Sabtu, 20 Maret 2010

Dandelion

Sekitarku berisik
Aku ingin tenang bersendiri
Terpaan raut muka membuatku mual
Aku butuh ruang
Sepi itu tak hilang dengan riuh
Kepingan kaca yang hilang bukanlah mereka
Tapi dia

Sketsa hari ini kuselesaikan setengah. Sambil mengecap teh hangat di ruang tamu dan pensil masih erat kupegang di tangan satunya. Beberapa hari tanpa dia yang kucinta, sepi sekali dunia ini. Begitu sepinya sampai-sampai kupikir diriku ini makhluk satu-satunya tanpa spesies sejenis lainnya. Tiba-tiba muncul makhluk-makhluk berisik dari kediaman mereka. Berkunjung ke wilayahku. Lebih tepatnya wilayah bersama yang saat ini sedang kujajah. Mula-mula muncul satu. Lalu dua lagi bertambah, kemudian menjadi lima. Pemutar musik ini setengah menyelamatkan mereka dari emosiku yang terpendam cukup lama. Mungkin mereka bisa jadi pelampiasan. Tiba-tiba salah satu makhluk itu berani membangunkan emosiku dengan bertanya sesuatu yang tak jelas kutangkap kata-katanya. Karena tak kujawab, ia nekat menarik buku sketsaku. Tanpa kompromi pensil di tanganku melesat ke tangannya dan menusuk tepat di permukaan tangannya yang nampak cukup empuk. Darah pun mencuat diikuti teriakan histeris makhluk-makhluk kawanannya.

Ujung pensilku patah. Begitu juga bayangan menyenangkan itu. Aku terpaksa berpaling melepas pemutar musik di telingaku dan bertanya sekali lagi isi pertanyaannya. Setelah menjawab sekenanya, aku memasang kembali pemutar musik rapat-rapat ke dalam lubang telinga. Berharap tak pernah lepas lagi. Sketsa ini menuntut untuk diselesaikan segera. Bukan tugas, tapi aku tahu ia ingin hadir ke dunia lewat goresan tanganku. Dan aku wajib mewujudkan keinginannya walaupun sketsa itu tak membayarku barang sepeserpun. Uang memang sulit didapat sekarang ini. Apalagi kalau berharap imajinasi tolol itu akan membayarmu dengan uang sungguhan. Sama saja berharap kentut akan berubah jadi emas. Dengan kata lain, sia-sia saja. Anak-anak zadam itu beranjak juga akhirnya. Kupikir area ini bisa kembali kujajah sendiri, ternyata tidak. Muncul lah pahlawan yang membebaskan penjajahanku di area ini. Seekor lebah penyengat seukuran kecoak.

Kesal dengan kebisingan makhluk-makhluk mengesalkan itu ditambah penjajahan oleh pihak ketiga, aku memutuskan untuk melanjutkan sketsa setengah jadi ini di taman. Sebuah petak di depan kos yang bahkan tak pernah kuhampiri sejak pertama tinggal di sini. Aroma sesatnya begitu kental. Lapangan kosong yang kadang dipakai untuk bermain badminton oleh begundal kampung atau sekedar tempat olah raga pagi bagi warga perumahan dalam. Lapangan ini bisa menyenangkan seandainya aku lebih sering menjamahnya. Bisa dibilang ini tempat yang selama ini kuimpikan. Sebuah tempat kosong dihiasi rumput dan perdu di sekelilingnya. Andai tempat ini hanya aku sendiri yang tahu, tentu akan jauh lebih baik. Aku baru ingat alasan sebenarnya kenapa aku tak pernah berada di tempat ini. Karena aku paling benci kesendirianku diganggu. Terutama seperti saat ini, dimana aku sangat ingin sendiri. Selama ini hanya kamarku yang menjadi markas tetap ketika aku ingin sendiri. Kadang lemari baju atau kolong meja juga menjadi tempat favorit. Setidaknya tempat-tempat itu membuatku nyaman. Lanjut dengan sketsa di tanganku yang menggebu-gebu ingin diselesaikan aku pun duduk di bangku semen buatan penduduk setempat. Gratis untungnya. Dengan musik dan pensil di tangan, aksi pelunasan janji ini dilanjutkan. Angin sepoi dan cahaya matahari cukup membuatku nyaman berlama-lama di sini. Dua jam dan sketsa ini rampung. Aku menghela nafas lega campur puas. Dan tanpa sadar aku telah jatuh cinta pada tanah jajahan yang baru.

Tiba-tiba ingatanku kembali pada cintaku yang pergi terlalu lama. Rasanya seperti es batu yang tiba-tiba berubah menjadi air panas mendidih. Tak enak rasanya, tapi juga tak bisa dicegah. Garukan di kepala setidaknya membuatku sedikit lega, mungkin emosinya sedikit terbawa bersama garukan-garukan itu. Segera kukibaskan tangan seolah-olah emosi itu tersangkut di bawah kuku tangan. Mataku tertuju pada area pinggir lapangan berisi rumput hijau. Tanpa pikir panjang kurebahkan diri di sana. belum satu menit, gangguan pun tiba. Hidungku mencium bau tak sedap yang kukenal. Tahi kucing. Kucing sialan, buang berak tak pikir panjang. Tergeletak tak jauh dari tempatku merebah, dalam keadaan setengah kering nampaknya. Makin kulihat tahi itu seolah mengejekku dari tempatnya berada. Segera kusingkirkan dengan kertas kosong dari buku sketsa. Akhirnya, rumput hijau ini menjadi milikku sendiri. Tanpa pengganggu dan tahi kucing, aku merasa lega berada di sini. Mungkin seharian pun aku mau di sini.

Aku membayangkan diriku adalah sebuah lahan. Dan dari dalam diriku tumbuh dandelion. Ia menghisap segala cemas dan asa lewati akar dari dalam tubuhku, menghasilkan benih dari semua yang diserapnya, lalu menyebarkan ke seluruh penjuru dunia. Kadang aku berharap diriku juga sama seperti dandelion. Kuat dan tabah menghadapi dunia. walau ia dianggap gulma di beberapa belahan dunia, bagiku ia tanaman yang sangat indah. menakjubkan. Kalau saja di Indonesia bibit dandelion mudah ditemukan, pasti sudah kutanam di taman ini. Tapi mungkin ia menakjubkan karena tak kutemukan di belahan bumi tempatku berada. Kalau dandelion sebanyak di luar negeri sana, mungkin aku pun tak setakjub ini padanya. Sama seperti orang bule yang datang jauh-jauh ke Indonesia hanya untuk berjemur matahari, sementara kita berlomba-lomba memutihkan kulit dengan berbagai cara.

Selesai dengan petualangan hari ini, kulepas tanah jajahan baru untuk sekarang. Besok mungkin aku akan kembali. Tentunya sewaktu tanah ini kosong tanpa pengganggu. Tiba-tiba kantung celanaku bergetar. Ada pesan singkat masuk, dari cintaku. Aku melirik malas ke layar ponsel. Tanpa pikir panjang kubuang ke tempat aku membuang tahi kucing tadi. Kalau saja hidup itu tak butuh teknologi, tentu akan lebih nyaman. Kemanapun aku pergi, tak ada yang akan mencari. Tak seperti saat ini. Aku tak bisa bersembunyi. Kemanapun aku pergi, mereka tinggal pencet tombol untuk menghubungi. Semua semakin mudah padahal aku hidup dengan konsep lama. Aku butuh sentuhan tangan dan pelukan. Bukan sekedar pesan elektronik yang tak bernyawa.

Sepi ini membuatku gila
Tak bisa diobati sembarang suara
Bukan juga sembarang jiwa
Aku butuh dia

Benih dandelion dalam diriku terus menghisap perihku dengan rakusnya. Tak lama lagi ia akan tumbuh menjadi bunga, lalu bunga berkembang menjadi benih. Saat matang, ia siap pergi. Menjadi dandelion lainnya yang akan terus mengosongkan kekesalan hati setiap insan yang tersakiti. Dandelion terbanglah tinggi mencapai hati manusia penyendiri. Mereka ingin dimengerti. mereka ingin diobati.

1 komentar:

Anonim mengatakan...

sepi ini membunuhku...
aku suka kalimat ini, seringkali di tempat ramai pun sepi masih menyelinap untuk membunuh kita; namun terkadang juga kita mencari-cari sepi dengan sekuat tenaga di kala pikiran kita terlalu ramai.
sepi...
terkadang membunuh terkadang menghidupkan...

-IKO-