Sabtu, 13 Maret 2010

Menangislah

Ada orang yang takut menangis
Ada juga yang senang mempertontonkannya
Hidup ini tak akan puas bila tak disentuh oleh tangisan
Menangis adalah wajar
Menangislah karena kamu adalah manusia


Lima subuh dan kau belum juga pulang. Aku khawatir apa yang mungkin terjadi padamu. Kota ini begitu kelam, hunian sarat kejahatan. Cemasku tak juga berlalu hingga enam subuh. Telepon genggam seakan tak mencapaimu. Entah di bumi bagian mana kau bersembunyi. Atau sinyal ponsel yang mempermainkan rasa cemasku. Yang jelas kamu keterlaluan. Tak sekalipun membalas pesan-pesanku. Aku marah dan tak berdaya. Berharap memiliki teknologi super canggih seperti di film-film zaman sekarang. Bisa mendeteksi keberadaanmu dalam hitungan detik saja. Aku masih menunggu dengan mata bengkak sisa tangis semalam. Pikiranku kacau sekarang. kopi pahit yang sangat kental di atas meja (dan sekarang sudah dingin nampaknya) tak tersentuh oleh bibirku. Khayalanku bagai loncatan film aneka seri terus dimainkan bersama kepulan asap rokok di atas kepala. Aku mulai merokok sejak kau sering terlambat pulang satu bulan belakangan. Aku tahu kau benci perokok. Tapi kau pulang dengan baju penuh bau perokok. Aku mulai merokok karena kukira sesungguhnya kau sangat mencintai asap rokok. Buktinya, kau tak mampu menghindari asap-asap itu menyentuh setiap jengkal bajumu. Pertahanan yang kau buat selama ini runtuh kiranya. Kau kalah oleh pengepul satu ini, bau asapnya sama. Tentu mengepul dari bibir yang sama.

Pintu itu terbuka tepat ketika mataku mulai terpejam. Aku terlalu capai untuk bertanya dari mana kamu semalam. Sama capainya, kau pun diam melepas pakaian lalu bergegas mandi. Dulu setiap kau melepas pakaian berarti aku siap dicumbu. Tapi sekarang beda. Setelah mandi kau pasti tertidur pulas. Bukan di ranjang tapi di sofa depan televisi. Aku sengaja membiarkan rokok ini mengepul di wadahnya. Biar kau tak nyaman di sofa dan pindah ke ranjang bersamaku. Tapi aku salah. Mungkin sekarang kau lebih cinta bau rokok daripada istrimu sendiri. Kau menjadi lelaki paling brengsek dalam hidupku. Aku butuh sentuhan itu. Sentuhan yang membuatku menggila inginkannya. Aku masih wanita. Dan kau seorang suami. Aku menangis lagi dengan mata yang semakin membengkak. Tapi aku yakin kau tak perduli.


Dan siapa wanita kesepian ini
Mengerang dalam tangisannya tanpa ada yang perduli
Bahkan seorang suami yang berada di sisi
Tak membuatnya lepas dari birahi
Perempuan malang yang harkatnya dikebiri


Bangun dari capai dan tidurku yang lelap, aku sadar kau seharusnya tak di sini. Kau duduk termenung di pinggir ranjang tempatku meringkuk seharian. Auramu suram tanpa berkas sinaran. Aku semakin takut dan sendirian. Firasatku bilang kau tak datang untuk satu alasan yang ingin kudengar. Dan itu benar. Pembicaraan kita dimulai dari sapaan malas. Kau bertanya apa aku sempat mengisi perutku semalam (pertanyaan gamblang yang tak perlu kau umbar karena kau tahu pasti apa jawabnya). Lalu mulai kau sentuh tanganku. Tapi bukan sentuhan mesra seperti dahulu. Kau menyentuhku dengan rasa kasihan. Seolah akulah anak jalanan yang sempat kau beri senang lalu siap dilepas kembali ke asal. Aku siap mendengar kelanjutan dari kejujuran. Aku sudah mati sejak kau jarang pulang.


Wanita itu mencuri cahayamu dariku. Wanita yang tak kukenal bahkan namanya sekalipun. Teman kantormu yang cantik semampai katamu. Aku tak perduli pelacur itu secantik apa. Yang jelas ia berhasil merenggutmu dariku. Dan akulah korban dari penindasan di atas ranjang itu. Benang merah yang mengikat kita sekian lama akhirnya harus putus oleh gesekan kelamin kalian berdua. Wanita yang belum kau nikahi itu, aku tak tahu apa yang ada dalam pikirannya saat menyetubuhimu. Yakin sekali dirinya bahwa kau akan meninggalkanku demi dirinya. Kau memang lelaki tak punya hati. Aku hanya diam di atas ranjang. Suaraku tercekat dalam-dalam. Roh ku berteriak memecahkan alam bawah sadarku. Aku seperti manusia yang tiba-tiba jiwanya terhisap hilang. Betapa bodohnya penantianku selama ini hanya untuk sampai di sini. Seharusnya kubiarkan tubuh ini bebas dijamah lelaki lain sama seperti kelaminmu yang pasrah dinikmati pelacur jahanam yang berhasil menjinakkanmu melebihi aku. Tapi aku masih wanita sok suci dan mengagungkan kesetiaan buta. Aku masih punya harga diri setiap membayangkan tubuhku disentuh tangan-tangan lelaki yang belum pantas menyentuhku sedangkan suamiku sendiri tak pernah lagi mau menyentuhku. Jiwaku menangis histeris walau tubuhku kehilangan semangat itu. Aku terlalu capai bahkan untuk sekedar meludahi mukamu. Aku melayang ke dapur untuk mencari minuman. Aku seperti mayat sedang jalan-jalan. Berputar di dapur sambil memegang gelas berisi minuman keras. Menunggu otakku kembali berfungsi untuk mencerna kasus ini menjadi keputusan akhir yang kuambil.


Seringai keji mengintip dari balik jasadku
Iblis bernyanyi dalam hatiku
Aku pun berbisik lirih dalam kegilaanku
Jangan salahkan aku


Malam setelah pembicaraan itu, aku mengambil alamat si pelacur dari buku catatan suamiku dan Kukirim satu pesan singkat berisi kedatanganku, tentu atas nama suamiku. Aku yakin pelacur itu bersiap dalam balutan lingerie seksi keluaran terbaru. Dugaanku tak meleset barang satu senti pun. Ia kaget melihat kedatanganku. Tapi terlambat baginya untuk mengusirku. Aku masuk dan duduk di atas sofa ruangan mewah itu. Bahkan sempat terbayang khayalan erotis tentang pelacur ini dengan suamiku di atas sofa yang kududuki. Ia nampak malu campur gelisah. Malam ini kuantarkan kelamin suamiku yang kupotong darinya sehabis pembicaraan terakhirku dengannya. Pelacur itu menjerit histeris dan berlari menjauh dariku. Tapi aku bukan wanita lemah. Suamiku saja kalah dan mati tak berdaya. Pelacur itu tewas mengenaskan ditanganku. Dan aku, wanita korban perselingkuhan itu, meloncat dari jendela apartemen sewaan mereka. Sempat kutuliskan kisahnya di selembar kertas bernoda darah agar polisi tak salah mengira-ira apa yang terjadi sebenarnya. Aku tak mau mereka salah sangka menganggapku gila.


Dan tangisan itu tiba pada tetes terakhirnya
Setelah kematian tiba



1 komentar:

Anonim mengatakan...

hukuman yang pantas bagi para pengkhianat cinta...
sayang wanita itu memilih mati juga

-IKO-