Selasa, 23 Maret 2010

Hijau

Hijau adalah permata
Zamrud milik Ayah
Wasiat lawas Ibunya

Hijau adalah kepingan terakhir dari barisan pelangi milik Ayah. Setelah keempat saudaranya pergi, kini tinggal dia dan Ayah. Tapi Hijau sudah terluka parah. Hatinya tercabik-cabik tanpa suara. Mereka yang disebutnya keluarga, tak ada satu pun yang mendengar pun tak melihat. Hijau hanyalah bayangan yang terus bergerak tanpa seorang pun tahu. Ia hidup dalam dunianya. Bersama seluruh rahasia keluarga.

Hijau adalah aku. Anak Ayah dan Ibu. Adik dari mereka yang memiliki nama sepertiku. Kami adalah kepingan pelangi Ayah. Aku Jo, anak bungsu dalam keluarga ini. Keluarga yang dulu jauh lebih baik dari sekarang. Kakak ku Inga menjadi korban kebiadaban manusia. Kak Ning pun adalah korban, orang yang harus menderita karena kesalahan orang lain. Andai Kak Inga tak mati, tentu Kak Ning tak akan pergi. Lalu ada Kak Bie yang mati tanpa alasan pasti. Orang bilang Kak Bie mati bunuh diri bersama pasangan sejenis. Fitnah memang luar biasa. Fitnah bisa jadi uang dari orang yang menderita. Kak Ella yang setengah dirinya hancur setelah kepergian Kak Bie, memilih tugas di luar negeri. Sekarang tinggal aku sendiri. Pelangi tak akan hidup hanya dengan satu warna.

Dua minggu setelah Kak Ella berangkat, aku sudah tak di rumah. Walaupun tak runtuh, rumah itu menanggung beban pikiran begitu banyak. Aku pun tak pernah menghargai keberadaan penghuninya sejak aku tahu kebenaran yang tersimpan rapat di laci lemari Ayah. Itu juga alasan Ayah marah terakhir kalinya padaku. Aku muak. Seharusnya aku kabur dari rumah sejak awal. Tapi masih ada sebagian kecil dariku yang membutuhkan kehangatan kakak-kakakku. Saat mereka semua pergi, aku pun harus pergi. Sebelum kabur aku sempat mengirimkan e-mail pada Kak Ella. Aku tak menunggu balasan darinya. Toh setelah kabur nanti aku masih bisa membaca balasan itu kapan saja, dimana saja. Andai aku bisa sehebat teknologi internet. Bisa berada di mana saja, kapan saja. Untuk itu aku harus bersaing dengan Tuhan, dan aku tak berani. Berkat didikan Ayah dan Ibu aku hidup dengan iman yang kuat. Tapi tak cukup kuat menahanku menjadi bebas. Selama aku tak menyakiti orang lain, maka aku tak salah. Begitu peganganku selama ini. Karena itu aku lebih sering sendiri, menjauh dari godaan untuk menyakiti orang di sekitarku.

