat. Di sana aku sangat ketakutan dan teringat adik-adikku. Mungkin saja setelah ini penjahat yang mencengkeramku akan pergi ke rumah dan menyakiti adik-adikku. Aku tak tahu siapa dia, tapi dia menjahatiku. Setelah itu aku dicekik sampai mati. Langit tiba-tiba mendung dan hujan mengguyur jasadku, menghapus air mataku.

Sabtu sore jasadku ditemukan. Aku melihat Ayah sangat terpukul melihat jasadku. Sabtu ini Ayah dan adik-adikku tak pergi ke makam Ibu, tapi mereka menyiapkan jasadku. Aku mati dan pelaku pembunuhan tak pernah ditemukan. Aku tak tahu siapa dia, dan memang bukan orang yang kukenal. Aku menangis di dekat Ayah dan adik-adikku, berharap mereka bisa menerima kepergianku. Andy pun datang ke pemakanku dan terlihat sangat berantakan. Sepertinya ia merasa bersalah karena tak mampu menjagaku. Tapi bukan salahnya kalau hari itu aku mati dibunuh. Aku tak pernah menyalahkan siapapun. Roh ku hanya bertahan beberapa hari di bumi sebelum malaikat maut menjemputku. Aku meninggalkan adik-adikku dengan cara yang sangat kejam. Aku merasa bersalah karena tidak berhasil mempertahankan kehangatan yang baru saja mereka rasakan setelah sekian lama. Aku takut Ayah kembali membeku.

Tidak ada komentar: