Kamis, 25 Maret 2010

Terang yang Kupegang

Mia adalah gadis cantik terpelajar
Anak keluarga kaya dan terhormat
Mia cantik seperti malaikat
Berkilau tanpa cacat
Bintang fajar yang menjelma
Turun ke dunia
Mia temanku
Terang untukku

Terlalu banyak cerita menyedihkan yang muncul dari ketikan tanganku. Tak jarang pembaca protes minta ganti cerita. Tapi maaf saja, aku tak pandai menulis tentang bahagia. Mungkin cerita ini boleh beda. Tapi aku tak berani yakin juga.

Mia adalah gadis cantik anak pedagang kaya di kotaku. Anaknya sopan dan terpelajar. Kata-katanya santun bersahaja. Orang tua mana juga mendambakan mantu seperti dia. Mia memang gadis sempurna. Ayah Ibunya pasti bangga. Anaknya tak pernah membantah atau memerintah. Semua tugas dilakoninya. Guru-guru juga sayang padanya. Sudah SMA tapi tak bertingkah. Senior wanita hanya bisa menggunjing tanpa berani menyentuhnya. Tentu saja, mana ada yang berani melukai anak kesayangan guru. Bukan berarti Mia menjadi-jadi. Buktinya dia mau berkawan denganku. Anak sekelas yang selalu diam menyendiri. Tapi mia sangat baik. Memuji setiap karyaku. Aku suka sekali menggambar. Dan Mia terus menyalakan semangatku. Tapi aku cukup tahu diri bahwa itu bukan perhatian seorang kekasih. Aku menganggapnya kakak karena Mia jauh lebih dewasa. Bukan usia tapi sikapnya.

Di kelas kami duduk berdua. Tak jarang orang mengira kami pasangan. Tapi orang yang kenal pasti tahu tak mungkin demikian. Mia sebagai anak orang kaya sudah punya pasangan. Aku pernah bertemu pasangannya. Mia beruntung dijodohkan dengan anak laki-laki tampan dari keluarga kaya. Mereka serasi sekali berdua. Aku tak iri padanya, juga pasangannya. Seperti kubilang, aku cukup sadar diri. Dan aku bukan manusia yang suka melihat materi. Mia selalu bersinar untukku, dan itu sudah lebih dari cukup bagiku. Aku anak seorang buruh. Ayahku galak dan suka mabuk. Ibuku penjudi handal di kampung. Lebih gawat lagi, aku anak satu-satunya. Mungkin saja yang diwariskan padaku nanti hanya surat hutang. Ibuku pernah didatangi tukang tagih. Tanpa beban aku pun dijadikan jaminan. Untungnya aku bukan manusia yang tampan. Di jual pun tak laku di pasaran. Akhirnya rumah yang dijadikan jaminan. Aku cukup beruntung masi bisa sekolah berkat uang bulanan dari Paman. Itu pun uangnya langsung dibayar ke sekolah. Paman tahu, uang itu tak akan selamat begitu sampai ke tangan Ibu. Apalagi kalau ada Ayah yang lagi mabuk. Bisa-bisa mereka saling membunuh demi uang tak banyak. Ibuku hebat bisa menyaingi keganasan Ayah. Tak sia-sia dia disebut wanita super. Ibu sangat mengerikan kalau marah. Ditambah bekas luka di pipi bekas kena parang Ayah. Walau jarang tapi kadang mereka mesra. Saat Ibu menang judi dan Ayah tak sedang kumat, mereka duduk di teras makan gorengan dan teh hangat. Kalau beruntung, Ibu akan memijatkan pundak Ayah. Tapi itu sangat jarang.

Hidupku yang kelam membuatku diam di sekolah. Aku tak berani melihat mereka yang hidupnya serba mewah. Kadang aku membayangkan mereka seperti boneka keramik yang akan pecah bila kusentuh, dan aku tak punya uang untuk menggantinya. Lebih baik aku menjauh dari mereka. Tapi Mia beda. Mia bercahaya dan tak seperti mereka. Mia bukan boneka keramik yang mudah pecah. Aku nyaman berada di dekatnya. Mia memang kakak yang kuidamkan selama ini. Untungnya Mia mau menerimaku menjadi adiknya di sekolah.

Pulang sekolah biasanya aku tak langsung ke rumah. Paman meminta Bibi siapkan makan siang untukku. Paman sangat baik padaku. Entah kenapa Ibu tak memiliki sedikitpun sifatnya. Andai paman mau membiarkanku tinggal bersamanya walau aku harus kerja di sana, lebih baik daripada menikmati pukulan Ayah dan makian Ibu. Tapi Paman juga tak berdaya. Ibu tak pernah merelakanku. Mungkin Ibu berpikir suatu hari nanti bila terpaksa, aku bisa dijual ke rumah jagal setelah gagal menjadikanku jaminan. Tak ada yang tahu isi pikiran penjudi yang butuh uang. Aku sebagai anak juga tak pernah tahu. Paman sebagai adik Ibu pun tak pernah tahu jalan pikiran Ibu.

Mia hari ini membawakanku bekal, berarti siang ini aku tak ke rumah Bibi. Atau mungkin aku akan mampir ke sana sekedar menghabiskan waktu daripada di rumah. Mia bercerita, tahun depan dia dan keluarganya akan pindah. Aku agak sedih mendengarnya, tapi nafsu makanku tak kemana-mana. Jarang aku bisa makan makanan mewah milik orang kaya. Pulangnya, aku menangis sejadi-jadinya dalam kamar sampai Ibu menyiramku dengan air comberan. Ibu kira aku kerasukan, berani-beraninya gaduh saat komplotan Ibu asik menghamburkan uang.

Enam tahun kemudian aku sudah dewasa. Sudah lulus kuliah dan kini bekerja. Pamanku memang luar biasa. Biaya kuliah semua ditanggungnya. Sekarang aku bisa jauh dari rumah. Kalau aku pulang kampung, selalu hinggap di rumah Paman. Sejak kuliah aku putus hubungan dengan orang rumah. Alasannya sibuk kuliah, tapi sebenarnya aku senang lepas dari mereka. Sedangkan Mia kini mengandung anak kedua. Aku pernah bertemu keluarganya saat di Jakarta. Mia si bintang senja, sampai sekarang tetap bercahaya. Terang yang pernah kupegang tanpa membakar. Teman sekaligus kakak yang akan kukenang.

Lucu juga mengenang masa kecil yang kelam. Kalau mau bilang kelam, sebenarnya ada bagian senang. Mungkin hidup memang demikian. Ada saatnya malam digantikan terang. Kalau aku masih berpikir dengan caraku sewaktu dulu, tentu aku tak akan sampai di titik sekarang. Hidup ini terus berjalan seperti bintang senja yang kadang temaram. Tapi bintang senja tetap di sana sampai terang meremang. Pada saatnya, cahaya itu akan kembali bersinar di antara malam yang kelam.

Tidak ada komentar: