Minggu, 21 Maret 2010

Kuning

Kuning seharusnya ceria
Kuning itu bahagia
Tapi kuningku bukan kuning yang dimaksud
Kuningku buram tanpa celah
Tenggelamkan aku dalam tanah

Kak Jingga, Inga panggilannya. Aku rindu dia. Sejauh apapun aku mencari, aku tahu itu percuma. Jingga telah pergi jauh bersama kawanan pelangi. Dan aku Kuning, harus menanggung bebannya yang belum selesai.

Panggil aku Ning, sama seperti panggilanku di sekolah. Kalau di rumah Ayah selalu memanggil kami berlima dengan nama lengkap. Jingga, Kuning, Biru, Nila, Hijau. Obsesi Ayah dan Ibu dulu adalah menciptakan pelangi dalam keluarga. Kami mendapat masing-masing satu warna sebagai nama. Usia kami masing-masing berselang dua tahun. Ayah termasuk orang yang suka anak banyak. Lebih tepatnya, Ibu yang memaksa ingin memiliki tujuh warna pelangi sebagai anak-anaknya. Kak Jingga, anak pertama mereka telah redup warnanya dan kembali ke angkasa. Hal itu terjadi dua tahun lalu. Sekarang aku duduk di kelasnya. Mungkin aku juga duduk di kursi yang sama seperti kursi yang diduduki Kak Jingga semasa hidupnya dulu. Bedanya, aku tak secantik ataupun sepintar Kak Inga. Tapi aku mahir memasak dan olah raga. Tentu saja, sejak Kak Inga tiada, akulah yang sehari-hari menyiapkan makanan di rumah. Walau adik-adikku sering membandingkan rasa masakanku yang tak seenak masakan Kak Inga, aku tetap menyiapkan untuk mereka. Karena itu permintaan Kak Inga. Orang yang dulu menjadi tumpuan setiap air mata dan curahan hatiku. Aku sungguh merindukannya.

Setahun sebelum Kak Inga meninggal, aku masih ingat masa-masa itu. Saat aku baru dimarahi Ayah karena nilai ujianku menurun. Aku menangis sejadi-jadinya di bahu Kak Inga. Saat itu Ayah begitu dingin. Nasib kami seperti bawahannya di kantor. Begitu ada kesalahan, Ayah tak segan-segan membentak kami dengan keras. Bukan hanya sebentar. Kemarahan Ayah bisa bertahan seharian (kalau bahan bakar emosinya sedang banyak). Kak Inga selalu menjadi penengah, tapi tentu saja gagal. Pada akhirnya kami berlima hanya bisa diam menunggu kapan kobaran api itu padam. Perlahan kami menjadi semakin diam. Kak Inga adalah yang paling sulung. Tak terbayangkan betapa berat beban yang ditanggungnya sejak Ibu tiada. Lalu suatu malam, Kak Inga datang ke kamarku karena ia tahu aku tengah terisak setelah mengalami amukan Ayah. Kak Inga mengangkat wajahku dari bantal yang setengah basah oleh air mataku. Ia meletakkan wajahku di pangkuannya sambil terus membelai rambutku. Sambil membelai aku mendengar bisikannya. Ia bercerita betapa Ayah sangat mencintai kami, dan juga tentang Ayah yang menangis sendiri di kamarnya setiap habis marah. Kakak begitu tegar menghadapi itu semua. Ia mengajariku menjadi kuat agar suatu saat nanti ketika ia tiada, akulah yang akan mengerjakan tugasnya. Permintaannya saat itu membuatku ketakukan, seakan-akan ia akan meninggalkanku saat itu juga. Aku memeluk erat pangkuannya sambil terisak dan memintanya jangan pernah meninggalkan kami.

Sebentar lagi ujian. Setelah itu, mau tak mau aku akan pergi ke luar kota untuk melanjutkan pendidikanku ke perguruan tinggi. Tapi rasanya begitu berat memikirkan bagaimana Ayah dan adik-adikku nantinya. Aku tahu betapa sakitnya ditinggalkan oleh orang yang kita sayangi. Aku tak mau adik-adikku merasakan lagi kehilangan satu orang dalam keluarga. Apalagi Ayah. Aku tahu belakangan ia terlihat merenung memikirkan pelanginya yang semakin buyar. Ayah tahu suatu saat nanti kami akan meninggalkannya satu per satu. Karena itu juga aku tak pernah memberitahukan hubunganku dengan Kak Andy yang semakin dekat sejak satu tahun lalu. Aku takut Ayah akan kecewa padaku.

Kak Andy adalah sosok pasangan yang baik. Sejak Kak Inga meninggal, ia menggantikan perhatian Kak Inga pada kami. Dalam hatinya, Kak Andy merasa bersalah karena tak mampu menyelamatkan Kak Inga. Perlahan komunikasi kami berkembang menjadi cinta. Tapi aku tak berani memberitahukan itu pada Ayah ataupun adik-adikku. Hubungan kami semakin erat dari hari ke hari. Tanpa seorangpun tahu, kami terus menjalankannya. Kak Andy sengaja tidak melanjutkan pendidikannya setelah lulus SMA. Ia bekerja di bengkel dekat rumah kami. Kedua orang tuanya sangat marah ketika mengetahui keinginan Kak Andy untuk bekerja. Alasannya saat itu karena tak ingin kuliah. Padahal aku tahu, ia hanya tak bisa jauh dari keluarga kami. Rasa bersalah telah mengikatnya pada kami. Walau sering aku memintanya untuk melupakan masa lalu, dan berapa kali pun aku memberitahunya bahwa kami sama sekali tak menyalahkannya atas kejadian itu. Kak Andy tetap datang dan menjaga kami. Kapanpun kami butuh. Aku sempat takut apakah rasa cinta yang hadir di antara kami ini benar-benar cinta sepasang manusia, ataukah ada turut campur rasa bersalahnya. Kekhawatiranku terjawab sendiri pada akhirnya. Hati kami yang bicara.

Tak ada yang kebetulan dalam hal cinta
Semua telah ada jalannya
Kemana ujungnya berada
Tak ada yang tahu jua

Setahun berlalu sangat cepat. Kak Andy telah merasuki aku terlalu dalam. Aku takut suatu saat nanti harus melepasnya demi orang rumah. aku juga tak bisa meninggalkan tugasku sebagai pengganti Kak Inga. Lonceng jam istirahat membuyarkan penatnya pikiranku seperti bom atom yang meledak tepat di inti kota. Seluruh isinya hancur menjadi debu terhempas angin kencang. Aku kelaparan setelah otakku bekerja terlalu keras mencerna semua masalah yang belum kutemukan jalan keluarnya. Kak Andy juga sama, tak memberiku jawaban untuk hubungan yang aku tak tahu kemana ujungnya. Mungkin suatu saat nanti kami akan menikah dan tinggal dekat rumah, atau mungkin kami terpaksa berpisah karena tak mendapat restu orang tua. Aku tahu kedua orang tua Kak Andy tak akan merestui hubungan kami, apalagi sejak Kak Andy memutuskan untuk bekerja. Seolah kami lah yang telah memaksa anak mereka melakukan kewajiban itu. Bahkan tak pantas disebut kewajiban. Itu kemauan Kak Andy sendiri. Dan aku tak berharap kedua orang tuanya akan mengerti. Siang ini aku menyantap bakso Pak Bondan, bakso paling tenar di kantin SMA kami. Tapi ketenaran bakso favoritku ternyata tak mampu merangsang saraf-sarafku untuk memaksa otak ini bekerja. Seolah tubuhku kehilangan tenaga, tak ada satupun gerakan untuk menyendok bakso sedap itu ke mulut. Perasaan seorang wanita memang dahsyat. Seperti rumus akuntansi yang memerlukan ketelitian dan ketelatenan untuk bisa menguasainya. Hebatnya lagi, aku bukan anak yang suka berlama-lama mempelajari sesuatu.

Setitik itu tumbuh jadi kecambah lalu berbunga
Wanginya mengalahkan narwastu dan wewangian bunda
Memaksaku terseret bersama gesekan asmara
Sekuat apa aku meronta
Semua sebatas jeritan tanpa daya

Ujian sekolah telah terlewati. Aku merasa seperti tokoh dalam cerita dongeng, seorang bocah yang tersesat masuk ke hutan dan terus berjalan hingga tiba di ujung jurang. Pada akhirnya ia harus memilih untuk menuruni jurang itu atau melangkah masuk ke dalam hutan yang tak jelas kemana ujungnya. Aku bosan dengan keadaan sesat ini. Mungkin aku memilih terjun bebas ke dalam jurang. Apakah nantinya aku akan selamat atau mati seketika terhantam batuan di bawah jurang, semua terserah kemauan Tuhan.

Tiga minggu setelah ujian akhir, nilai ujian keluar. Aku lulus berkat satu keajaiban. Dan keajaiban itu menjadi beban. Sekaranglah saatnya aku untuk memutuskan. Mengakui hubunganku dengan Kak Andy dan tinggal di sini, atau harus pergi melanjutkan pendidikanku di luar kota. Yang berarti aku harus mengubur dalam-dalam rasa cintaku pada Kak Andy dan meninggalkan kisah itu di belakang, bersama keluargaku. Semalaman aku tak bisa tidur dan memanjat ke atap untuk duduk memandang bulan. Kekonyolanku yang paling polos adalah saat aku bertanya pada bulan, apa yang harusnya kulakukan. Tentu saja bulan diam. Kalau bulan bisa bertingkah, mungkin dia akan tertawa sampai terkentut-kentut mengejek pertanyaan bodohku. Lalu aku meringkuk dan menangis. Malam ini aku benar-benar butuh dia. Kak Inga.

Ayah berteriak dari lantai bawah memanggilku. Aku tertidur di atap. Bulan pun sudah pulang ke belahan bumi lain. Sekarang matahari memanggangku dari atas sana. Aku lupa hari ini adalah hari sabtu. Hari dimana sekolah dan kantor diliburkan untuk menikmati waktu bersama keluarga. Hari dimana kami sekeluarga akan mampir ke makam Ibu dan Kak Inga. Salah satu kegilaan Ibu adalah sepetak tanah yang telah disiapkan untuk ia dan suaminya, bersama ketujuh warna pelanginya. Sayangnya Kak Inga mendahului Ayah berkumpul di sana bersama Ibu. Tapi aku yakin Kak Inga sekarang tengah tersenyum bersama Ibu di surga. Dulu aku pernah bermimpi Kak Inga datang menjenguk kami. Ia bersinar dan memiliki sepasang sayap putih. Gaunnya melambai diterpa angin. Rambutnya pun begitu indah. Walau hanya dalam mimpi tapi aku yakin Kak Inga sekarang bahagia di surga. Bersama Ibu tentunya. Aku bergegas turun dan bersiap memasak sarapan. Sedikit terlambat nampaknya. Ayah telah melakukan pekerjaanku. Sudah terlalu siang juga untuk sarapan. Aku mengambil sepotong roti bakar dan seiris daging panggang serta segelas susu. Setelah itu aku lari ke kamar mandi dan menyelesaikan persiapanku untuk menjenguk Ibu dan Kak Inga.

Hari inilah akhir dari semua penantian. Setelah selesai acara bersih-bersih makam dan tabur bunga, ketiga adikku pulang lebih dulu. Aku meminta waktu pada Ayah untuk bicara. Aku menceritakan semuanya. Saat itu juga Ayah menjadi diam dan berjalan pulang, meninggalkan aku di makam bersama Ibu dan Kak Inga. Aku merasa sangat bersalah. Aku tahu Ayah kecewa. Saat aku pulang, Ayah tak ada. Biru terlihat sedikit marah. Mungkin adikku Biru tahu Ayah belum pulang karena marah padaku. Biru adalah orang kedua yang mendengarkan kisahku. Nampaknya ia mengerti. Tapi bukan berarti ia memaafkan aku yang telah membuat Ayah tak pulang.

Dua hari setelah kejadian itu, Ayah pulang ke rumah. Ia meminta maaf karena telah pergi tanpa kabar. Aku diam saja tak berkomentar. Aku sudah membulat dalam tekad. Malamnya setelah makan aku pamitan pada mereka. Aku menaruh surat di bawah bantal mereka semua. Surat pamit yang resmi kuedarkan untuk setiap anggota keluargaku. Dua hari yang lalu setelah bicara dengan Ayah dan Biru, aku menghubungi Kak Andy. Keputusanku sudah matang. Setelah Ayah pulang, aku akan pergi dari kota ini. Dengan atau tanpa Kak Andy. Dan aku ingin tahu apakah orang yang memberikan hatinya untukku ini, apakah dia akan membuktikan kebenaran cintanya. Malam inilah semua akan terjawab. Tepat tengah malam, aku turun lewat jendela. Berjalan tanpa suara ke arah jalan besar. Di ujung jalan, terlihat Kak Andy juga sudah siap sedia. Ada satu ransel besar yang aku tak tahu apa isinya. Kami berdua berjalan bersama. Kemana dan bagaimana tak menjadi masalah. Yang pasti adalah kami tak akan pernah kembali ke kota ini. Aku berharap Ayah dan adik-adikku mau mengerti isi suratku. Kak Inga yang di surga bersama Ibu, tolong jaga mereka.

Dan aku berjalan di samping dia
Setengahku yang tetap setia
Hingga akhir senja


1 komentar:

Unknown mengatakan...

si kuning sama andy knp mst pergi? apa yg bikin papanya marah sampe 2hr ga mo pulang ke rmh???