Sejak kabur dari rumah, aku hidup di jalanan. Pekerjaanku sekarang adalah seniman. Aku membuat gambar untuk orang yang lalu lalang. Tak banyak penghasilanku setelah disita biaya kertas dan pensil. Awalnya aku tidur di pinggir jalan. Kadang bermalam di tempat ibadah. Tapi aku tak menetap. Aku berkelana ke luar kota naik kereta. Berharap tak perlu lagi pulang ke rumah. Dan aku berhasil. Sekarang aku tinggal bersama dia, lelaki pertama yang berhasil mendobrak pintu hatiku. Erik, beberapa tahun lebih tua dariku. Penghasilannya lebih dari cukup untuk menghidupi beberapa orang Jo tanpa kekurangan apapun. Tapi Erik memilih satu Jo. Cinta sesama jenis bukan masalah buatku. Ayahku pun begitu. Sesuatu yang tak seorang pun tahu dalam keluargaku, kecuali Ayah dan Ibu. Lebih hebatnya, Ibu juga sama. Mereka pasangan pecinta sesama jenis yang saling suka. Entah bagaimana awal ceritanya, yang jelas mereka berhasil menjalaninya. Karena itu juga kami ada. Malam terakhir aku melihat kemarahan Ayah, itu karena aku pada akhirnya membuka semua rahasia. Aku bertanya siapa sebenarnya pria yang sering menghubungi Ayah. Malam itu aku yang salah. Aku tak siap melepas Kak Ella. Selaput tipis yang mengikat emosiku tiba-tiba merekah. Aku menceritakan semua rahasia yang kutemukan di rumah. Setiap Ayah dan orang rumah sedang tak ada, aku mengacak setiap sudut rumah. Termasuk membuka laci lemari Ayah. Sialnya, disana ada semua rahasia. Ayahku ternyata punya kekasih pria. Ibu juga punya kekasih wanita. Kak Ella juga nampaknya sama. Kak Bie walau diberitakan pecinta sesama jenis, ternyata salah. Kak Bie punya gadis pujaan. Sayang ia mati sebelum menyatakan perasaannya. Aku tak tahu apakah perlu aku menceritakan semuanya. Tapi aku mau. Malam itu aku membeberkan semuanya dimulai dari Kak Inga. Tentang hubungannya dengan Kak Andy. Kak Inga sudah lama memberikan keperawanannya. Anak Ayah yang selama ini nampak polos ternyata menyimpan rahasia. Buku diary memang berbahaya, apalagi kalau tak dijaga. Semua tertulis dengan jelas. Setiap detail kejadian. Kuharap Kak Ning tak pernah membaca buku diary kak Inga. Bisa kubayangkan bagaimana perasaannya ketika membaca bagian dimana Kak Andy melepas satu per satu pakaian Kak Inga, dan bagaimana Kak Inga menuliskan detail bentuk tubuh lelaki pujaannya. Seperti sedang membaca buku novel dewasa. Ayah tak terlalu perduli ternyata. Kebisuannya membuatku makin ingin bercerita. Lalu ada Kak Ning yang kabur karena sedang hamil muda. Tentu saja dengan Kak Andy. Tak heran mereka kawin lari. Saat Kak Ning membahas rencana kaburnya, aku ada di sana mendengar pembicaraan mereka. Tentu saja Ayah tak tahu apa-apa. Kali ini aku berhasil membuat Ayah sedikit tertarik. Ada ekspresi kaget bercampur kecewa. Entah kenapa aku merasa senang. Cerita berlanjut pada Kak Bie yang sering masturbasi sambil melihat foto pujaan hatinya. Hal yang wajar untuk remaja seusianya. Tapi tidak untuk Ayah. Di matanya, Kak Bie adalah kebanggaan. Aku melihat penyesalan di muka Ayah, dan aku semakin senang. Tentang Kak Ella yang diam-diam menyimpan satu buku berisi gambar wanita-wanita telanjang dalam posisi menggoda, lalu tentang rahasia Ayah yang tersimpan rapat di laci lemarinya. Juga buku harian Ibu yang berada di tempat yang sama. Tiba-tiba tamparan itu menghinggap di pipiku. Aku salut dengan kegesitan ayah saat itu. Kecepatannya mungkin setara dengan kereta lewat. Benar-benar tak kusadari. Pipiku lebam keesokan harinya. Tapi aku puas. Sudah lama sekali aku tak melihat kemarahan Ayah. Setidaknya aku bisa tahu bahwa dia masih tetap Ayahku.

Erik bukan pasangan yang banyak menuntut. Aku bisa pergi dan pulang kapan saja. Aku boleh terbang kemana aku suka. Tubuhku boleh kuberi pada siapa saja. Tapi selama aku ada di rumah, aku adalah miliknya. Begitu pun dia. Aku merasa kebebasanku terjawab sudah. Aku bisa memiliki cinta yang kuinginkan selama ini, juga bisa mendapat kebebasanku pada saat yang sama. Kadang aku bercinta dengan wanita juga. Tapi hatiku tetap miliknya. Satu yang tak bisa disangkal di dunia ini adalah hati. Bila kau berhasil mendapatkan hati seseorang, maka kamu telah berhasil memiliki dia seutuhnya.

Yang aku cari di luar rumah adalah jawaban. Aku ingin mengenal manusia dan wataknya yang berbeda-beda. Setiap orang yang kutemui di jalanan dan setiap pelanggan yang datang, juga mereka yang menghabiskan sedikit waktu bersamaku di ranjang. Sebagai seniman, aku tak pernah puas mencari sisi tersembunyi yang tak mungkin kutemukan dengan gampang. Aku harus bermain-main dengan emosi mereka. Menarik keluar sedikit demi sedikit rahasia yang mereka sembunyikan. Sama seperti keluargaku yang terus menyimpan rahasia-rahasia itu sampai akhir. Sejak kabur aku tak pernah menghubungi Ayah. Dengan Kak Ella kadang masih saling berbalas e-mail. Padanya aku bisa bercerita apa saja yang tak pernah bisa kuceritakan waktu masih tinggal bersama. Sekarang aku adalah Hijau yang berbeda. Mungkin semua karena Erik. Aku semestinya berterima kasih padanya. Berkat dia juga, aku berhasil membuka satu galeri tempat semua karya-karyaku dipajang. Tak jarang ada pembeli yang menawar dengan harga tinggi. Yang kutawarkan di sana bukanlah seni biasa. Aku menjual kejujuran. Sekarang ini kejujuran sangatlah mahal harganya. Walau tak yakin mereka yang membeli itu tahu arti kejujuran, yang pasti mereka membeli dengan uang. Bukan uang yang menjadi tujuan utama. Aku ingin karya-karyaku diambil orang. Percaya atau tidak, karya-karya itu berisi beban. Setiap lembarnya adalah bagian dari hasil mengolah emosi yang terpendam. Kak Ella salah satu yang menyadarinya. Tak heran aku semakin sayang padanya sejak tahu ada satu keluargaku yang mengerti arti dari karya-karyaku. Untuk menghargainya, aku membuat satu mahakarya khusus untuknya.

Hijau berakar dalam bumi
Menghisap sari pati kehidupan dengan rakusnya
Mencuatkan diri menembus tanah
Bersaing dengan tingginya gunung
Menyebar menandingin cakrawala
Ia ingin mengukir sejarah
Bahwa dirinya pernah ada

Lima tahun setelah kepergianku dari rumah, tiba-tiba Kak Ella muncul di galeriku. Ayah sudah tiada katanya. Serangan jantung. Berita yang tak penting bagiku. Malam saat aku kabur dari rumah, aku sudah membuang semua tentang Ayah. Lebih tepatnya aku sangat membenci Ayah karena sikapnya setelah kepergian Ibu. Kadang aku meragukan bahwa kami adalah benar anak-anak Ayah. Dengan segan aku ikut diseret Kak Ella ke pemakaman Ayah. Yang membuatku kangen justru makam Ibu dan kedua anaknya. Makam itu masih nampak bagus. Sepertinya Ayah tetap menjalankan kebiasaan membersihkan makam dan menabur bunga setiap hari sabtu. Kalau tak mati, pasti masih dilakukan hingga saat ini. Hari ini sabtu. Saat pasangan muda sedang asik menentukan tempat berkencan, aku dan Kak Ella berdiam di pemakaman. Erik juga datang, tapi aku meminta dia untuk tinggal di rumah. Nampaknya ia mengerti kenapa. Aku tak mau ia melihat emosiku yang satu ini. Untuk pertama kalinya aku menangisi Ayah. Dalam perlukan Kak Ella yang juga tak mampu membendung air matanya. Tapi jelas terlihat Kak Ella lebih tegar. Emosiku mengalir deras bersama tetesan air mata. Tangisan penyesalan, ketidakpuasan kalau semua ini harus diakhiri. Aku bisa hidup dengan penderitaan macam apa. Tapi aku tak bisa terima Ayahku mati terlalu mudah.

Pulang dari pemakaman Ayah, hidupku berlanjut seperti biasa. Agak ringan kiranya. Bebanku terangkat satu bagian, dan kali ini porsinya cukup besar. Seperti rambut gimbal seberat lima kilo yang tiba-tiba dicukur habis. Tanganku bekerja seperti melayang dengan sendirinya. Tapi sekarang, aku kehilangan jiwa dalam karya-karyaku. Saat itu juga aku sadar, sudah saatnya berhenti mengisi ruang galeri.

Hijau itu kokoh saat badai menerjang
Akarnya mampu menahan beban
Yang ia butuhkan hanyalah tempat berpijak
Saat akarnya mati
Daunnya pun meranggas
Hijau akan hilang

Tidak ada komentar: